
Berbicara soal pahlawan yang gigih memperjuangkan hak kaum wanita nggak akan lengkap jika belum menyebutkan Dewi Sartika. Kalau kamu pengin mengetahui lebih dalam tentang pahlawan wanita hebat yang satu ini, lebih baik langsung saja baca ulasannya di biografi Dewi Sartika berikut.
- Nama
- Raden Ayu Dewi Sartika
- Tempat, Tanggal Lahir
- Bandung, 4 Desember 1884
- Meninggal
- Desa Cineam, 11 September 1947
- Warga Negara
- Indonesia
- Pasangan
- Raden Agah Kanduran Suriawinata (m. 1906–1939)
- Anak
- Raden Atot Suriawinata
- Orangtua
- Raden Rangga Somanegara (Ayah), Raden Ayu Rajapermas (Ibu)
Apakah kamu sedang mencari biografi Dewi Sartika, salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih memperjuangkan hak-hak wanita? Kalau iya, pas banget, nih. Karena di KepoGaul, kamu akan membaca informasi lengkap tentangnya. Mulai dari kisah masa kecil, kisah cinta, hingga perjuangannya yang tak kenal lelah untuk memperjuangkan pendidikan perempuan.
Terlahir dari keluarga bangsawan merupakan salah satu keistimewaan Dewi Sartika. Tidak hanya memiliki gelar ningrat, tapi ia juga mempunyai akses yang lebih baik sehingga bisa mengecap bangku sekolah. Terlebih lagi, orang tuanya sudah melek pendidikan dan mempunyai pikiran yang terbuka sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anaknya untuk bersekolah, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Seperti diketahui, pada zaman dahulu, hanya anak laki-laki bangsawanlah yang bisa mengenyam pendidikan. Sedangkan wanita hanya cukup belajar tentang urusan rumah tangga dan adat saja. Tak mengherankan bila wanita zaman itu dicap sebagai kaum lemah yang hanya bisa mengandalkan pasangannya.
Dengan hak istimewa yang dimilikinya, Dewi Sartika tak lantas berpangku tangan. Ia pun ingin mendirikan sekolah supaya kaum perempuan lebih mandiri dan tidak gampang dibodohi. Pada tahun 1902, cita-citanya tersebut akhirnya terwujud dengan membangun sebuah sekolah yang diberi nama Sakola Istri.
Nah, seperti apa sih perjuangannya dalam mewujudkan keinginannya yang mulia itu? Kamu pasti penasaran, kan? Kalau gitu, langsung aja baca selengkapnya di biografi Dewi Sartika di bawah ini, ya!
Sekilas tentang Masa Kecil Dewi Sartika
Sebelum menyimak mengenai kegigihannya memperjuangkan hak pendidikan kaum wanita, nggak ada salahnya kalau kamu membaca sedikit informasi tentang masa kecil Dewi Sartika lewat biografi lengkap ini. Langsung saja disimak, ya!
1. Masa Kecil dan Latar Belakang Kelaurga
Raden Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Bandung. Ia merupakan anak kedua yang lahir dari pasangan Raden Somanegara dan Raden Ayu Rajapermas. Kedua orang tuanya merupakan keturunan ningrat. Sang ayah menjabat sebagai patih dan ibunya merupakan anak dari R.A.A Wiranatakusuma IV yang merupakan Bupati Bandung saat itu.
Uwi, panggilan kecil Dewi Sartika, dikenal sebagai sosok anak yang tomboi. Meskipun sehari-hari memakai kebaya dan rambut disanggul, tapi dia tidak bisa diam dan selalu ada saja yang dilakukannya. Bahkan, ia pernah terjatuh hingga mengalami patah tulang. Cara bicaranya pun lugas dan tegas, tidak seperti perempuan Sunda pada umumnya yang bertutur halus.
Seperti yang mungkin telah kamu ketahui, pada zaman dahulu pendidikan adalah fasilitas mewah yang hanya bisa dimiliki oleh para bangsawan. Itu pun hanya untuk kaum laki-laki, sedangkan perempuan dipandang tidak berhak mengenyam pendidikan.
Setidaknya, Uwi, panggilan kecil Dewi Sartika, lebih beruntung dari teman-teman perempuannya yang lain karena orang tuanya memiliki pemikiran yang lebih maju. Raden Somanegara tak pilih-pilih, semua anaknya diberi kesempatan untuk bersekolah, termasuk Uwi.
Ia kemudian disekolahkan di Eerste Klasse School (setingkat sekolah dasar) dan mempelajari banyak hal, termasuk menulis, berhitung, bahasa Belanda, dan pengetahuan umum yang lainnya. Karena tergolong murid yang cerdas, ia pun bisa memahami pelajaran yang diajarkan oleh para guru dengan lebih cepat.
Namun sayang, Dewi Sartika harus terpaksa putus sekolah karena sang ayah diasingkan ke Ternate, Maluku. Penyebabnya adalah karena ayahnya diduga menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Jadi, Uwi harus puas bersekolah hanya sampai kelas dua saja.
2. Berpisah dengan Keluarga dan Terpaksa Ikut Kerabat
Ketika sang ayah menjalani hukuman pengasingan, ibunya pun turut pergi mendampingi. Hal itu membuat Uwi yang saat itu baru berusia 10 tahun harus tinggal di Cicalengka bersama dengan pamannya, yaitu Raden Demang Suria Kartahadiningrat.
Sang paman dikenal sebagai bangsawan yang berkepribadian luhur dan disegani oleh orang banyak. Maka dari itu, rumahnya juga sering menjadi tempat penitipan anak laki-laki kaum ningrat untuk belajar bagaimana caranya menjadi bangsawan yang sesungguhnya.
Nah, kamu mungkin berpikiran kalau Uwi akan dididik dan diperlakukan baik oleh pamannya selama tinggal di sana. Namun, kenyataannya tidaklah sebaik itu. Bagi sang paman, pengasingan ayahnya merupakan sebuah aib sehingga hal itu membuat Uwi diperlakukan kurang baik.
Ia disuruh melakukan pekerjaan layaknya seorang pelayan. Bahkan, dirinya juga disuruh tidur di kamar yang biasanya diperuntukkan bagi para abdi.
Beruntungnya, Uwi bukanlah orang yang mudah patah semangat dan hanya bisa meratapi nasib. Justru hal itu membuat dirinya merasa bersyukur karena bisa mempunyai banyak keterampilan seperti menjahit, menyulam, merenda, dan memasak.
Selain mengerjakan hal-hal di atas, ia juga diberi tugas untuk mengantar sepupu-sepupunya belajar bahasa Belanda. Sayangnya, ia tidak diizinkan untuk ikut belajar, melainkan hanya mengantar saja. Orang mana yang tidak sedih jika diperlakukan seperti itu?
Namun, bukan Uwi namanya kalau kehabisan akal. Ketika sepupunya tengah belajar, ia pun mengintip dari balik pintu dan turut belajar. Beruntung ia adalah anak yang cerdas sehingga mudah sekali menyerap pelajaran bahasa Belanda yang sedang diajarkan itu. Tak hanya arti dan kata-katanya saja, ia juga mendengarkan pelafalan yang benar dengan seksama.
Baca juga: Mengenal Sosok Kartini dari Minahasa Melalui Biografi Maria Walanda Maramis
3. Mempunyai Jiwa Pendidik
Selanjutnya lewat biografi ini, kamu juga bisa mengetahui betapa besarnya kepedulian Dewi Sartika terhadap pendidikan kaumnya. Hal tersebut memang sudah terlihat sejak di masih anak-anak.
Sepulang mengantar para sepupu belajar, ia kemudian mengumpulkan anak-anak sebayanya yang lain untuk bermain sekolah-sekolahan. Tentu saja tidak hanya sekadar bermain, permainan tersebut juga dijadikan sebagai sarana belajar baca tulis dan bahasa Belanda.
Uwi berperan sebagai seorang guru dan bisa memainkan perannya dengan apik. Ia pun mengajari teman-temannya bagaimana caranya untuk membaca dan menulis seperti yang dipelajarinya selama ini. Media yang digunakannya pun sangat sederhana, yaitu menggunakan pecahan genting sebagai pengganti buku dan arang untuk menggantikan pena.
“Permainan” tersebut ternyata mempunyai efek yang bagus. Terbukti banyak anak-anak bisa membaca dan menulis, bahkan bisa sedikit-sedikit menggunakan bahasa Belanda. Hal tersebut tentu saja membuat warga desa menjadi gempar, terlebih lagi yang mengajari anak-anak itu menjadi pandai adalah Uwi yang notabene seorang perempuan.
Benar-benar permainan yang bermanfaat, ya? Patut dicontoh ini, Guys! Jangan hanya main game online saja, sesekali bermainlah permainan yang mempunyai manfaat untuk banyak orang.
Nah, Dewi Sartika melakukan kegiatan tersebut selama beberapa tahun. Hingga kemudian di usianya yang ke-18, ia memutuskan untuk kembali ke Bandung saat mengetahui ibunya sudah kembali dari pengasingan. Sementara itu, sang ayah ternyata meninggal dunia saat menjalani pengasingan.
Kisah Cinta Dewi Sartika
Sumber: Buku Raden Dewi Sartika Sang Perintis
Cerita masa kecil Dewi Sartika yang kamu baca pada ulasan biografi ini begitu menarik, kan? Eits tapi masih ada lanjutannya nih, yaitu tentang kisah cintanya yang nggak kalah romantis dari drama Korea.
Dewi Sartika tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Tak hanya fisiknya, kepribadiannya yang baik pun membuat banyak laki-laki di Cicalengka jatuh hati padanya. Salah satunya adalah sepupunya yang bernama Raden Kanjun Surianingrat.
Tapi, lamaran itu ditolaknya secara halus. Selain karena tidak mau menikah dengan sepupunya sendiri, ia juga tidak mau dipoligami karena Raden Kajun sudah mempunyai seorang istri.
Setelah itu tidak ada kelanjutannya lagi. Dewi Sartika kemudian pulang ke Bandung dan mulai sibuk mengurus sekolah yang baru didirikannya. Namun agaknya, hal itu membuat Raden Ayu Rajapermas mulai gelisah. Pasalnya, anaknya belum juga mempunyai jodoh, padahal umurnya sudah 20 tahun.
Ibunya khawatir kalau sang anak tidak mau berumah tangga karena terlalu sibuk mengurus sekolahnya itu. Nah, di tengah kekhawatiran tersebut, datanglah lamaran dari keluarga Pangeran Djajadiningrat. Sang ibu pun bisa bernafas lega, tapi tidak berlangsung lama karena pinangan tersebut ditolak oleh Dewi Sartika.
Usut punya usut, ternyata ia sudah mempunyai tambatan hati bernama Raden Agah Kanduran Suriawinata. Diketahui, keduanya bertemu pertama kali saat acara pengajian di Pendopo Kabupaten Bandung. Sayangnya, Rajapermas tidak menyetujui hubungan mereka karena laki-laki pilihan anaknya itu adalah seorang duda yang sudah punya anak dan bukan dari golongan ningrat.
Sahabatnya, yaitu Nyi Oewit, juga menanyakan tentang keputusan Dewi Sartika tersebut. Akan tetapi, ia sudah memantapkan hati memilih Raden Agah sebagai suaminya karena laki-laki itu berkepribadian baik. Terbukti, ketika sudah menikah, Raden Agah selalu mendukung istrinya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Karena melihat kesungguhan hati putrinya, akhirnya sang ibu pun merestui hubungan mereka. Pada tahun 1906, Dewi Sartika yang saat itu berusia 22 tahun resmi menikah dengan Raden Agah. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai anak laki-laki bernama Raden Atot Suriawinata.
Perjuangan Mendirikan Sekolah Perempuan Pertama di Indonesia
Kamu tentunya sudah puas membaca tentang kehidupan pribadi pahlawan wanita yang satu ini, kan? Selanjutnya, lewat biografi Dewi Sartika berikut, kamu bisa menyimak mengenai kegigihannya dalam memperjuangkan hak wanita untuk mendapatkan pendidikan.
1. Hal yang Mengobarkan Semangat Dewi Sartika Memperjuangkan Pendidikan bagi Wanita
Sebelum menyimak tentang perjuangannya, nggak ada salahnya kalau kamu mengetahui apa sih sebenarnya yang membuatnya ingin sekali membawa perubahan bagi kaum wanita. Salah satu alasannya yang bisa kamu baca lewat biografi Dewi Sartika ini adalah ketidakberdayaan sang ibu tanpa ayahnya.
Raden Ayu Rajapermas memang terlihat begitu tergantung pada Raden Somanegara. Bahkan, ketika sang ayah dibuang, ibunya pun harus pergi mendampingi. Karena kejadian yang menimpa ayahnya itu pula, aset-aset keluarganya pun habis tak bersisa dan ibunya tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya dianggap tidak mampu mengelola aset tersebut karena dicap hanya menggantungkan hidupnya pada sang suami.
Hal itu kemudian membuka matanya dan membuatnya mengerti mengapa wanita mempunyai kedudukan yang lemah di masyarakat. Dan akar dari itu semua adalah wanita karena wanita tidak mempunyai pendidikan yang layak sehingga dianggap bodoh dan tidak becus mengurus sesuatu.
Peristiwa lain yang tidak kalah pentingnya adalah saat Dewi Sartika diminta membacakan surat teman-temannya yang berasal dari tunangan atau laki-laki yang tertarik dengan mereka. Karena merupakan satu-satunya wanita yang bisa membaca, ia pun kemudian menjahili teman-temannya itu dengan mengubah isi suratnya. Toh, mereka juga tidak tahu kalau ia mengubahnya.
Akibat kejahilannya itu, ia sempat membuat temannya putus dengan dengan kekasihnya, lho. Wah..wah… Namun, hal itu kemudian membuat Dewi Sartika sadar bahwa teman-temannya mudah sekali dibodohi karena tidak pernah mendapatkan pendidikan.
Maka dari itu, Dewi Sartika ingin mengubah keadaan yang merugikan kaumnya. Ia ingin mengajari wanita untuk membaca dan menulis supaya tidak lagi gampang dibohongi dan diremehkan. Perjuangannya itu tentu saja tidaklah mudah, terlebih lagi ia masih dikelilingi orang-orang kolot yang menjunjung tinggi patriarki.
Baca juga: Biografi & Profil Nabi Muhammad SAW
2. Mengalami Penolakan Hingga Akhirnya Berhasil Mendirikan Sekolah
Seperti yang telah kamu ketahui sebelumnya, Dewi Sartika menghabiskan masa kanak-kanak hingga remajanya di Cicalengka. Selama tinggal bersama pamannya itu, ia memang memperoleh banyak sekali keterampilan yang berguna. Akan tetapi, ia tidak bisa mewujudkan cita-citanya membangun sekolah perempuan disana.
Hal itu dikarenakan pikiran kolot orang-orang yang masih menganggap bahwa wanita tidak perlu bersekolah. Yang terpenting, wanita hanya paham adat dan bisa mengurus rumah tangga.
Kemudian pada tahun 1902, ia memutuskan untuk kembali ke Bandung. Selain karena sang ibu sudah kembali, ia berpikiran kalau cita-citanya akan lebih mudah diwujudkan di kota tersebut. Beberapa bulan kemudian, Dewi Sartika lalu pergi menemui Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara dan mengutarakan maksudnya untuk mendirikan sekolah.
Awalnya, gagasan tersebut ditolak mentah-mentah karena pada zaman itu pendidikan bagi wanita tidaklah lazim. Tapi melihat tekadnya yang kuat dan tak kenal lelah, sang bupati pun akhirnya mengizinkannya untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan.
Bupati Martanegara kemudian menyarankan Dewi Sartika untuk menggunakan Pendopo Kabupaten Bandung sebagai lokasi sekolahnya. Hal itu dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ia diperbolehkan pindah lokasi jika nantinya semuanya berjalan lancar dan jumlah muridnya sudah bertambah banyak.
Tepat pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika resmi membuka sekolahnya yang diberi nama Sakola Istri. Ia dibantu oleh Nyi Poerma dan Nyi Oewit untuk mengajar ke-20 muridnya. Murid-murid tersebut kebanyakan merupakan anak-anak dari pegawai yang bekerja di kabupaten.
Di sekolah tersebut, anak-anak diajari keterampilan dasar rumah tangga seperti menjahit, memasak, menyulam, dan lain sebagainya. Selain itu, Dewi Sartika juga mengajar mereka untuk membaca, menulis, berlatih bahasa Belanda, dan belajar ilmu agama. Nah, demikianlah awal perjuangan Dewi Sartika merintis sekolahnya yang bisa kamu simak di biografi lengkap ini.
Baca juga: Biografi & Profil Moh Hatta
3. Semakin Berkembang dan Berganti Nama
Antusiasme para wanita untuk memperoleh pendidikan cukup luar biasa. Hal tersebut kemudian membuat Sakola Istri mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam kurun setahun, gedung pendopo itu sudah tidak mampu lagi untuk menampung para siswi yang hendak bersekolah.
Maka dari itu, tepatnya di tahun 1905, sekolah tersebut kemudian berpindah lokasi ke Jalan Ciguriang yang mempunyai gedung berkapasitas lebih banyak. Tak hanya jumlah muridnya yang bertambah, tenaga pengajarnya pun semakin banyak.
Di tahun 1909, Sakola Istri akhirnya berhasil meluluskan murid-murid angkatan pertamanya. Keren banget, deh! Lalu setahun kemudian, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sakola Dewi Sartika.
Tiap tahunnya, jumlah murid perempuan yang mendaftar sekolah tersebut semakin bertambah. Mereka tidak hanya berasal dari Bandung, tapi juga dari kota lain. Untuk memberikan akses yang lebih mudah, Dewi Sartika pun kemudian membuka 9 cabang sekolah di Priangan.
Kemudian pada tahun 1914, Sakola Istri kembali berganti nama menjadi Sakola Kaoetamaan Istri. Demikianlah perjalanan panjang perjuangan Dewi Sartika dalam membangun sekolahnya yang bisa kamu baca di biografi lengkap ini.
Baca juga: Mengenang Sosok Penyair yang Dijuluki Si Binatang Jalang Lewat Biografi Chairil Anwar Ini
Kisah Masa Tua Dewi Sartika
Sumber: Wikimedia Commons
Kehidupan masa kecil, percintaan, hingga perjuangan mendirikan sekolah sudah kamu baca di biografi Dewi Sartika ini. Selanjutnya, ulasan berikut akan membahas mengenai masa-masa setelah kejayaan membangun sekolah ini berakhir.
Awal dari masa-masa sulit Dewi Sartika di masa tua dimulai ketika sang suami meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1939. Kesehatannya pun semakin menurun karena usianya sudah tidak muda lagi. Meskipun begitu, ia tetap tak kenal lelah untuk mengurus sekolah-sekolah yang telah dibangunnya.
Tak lama setelah itu, terjadilah Perang Dunia II pada tahun 1940 yang memengaruhi seluruh wilayah jajahan Belanda, termasuk Indonesia. Keadaan negara yang kacau kemudian berimbas pada sekolah-sekolah milik Dewi Sartika yang membuatnya kekurangan biaya operasional maupun material. Bahkan, bantuan yang diberikan pemerintah pun tidak cukup untuk menutupi kekurangan tersebut.
Keadaan semakin memburuk setelah Hindia Belanda diambil alih oleh Jepang pada tahun 1942. Hingga Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 pun, keadaan sekolah yang dikelolanya itu tak kunjung membaik. Malah, kondisinya semakin memprihatinkan ketika Belanda kembali datang ke Indonesia pada tahun 1947.
Dewi Sartika bahkan harus mengungsi dan meninggalkan sekolah yang sudah susah payah dibangunnya itu. Ia kemudian pergi mengungsi ke tempat aman dan berpindah-pindah dari Ciparay, Garut, Ciamis, hingga Cineam.
Berpindah dari tempat satu ke tempat lain tentu saja tidak mudah, apalagi baginya yang sudah tidak muda lagi. Kesehatannya pun memburuk karena ketersediaan obat yang juga terbatas. Hingga akhirnya, ia harus dibawa ke rumah sakit karena penyakitnya semakin parah sayangnya sudah terlambat.
Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 di usia 63 tahun dan dimakamkan dengan sederhana di Desa Cineam. Tiga tahun kemudian setelah keadaan sudah stabil, makamnya dipindahkan ke Bandung.
Baca juga: Biografi & Profil Ki Hajar Dewantara
Penghargaan yang Diberikan pada Dewi Sartika
Kegigihannya memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan tidak luput dari perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Dewi Sartika memperoleh banyak sekali penghargaan, salah satunya yang bisa kamu baca lewat biografi Dewi Sartika ini adalah mendapatkan bintang perak pada tahun 1922.
Kemudian pada tahun 1929, pemerintah juga memberikan gedung baru yang lebih luas dan bagus supaya kegiatan belajar-mengajar semakin baik lagi. Hadiah itu diberikan bertepatan dengan perayaan 25 tahun berdirinya Sakola Istri. Tak hanya itu saja, sekolah tersebut juga berganti menjadi Sekolah Raden Dewi sebagai bentuk apresiasi terhadap jasa-jasanya.
Nah, puncak karier Dewi Sartika berada pada tahun 1939. Ia mendapatkan penghargaan bintang emas dan Orde Van Oranje Nassau dari Pemerintah Belanda tepat pada peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi.
Kemudian setelah Dewi Sartika meninggal dunia, jasa-jasanya tentu tidak dilupakan begitu saja. Pemerintah memberinya gelar pahlawan nasional pada tanggal 1 Desember 1966. Selain itu, pada tahun 1969, sosoknya diabadikan pada prangko bernilai 15 sen.
Pemerintah Kota Bandung pun memberikan apresiasi dengan mengabadikan sosoknya dalam wujud sebuah patung. Kalau kamu penasaran dan ingin melihatnya langsung juga bisa, lho. Patung Dewi Sartika yang diresmikan pada tanggal 4 Desember itu di tempatkan di Taman Balai Kota Bandung.
Kalau kamu kebetulan lagi liburan atau merencanakan liburan ke Bandung, langsung aja dateng ke sana. Refreshing sambil melakukan wisata sejarah kedengarannya oke juga, kan?
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Ilmuwan Fisika yang Suka Musik
Fakta Menarik Lain tentang Dewi Sartika
Selain yang udah kamu baca di atas, ada lagi nih, informasi menarik yang sayang banget untuk dilewatkan. Mau tahu apa saja? Simak terus di biografi Dewi Sartika ini!
1. Nggak Hanya Berjuang Soal Pendidikan, Tapi Vokal Terhadap Kesenjangan Upah dan Poligami
Dewi Sartika memang dikenal sebagai pahlawan nasional yang menggebrak patriarki dalam hal pendidikan. Karena baginya, pendidikan adalah kunci agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Tak hanya itu, ia juga memperjuangkan hak perempuan yang lain, yaitu mendapatkan upah yang layak dan setara dengan laki-laki.
Pasalnya, pada zamannya upah yang diterima oleh para wanita itu begitu sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Padahal pekerjaan mereka juga sama atau mungkin malah lebih berat dari laki-laki. Jadi sudah dari dulu, ia menyuarakan tentang kesetaraan gender.
Selain itu, ia juga buka suara tentang poligami yang lebih banyak merugikan kaum perempuan. Dikutip dari Stuers, ia mengatakan, “Perkawinan di bawah umur dan poligami adalah bentuk kemunduran suatu masyarakat.”
Seperti yang sudah kamu baca di atas, Dewi Sartika memang pernah akan dipinang oleh sepupunya yang sudah beristri dan menolaknya. Hal itu dikarenakan dia tidak mau merusak rumah tangga orang lain dan sangat menentang hal tersebut.
2. Mengungkapkan Pikiran dalam Buku dan Artikel di Media Massa
Sebagai seorang aktivis pendidikan, Dewi Sartika juga rajin menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan. Salah satu wujudnya adalah bukunya yang berjudul Kaoetaman Istri yang ditulis pada tahun 1911.
Tulisannya mengangkat tentang kepedulian terhadap hak-hak kaumnya. Lewat bukunya itu, ia berharap bisa mengubah paradigma orang-orang yang mengatakan bahwa wanita tidak perlu sekolah. Karena jika wanita berpendidikan, mereka pasti nantinya bisa melahirkan generasi yang lebih baik.
Tak hanya buku, ia juga rajin mengirimkan artikel ke berbagai media massa yang terbit di berbagai kota besar, seperti Bandung, Jogja, maupun Surabaya. Tema tulisannya pun tidak jauh-jauh dari masalah yang berkaitan dengan keadaan perempuan pada saat itu.
Sudah Puas Membaca Biografi Dewi Sartika di Atas?
Itulah dia informasi tentang Dewi Sartika yang bisa kamu baca di biografi ini. Semoga bisa menambah wawasanmu, ya! Nggak hanya itu saja, kamu juga bisa mengambil berbagai pelajaran berharga dan menjadikannya sebagai teladan hidup.
Nah selain biografi Dewi Sartika, di KepoGaul juga ada banyak artikel serupa yang menarik, lho. Di antaranya adalah biografi R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Bung Tomo, dan Jendral Sudirman.
Kalau mau nyari informasi tentang seleb baik itu dari Indonesia, Barat, maupun Korea Selatan juga ada, lho. Makanya, baca KepoGaul terus, ya!