
Biografi sastrawan Seno Gumira Ajidarma menarik untuk dibahas mengingat banyaknya karya yang telah ia ciptakan. Karya-karya itu telah mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Dan menariknya lagi, pengarang yang mengawali kariernya sebagai seorang wartawan ini enggan disebut sastrawan dan pernah menolak penghargaan di bidang sastra, lho! Kenapa, ya? Untuk mengetahuinya, simak kisah perjalanan karier lengkap Seno Gumira Ajidarma di bawah ini!
- Nama Lengkap
- Seno Gumira Ajidarma
- Tempat, Tanggal Lahir
- Boston, 19 Juni 1958
- Pekerjaan
- Wartawan, Penulis, Kritikus
- Pasangan
- Ikke Susilowati
- Orang Tua
- Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo (Ayah), dr. Poestika Kusuma Sujana (Ibu)
Siapa yang tak mengenal sastrawan-sastrawan kenamaan seperti Chairil Anwar, WS Rendra, dan Sapardi Djoko Damono? Selain nama-nama tersebut, ada satu lagi pengarang terkenal yang perlu kamu ketahui biografi dirinya, yaitu Seno Gumira Ajidarma.
Eksistensi Seno Gumira Ajidarma di dunia literasi Indonesia tentulah sudah tidak diragukan. Memulai proses kreatif sejak berusia 17 tahun, pria kelahiran 19 Juni 1958 ini tercatat telah banyak menelurkan karya tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi.
Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, serta esai yang dimuat di surat kabar dan diterbitkan dalam buku antologi. Tak sedikit pula cerpen karyanya yang menerima penghargaan dari dalam hingga luar negeri.
Meski begitu, pengarang yang dikenal dengan nama samaran Mira Sato ini justru menolak disebut sebagai seorang sastrawan. Ia memilih disebut sebagai wartawan, karena menurutnya kata itu lebih mampu mewakili profesinya, yaitu seorang penulis.
Sepanjang kariernya, ia tak hanya hadir menyuguhkan karya sastra, tetapi juga terlibat dalam penulisan kreatif lainnya. Salah satunya ialah ketika ia dipercaya bergabung dengan tim penulis skenario untuk film Wiro Sableng 212 (2018).
Penasaran ingin tahu kisah perjalanan hidup dan kariernya secara lengkap? Jangan khawatir, KepoGaul telah merangkum biografi Seno Gumira Ajidarma di artikel ini. Simak baik-baik, siapa tahu kamu dapat meneladani sosoknya. Selamat membaca!
Profil Seno Gumira Ajidarma
Hal pertama yang perlu kamu tahu dari biografi Seno Gumira Ajidarma adalah seputar kehidupan pribadi dan pendidikannya. Kamu bakal kaget sekaligus kagum karena ternyata ia pernah “nakal” sewaktu remaja.
Untungnya, kenakalannya tidak berlangsung lama dan ia segera kembali fokus mengenyam pendidikan sekaligus menekuni dunia tulis-menulis. Untuk mengetahui detail yang lebih lengkap, berikut informasinya.
1. Kehidupan Masa Kecil
Seno Gumira Ajidarma ialah putra dari pasangan Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo dan dr. Poestika Kusuma Sujana. Ia lahir di Boston, Amerika Serikat tanggal 19 Juni 1958, tetapi tumbuh dan besar di Yogyakarta.
Sejak muda, ia telah mengenal kesusastraan dan banyak membaca buku-buku kisah petualangan. Salah satu karya yang disukainya adalah cerita tentang suku Apache karya Karl May yang mengisahkan petualangan tokoh bernama Old Shutterhand.
Kisah Old Shutterhand sanggup memengaruhi Seno Gumira. Sampai-sampai, gara-gara membacanya ia jadi ikut-ikutan berpetualang, mengembara ke Jawa Barat hingga Sumatera. Demi petualangannya, ia bahkan menolak melanjutkan SMA.
Selama mengembara sekitar 3 bulan, ia sempat bekerja sebagai buruh pabrik kerupuk di Medan karena kehabisan uang. Di masa sulitnya itu, Seno menghubungi sang ibu untuk meminta uang. Alih-alih memberikan uang pada putranya, sang ibu malah mengirimkan tiket pulang.
Mau tak mau, penulis cerita Sepotong Senja untuk Pacarku (2002) ini pun kembali ke Yogyakarta. Ia kemudian masuk ke SMA Kolese De Britto, sekolah swasta yang membebaskan siswanya untuk tidak mengenakan seragam.
Baca juga: Biografi Sapardi Djoko Damono, Sang Pujangga Sederhana Asal Solo
2. Masa Pencarian Identitas
Biografi masa remaja Seno Gumira Ajidarma cukup menarik untuk dibahas lebih jauh. Layaknya kebanyakan remaja pada umumnya, ia pernah salah memilih teman bergaul meski tidak sampai terjerumus dalam pergaulan bebas.
Kala itu, ia kerap ikut tawuran dan kebut-kebutan di jalan. Ia lebih banyak bergaul dengan anak-anak jalanan ketimbang teman-temannya yang tinggal di sekitar kediamannya di kawasan Bulaksumur UGM (Universitas Gadjah Mada).
Suatu kali dalam sebuah wawancara, ia pernah mengakui kenakalannya dikarenakan dirinya sedang berada di masa pencarian identitas. Pencarian identitasnya baru berhenti setelah ia mengenal sosok sastrawan WS Rendra.
“Saat remaja, orang akan mencari identitas, ada yang berkelahi, ngebut, menjadi modis, dan lain-lain sebagainya,” ujarnya kepada White Board Journal tahun 2016. “Pencarian identitas saya berhenti ketika saya menonton Rendra. Seketika itu, entah kenapa saya langsung saya ingin jadi seperti beliau.”
Baca juga: Biografi Raden Patah, Keturunan Raja Majapahit yang Menjadi Pendiri Kesultanan Demak
3. Kuliah dan Menikah
Sang maestro literasi kontemporer ini hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Tahun 1977, ia diterima masuk di Jurusan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang kala itu masih bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ).
Pada 1981, Seno yang saat itu bekerja sebagai wartawan memutuskan untuk menikah dengan wanita bernama Ikke Susilowati. Dari pernikahan ini, keduanya dikaruniai seorang putra yang diberi nama Timur Angin.
Di sela kesibukannya bekerja dan berkarya, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan formal. Pengarang novel pentalogi Nagabumi (sejak 2009) ini berhasil merampungkan S1-nya di IKJ dan lulus tahun 1994, kemudian meraih gelar Magister Ilmu Filsafat (2000) dan Doktor Ilmu Sastra (2005) dari Universitas Indonesia (UI).
Awal Mula Terjun ke Dunia Sastra
1. Proses Kreatif Dimulai setelah Mengenal Teater
Berbicara mengenai biografi Seno Gumira Ajidarma, kamu tentu penasaran bagaimana awal mulanya terjun ke dunia sastra. Rupanya, ia lebih dulu berkenalan dengan teater sebelum menekuni dunia yang membesarkan namanya.
Proses kreatif sang sastrawan bermula sewaktu memasuki usia 17 tahun. Kala itu, ia bergabung dengan kelompok sandiwara bernama Teater Alam yang dipimpin oleh Azwar A.N. selama kurang lebih 2 tahun.
Selama menjadi anggota Teater Alam, Seno rajin menulis dan mengirimkan karya berupa puisi maupun cerpen ke media-media cetak. Ia menjadikan Remy Silado dan Rendra sebagai motivator sekaligus inspirator baginya dalam berkarya.
“Waktu itu, teater asing buat saya. Dan drama, saat itu kita tahu hanya hadir saat perayaan 17-an saja. Salah satu drama Rendra yang saya tonton adalah Mastodon dan Burung Kondor, karena judulnya yang unik. Sejak itu, nama Rendra itu semakin terdengar oleh saya,” kata Seno Gumira Ajidarma ketika diwawancara White Board Journal.
Baca juga: Biografi Tung Desem Waringin, Sang Motivator Kondang Pencetak Rekor MURI
2. Jadi Wartawan Demi Tetap Menulis
Seno Gumira Ajidarma memulai kariernya di bidang jurnalistik tahun 1977 sebagai wartawan lepas untuk harian Merdeka, kemudian bekerja di majalah kampus Cikini (1980) dan Jakarta Jakarta (1985–1992). Ia pernah pula menjabat sebagai pemimpin redaksi di Sinema Indonesia dan redaktur di majalah mingguan Zaman (1983–1984).
Tahun 1992, Seno sempat menganggur lantaran majalah Jakarta Jakarta berhenti terbit. Positifnya, ia jadi punya waktu kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan pendidikan S1 yang sebelumnya sempat tertunda.
Kendati sibuk kuliah, pria yang lahir di Boston ini tetap aktif sebagai jurnalis dan diperbantukan menjadi wartawan di tabloid Citra. Tak lama kemudian, ia kembali bekerja di Jakarta Jakarta pada akhir 1993.
Barangkali, waktu yang dihabiskannya selama menjadi wartawan amat berarti bagi Seno. Bahkan, ia kerap menolak jika disebut sebagai sastrawan walaupun punya banyak karya karena menurutnya kata itu kurang mewakili profesinya. “Wartawan bisa menulis, kan? Jadi wartawan itu seolah-olah bisa mewakili semuanya,” tuturnya ketika diwawancara BBC tahun 2012.
Baca juga: Biografi Bob Sadino, Pengusaha Sukses yang Memulai Usaha dari Telur Ayam Negeri
Koleksi Karya Fiksi dan Nonfiksi
Artikel biografi ini memaparkan pula karya-karya Seno Gumira Ajidarma yang sebagian besar berbicara mengenai politik dan kemanusiaan. Akan tetapi, tak sedikit pula karyanya yang bertemakan cinta dan kehidupan.
Walau begitu, ia mengaku tidak memiliki pakem tertentu dalam berkarya. Seno lebih nyaman menulis sesuatu sesuai dengan kebutuhan, tergantung kepada siapa karyanya ditujukan. Misalnya, ia akan menulis dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti jika karyanya ditujukan untuk kepentingan banyak orang.
“Itu tergantung kebutuhan. Kalau kebutuhannya adalah ide-ide saya pribadi, ya saya tidak peduli dimengerti atau tidak,” katanya kepada BBC (2012). “Tapi kalau urusannya persoalan orang banyak, demi kepentingan orang banyak, maka saya tentu menggunakan bahasa yang sebisa mungkin pasti dimengerti.”
Yang jelas, tulisannya terbagi menjadi karya fiksi dan nonfiksi, semisal cerpen, novel, hingga esai. Daripada kamu penasaran, langsung saja intip keterangan seputar tulisan-tulisan Seno berikut ini!
Baca juga: Biografi Pangeran Antasari, Pahlawan Banjar yang Berusaha Mengusir Belanda dari Kampung Halamannya
1. Tulisan Fiksi
a. Puisi dan Cerpen
Seno Gumira Ajidarma pertama kali melahirkan karya berupa puisi yang dimuat di majalah Aktuil pada awal 1970-an. Semenjak itu, ia rajin menulis dan mengirimkan puisi-puisi di media cetak. Ratusan puisinya pun telah dirangkum dalam antologi, di antaranya yang berjudul Mati Mati Mati (1975); Bayi Mati (1978); dan Catatan-Catatan Mira Sato (1978).
Adapun cerpen karyanya yang diterbitkan, tak sedikit pula jumlahnya. Sebagian besar dikumpulkan dalam beberapa buku antologi cerpen, sebut saja Manusia Kamar (1988); Saksi Mata (1994); Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995); serta Sepotong Senja untuk Pacarku (2002).
Dari daftar di atas, Manusia Kamar pernah dicetak ulang pada tahun 2000 dengan judul Matinya Seorang Penari Telanjang. Sementara itu, karyanya yang berjudul Saksi Mata dan Negeri Kabut (1996), masing-masing diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Eye Witness (oleh Jan Lingard) dan The Land of Mists (oleh Tim Kortschak).
Kedua cerpen tersebut pun tidak hanya diterbitkan di buku antologi, tetapi juga di biografi bertajuk Sastrawan Indonesia: Seno Gumira Ajidarma, Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara (1997). Hebat sekali, bukan? Lanjutkan membaca jika ingin tahu tentang karyanya yang lain!
Baca juga: Biografi Dewi Sartika, Sang Pejuang Hak-Hak Kaum Perempuan dari Priangan
b. Komik dan Novel
Awal 2000-an, Seno melebarkan sayap di dunia kepenulisan dengan mencipta komik. Beberapa komik yang pernah diterbitkan antara lain, Jakarta 2039, 40 Tahun 9 Bulan setelah 13—14 Mei 1998 (2001); Taxi Blues (2001); dan Sukab Intel Melayu: Misteri Harta Centini (2002).
Di sisi lain, novel-novel karyanya juga terbilang fenomenal di kalangan pencinta sastra. Sebut saja Jazz, Parfum, dan Insiden (1996); Kitab Omong Kosong (1994); Biola Tak Berdawai (2004); Kalatidha (2007); Wisanggeni Sang Buronan (2000); dan Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk (2009).
Berbeda dengan novel lain, Nagabumi merupakan cerita berseri yang diluncurkan bertahap. Tahun 2019, novel tersebut hadir dengan jilid ketiga berjudul Nagabumi III: Hidup dan Mati di Chang’an. Sementara itu, jilid keduanya diberi judul Nagabumi II: Buddha, Pedang dan Penyamun Terbang, dan dirilis pada 2011.
c. Naskah Skenario
Asal kamu tahu, pengarang serba bisa ini juga beberapa kali menulis naskah pertunjukan. Naskahnya berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami (2001) pernah dipentaskan dua kali di dua lokasi berbeda. Pertama di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 6–8 Agustus 2001, selanjutnya di Taman Budaya Yogyakarta tanggal 16–18 Agustus 2001.
Ia tercatat pula menulis naskah drama lain berjudul Pertunjukan Segera Dimulai (1976). Pada 1999, ia menulis naskah untuk Clara yang diadaptasi dari cerpen berjudul sama. Cerpen itu sebelumnya sudah dimuat di antologi Iblis Tak Pernah Mati (1999).
Selain naskah drama, Seno Gumira Ajidarma dilibatkan pula dalam penulisan skenario film Wiro Sableng 212 (2018) garapan Lifelike Pictures. Cerita dalam film ini didasarkan pada karakter pendekar bernama Wiro Sableng di novel seri karya Bastian Tito.
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, Sang Pejuang Kemerdekaan Anti-Kekerasan
2. Tulisan Nonfiksi
Tak hanya karya fiksi, melalui artikel biografi ini, kamu juga berhak tahu tulisan-tulisan nonfiksi yang pernah lahir dari tangan dingin Seno Gumira Ajidarma. Lantaran bekerja sebagai wartawan, ia pun banyak menerbitkan esai.
Beberapa tulisan esainya yang terkenal antara lain, Surat dari Palmerah (2002); Kisah Mata Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan Tentang Ada (2002); Affair Obrolan Tentang Jakarta (2004); Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (2005); dan Sembilan Wali dan Siti Jenar (2007).
Penghargaan yang Pernah Diraih
Kegigihan Seno Gumira Ajidarma untuk terus menciptakan karya terbukti berbuah manis. Ia terbilang sering menerima penghargaan sastra, baik dari dalam negeri dan mancanegara. Namun, tidak semua penghargaan diterimanya, lho!
Seno ternyata pernah menolak penghargaan bidang kesusastraan dari Ahmad Bakrie Award tahun 2012. Akan tetapi, ia enggan menyebut alasannya secara pasti dan hanya memberikan jawaban yang filosofis sewaktu diwawancara BBC (2012).
“Adakalanya dunia politik menyentuh kita, sehingga saya atau kita harus bersikap. Saya tidak bisa terus-menerus di menara gading. Ada keputusan saya harus turun,” ucapnya. “Ada titik tertentu tidak bisa menghindar lagi (dari politik), sehingga tulisan saja tidak cukup.”
Satu ditolak, tetapi ia masih mengantongi deretan penghargaan bergengsi lain. Apa saja? Berikut ini daftar penghargaan yang pernah diraih Seno sepanjang kariernya di dunia kesusastraan Indonesia.
- Penghargaan dari majalah Zaman tahun 1980 untuk cerpen Dunia Gorda
- Penghargaan dari harian Kompas tahun 1990 dan 1993 untuk cerpen Midnight Express dan Pelajaran Mengarang
- Penghargaan dari harian Suara Pembaruan 1991 untuk cerpen Segitiga Emas
- Dinny O’Hearn Prize for Literary 1997, Australia, untuk cerpen Saksi Mata
- South East Asia Write Award 1997, Bangkok, Thailand, untuk cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
- Penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim 1997 untuk cerpen Kejadian
- Kusala Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) 2005, Indonesia
- Cerpen Terbaik pilihan Kompas tahun 2007 dan Anugerah Pena Kencana 2008 untuk Cinta di Atas Perahu Cadik
- Author of the Day di London Book Fair 2019
Meneladani Seno Gumira Ajidarma Lewat Biografi Dirinya
Kagum dengan sosok Seno Gumira Ajidarma setelah membaca biografi lengkap dirinya di atas? Jika ingin menjadikan sang pengarang sebagai teladan, kamu juga perlu mengetahui satu lagi capaian dalam kariernya.
Bahwasanya, ayah satu anak ini pernah menjadi juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2008. Sampai tahun 2010, namanya juga berada di jajaran tim juri ajang Festival Film Indonesia (FFI).
Ia disibukkan pula sebagai pengajar di Fakultas Film & Televisi IKJ, serta menjabat jadi rektor di kampus tersebut sejak tahun 2016. Seno kerap pula didapuk menjadi pembicara di acara-acara seminar kesusastraan dan kepenulisan.
Selain Seno, masih banyak tokoh lain dari kalangan sastrawan maupun negarawan yang dapat kamu jadikan panutan, mulai dari Buya Hamka hingga Moh Hatta. Makanya, jangan lewatkan informasi tokoh-tokoh penting Indonesia di KepoGaul, ya.