
Insiden G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965 membuat tokoh-tokoh yang bergabung dengan Partai Komunis Indonesia terlihat buruk di mata rakyat Indonesia. Padahal, beberapa tokoh PKI memiliki peran penting dalam terjadinya kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah Wikana. Kalau kamu ingin mengenal sosoknya lebih dekat, simak biografi Wikana yang sudah kami siapkan di artikel ini.
- Nama
- Wikana
- Tempat, Tanggal Lahir
- Sumedang, 18 Oktober 1914
- Menghilang
- 1966
- Istri
- Asminah binti Oesman (1940–1966)
- Anak
- Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria, Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin Pratapa, Rani Sadakarana, Remondi Sitakodana
- Orang Tua
- Raden Haji Soelaiman (Ayah)
Mungkin, tak banyak dari kalian yang mengetahui nama Wikana dan apa perannya di Indonesia. Nggak mengherankan karena bersamaan dengan beberapa tokoh PKI yang dihapuskan dari sejarah, nama Wikana pun terlupakan dan tak banyak buku biografi yang beredar tentangnya.
Padahal, ia memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Bersama pemuda-pemuda perjuangan lainnya, ia merencanakan penculikan Soekarno dan Hatta untuk mendesak terjadinya proklamasi. Kejadian penculikan itu kini lebih banyak dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Setelah Indonesia merdeka, ia turut serta aktif di kursi pemerintahan. Ia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda di Kabinet Syahrir II dan III, kemudian menjadi Menteri Pemuda di Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II.
Semakin penasaran dengan salah satu tokoh PKI yang ditangkap oleh pemerintah Indonesia terkait insiden G30S/PKI ini? Langsung saja simak biografi Wikana di artikel ini, yuk! Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi Wikana
Hal pertama yang perlu kamu ketahui di biografi Wikana ini adalah seputar kehidupan pribadinya. Mulai dari masa kecilnya, sekolah tempatnya belajar, hingga kekasih hati juga anak-anaknya.
1. Masa Kecil
Pria yang lahir di Sumedang pada tanggal 18 Oktober 1914 ini merupakan anak ke-14 dari 16 bersaudara. Ayahnya yang bernama Raden Haji Soelaiman merupakan seorang pendatang dari Demak, Jawa Tengah, sementara ibunya adalah keturunan keluarga menak Sumedang yang bernama Nonoh.
Wikana lahir bersamaan ketika Belanda tengah memperkuat pertahanan Kota Sumedang dari serangan tentara Sekutu yang berniat datang mengambil alih kepemilikan atas Indonesia. Ia memiliki seorang kakak bernama Winanta yang pernah dibuang ke Boven Digoel.
Sang kakak terkenal sebagai penulis cerita pendek berjudul Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digoel. Kisah tersebut termasuk salah satu cerita yang dikumpulkan dan disunting oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi sebuah buku berjudul Cerita dari Digoel.
Baca juga: Biografi Laksamana Malahayati, Pahlawan Asal Aceh yang Menjadi Laksamana Wanita Pertama di Dunia
2. Masa Sekolah
Dengan status keluarganya, Wikana dapat menempuh pendidikan di sekolah bergengsi seperti Europeesch Lagere School (ELS). Sekolah dasar tersebut mewajibkan setiap siswanya memahami bahasa Belanda.
Dengan kecerdasannya, Wikana lulus dari ELS dengan nilai baik. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau setingkat sekolah menengah pertama.
Setelah lulus, ia sempat menjadi anak didik Soekarno di Bandung bersama Asmara Hadi, Soepeno, Sukarni, Goenadi, dan SK. Trimurti. Saat itu, ia sering menulis artikel untuk koran Fikiran Rakjat asuhan Soekarno.
Sejak sekolah ia juga mulai tertarik mempelajari bahasa asing. Secara otodidak ia mempelajari bahasa Jerman, Inggris, Rusia, dan Perancis hinggal lancar.
3. Kehidupan Berumah Tangga
Sebelum membahas tentang perjuangan Wikana untuk Indonesia pada biografi ini, kita bahas perjuangannya dalam hidup berumah tangga terlebih dahulu. Tak hanya membahas tentang istrinya, tapi juga anak-anaknya dan prinsip yang selalu ia ajarkan pada mereka.
Wikana menikah dengan Asminah binti Oesman pada tahun 1940. Pernikahan yang berlangsung di Kemayoran itu banyak dihadiri oleh sahabatnya.
Keduanya dikaruniai enam anak, yaitu Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria, Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin Pratapa, Rani Sadakarana, dan Remondi Sitakodana.
Sejak anak-anaknya masih kecil, Wikana selalu menanamkan kecintaan pada buku dan membaca. Bahkan, ketika ada anaknya yang berulang tahun, ia akan mengajak sang anak ke toko buku lalu membiarkannya membeli sebuah buku.
Selain itu, Wikana juga selalu mengajari anak-anak perempuannya untuk tidak pernah menikah dengan pejuang kemerdekaan. Ia beranggapan kalau pejuang kemerdekaan seperti dirinya hanya akan membuat keluarganya hidup susah. Namun, jika putri-putrinya bisa sabar dan tahan seperti sang ibunda, ia tak akan melarang mereka untuk menikah dengan pejuang.
Baca juga: Biografi HOS Cokroaminoto, Guru Tokoh Besar Nasional yang Dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota
Masa-Masa Perjuangan
Setelah mengetahui kehidupan pribadi Wikana dalam biografi ini, hal selanjutnya yang perlu kamu ketahui adalah perjuangannya dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Perjuangan itu dilakukannya sejak masih remaja dengan cara aktif bergabung di badan-badan pemuda.
1. Masuk ke Dunia Politik
Wikana mulai masuk masuk ke dunia politik ketika bergabung dengan Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31) dan Gerakan Rakyat Baru. Di sana, ia semakin mendalami tentang ideologi politik. Sayangnya, pada tahun 1943 kedua organisasi tersebut dibubarkan oleh pemerintah Jepang karena dianggap mengajarkan hal-hal yang menentang Jepang.
Selain bergabung dengan Menteng 31 dan Gerakan Rakyat Baru, ia juga aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia bahkan menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat.
Dengan jabatannya itu, ia membantu penerbitan dan penyebaran koran Menara Merah di Jawa Barat di bawah koordinasi seorang tokoh PKI bernama Pamoedji. Sayangnya, pemerintah Hindia Belanda menghentikan peredaran koran tersebut pada tahun 1940 kemudian menangkap aktivisnya, seperti Wikana, Adam Malik, dan Pandu Kartawiguna.
Selain menjadi agen penyebaran Menara Merah, ia juga pernah menjadi pemimpin surat kabar mingguan Pedoman Masjarakat Baroe pada tahun 1935 dan harian Kebangoenan pada tahun 1938. Ia juga pernah diangkat sebagai Penulis Umum II di Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pada bulan Juli 1938, Gerindo membentuk Barisan Pemuda Rakyat Indonesia dan ia langsung diangkat sebagai ketua pertama. Sayangnya, satu tahun kemudian posisi tersebut digantikan oleh Ismail Widjaja. Alasan penggantian itu adalah Wikana dianggap terlalu radikal dan bisa membahayakan perjuangan Gerindo.
Ketika Jepang mulai masuk ke Indonesia, Laksamana Tadashi Maeda membentuk Asrama Indonesia Merdeka. Pada tahun 1944, ia bergabung di sana menggunakan nama samaran Raden Sunoto. Di organisasi yang bertujuan untuk menciptakan generasi pemimpin Indonesia merdeka itulah ia berkenalan dan dekat dengan Laksamana Maeda.
2. Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok
Sejak awal tahun 1945, kaum pemuda dan golongan tua sering berselisih pendapat tentang banyak hal, salah satunya tentang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Ketika berita kejatuhan Jepang tersebar di kalangan pemuda, mereka langsung mendesak golongan tua untuk segera melaksanakan proklamasi kemerdekaan.
Para pemuda yang diwakili oleh DN Aidit, Suroto Kunto, Soebadio Sastrosatomo, dan Wikana langsung mendatangi rumah Soekarno di Pegangsaan Timur pada tanggal 15 Agustus 1945. Mereka berdiskusi dengan Soekarno kemudian mengusulkan untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Karena bagi para pemuda Soekarno dan Hatta tidak terlihat ingin segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Wikana langsung naik pitam. Ia mengungkapkan akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah jika proklamasi tidak segera dilaksanakan. Merasa tersinggung dengan ucapan itu, Bung Karno langsung marah dan menantang Wikana untuk langsung memenggal lehernya saat itu juga.
Pertemuan itu sama sekali tidak berjalan lancar. Para pemuda pun kemudian merencanakan untuk menculik Soekarno dan Hatta. Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03:00 pagi, Wikana bersama Chaerul Saleh dan Sukarni menjemput Soekarno dan Hatta dengan alasan pasukan tentara Jepang Peta (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pembantu Prajurit Jepang) akan melakukan pemberontakan. Padahal, saat itu tidak ada rencana pemberontakan sama sekali.
Keesokan harinya, ketika menyadari kalau Soekarno dan Hatta tidak ada di rumah, Ahmad Soebardjo dan Laksamana Maeda langsung merasa khawatir. Mereka mengira kalau kedua Bapak Proklamasi itu diculik oleh Angkatan Darat Jepang.
Ketika salah satu asisten Laksamana Maeda yang bernama Nishijima bertemu dengan Wikana di Asrama Indonesia Merdeka, ia langsung menanyakan tentang keberadaan Soekarno dan Hatta. Setelah diberikan jaminan kalau Nishijima dan Laksamana Maeda akan membantu proses proklamasi kemerdekaan Indonesia, akhirnya Wikana menjanjikan akan mengatur kepulangan Soekarno dan Hatta.
3. Peran Wikana dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Setelah membuat janji kepada Nishijima dan Laksamana Maek, Kunto dan Achmad Soebardjo langsung menjemput kedua Bapak Negara. Sementara itu, Wikana bersama A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S. K. Wijoto, dan Ridwan Bazar menyiapkan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Masing-masing memiliki tugas masing-masing. Djohar Noer, S.K. Wijoto, dan Ridwan Bazar menghubungi kantor berita Domei dan kantor radio Hosokioku untuk menyebarkan proklamasi kemerdekaan sementara Pardjono mengurus dokumen untuk penyebaran kabar tersebut.
Wikana sendiri bertugas mengatur keperluan pembacaan proklamasi di rumah Bung Karno kemudian bekerja sama dengan Laksamana Maeda untuk mengatur agar tentara Jepang tidak mengganggu jalannya proklamasi. Ia juga yang memastikan Laksamana Maeda memenuhi janjinya untuk membantu berlangsungnya kemerdekaan Indonesia dengan cara mengizinkan rumahnya dijadikan sebagai tempat perumusan naskah proklamasi.
Baca juga: Biografi Raden Patah, Keturunan Raja Majapahit yang Menjadi Pendiri Kesultanan Demak
4. Perjuangan setelah Indonesia Merdeka
Sumber: Wikimedia Commons
Setelah Indonesia merdeka, Wikana semakin aktif di dunia perpolitikan Indonesia. Hal tersebut dimulai ketika ia bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tanggal 27 Agustus 1945.
Kemudian ketika para pemuda membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) pada tanggal 1 September 1945, ia ditunjuk sebagai ketua. Organisasi tersebut bertugas untuk merebut perusahaan-perusahaan yang masih dikuasai Belanda di awal masa revolusi, contohnya Perusahaan Jawatan Kereta Api.
Ketika diadakan Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 10–11 November 1945 di Yogyakarta, beberapa organisasi pemuda, termasuk API, dileburkan menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Saat itu Wikana dipilih sebagai wakil ketua.
Selain aktif di organisasi, Wikana juga memiliki jabatan di pemerintahan. Ia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda pada Kabinet Syahrir II dan III, kemudian menjadi Menteri Pemuda di Kabinet Amir Sjarifuddin.
Ia juga pernah ditunjuk sebagai Gubernur Militer di Surakarta. Namun, ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, ia diturunkan dari jabatan itu dan digantikan oleh Gatot Subroto.
Pada tahun 1953, ia menjadi anggota Konstituante. Pada kongres PKI ke-4, ia bergabung dengan Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC-PKI).
Sayangnya, karena CC-PKI tengah melakukan revitalisasi, Wikana diisolir dan tak lagi dianggap penting. Alasannya karena ia dianggap sebagai orang tua yang tak bisa mengikuti perkembangan zaman.
Karena tak lagi memiliki jabatan, Wikana terpaksa harus hidup dalam kesengsaraan. Ia bahkan sampai harus pindah ke daerah padat dan kumuh di Jalan Dempo daerah Simpangan Matraman Plantsoen.
Untungnya, Chairul Saleh yang saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Indonesia yang pertama mengangkatnya sebagai anggota MPRS. Dengan begitu, hidupnya lebih membaik.
5. Pemberontakan PKI
Pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi peristiwa yang selalu dicatat di sejarah Indonesia, yaitu Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Saat itu, ada banyak tokoh PKI yang dituduh membunuh jenderal-jenderal TNI, begitu pula Wikana. Oleh karena itu, ada baiknya jika peristiwa itu sedikit dibahas pada biografi Wikana ini.
Sebenarnya, pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, Wikana bersama beberapa tokoh PKI tidak berada di Indonesia. Mereka tengah melakukan perjalanan ke Beijing untk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok.
Namun, mendadak terdengar kabar kalau di Indonesia tengah terjadi insiden penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat. Yang lebih mengejutkan bagi Wikana, saat itu PKI dituduh menjadi otak di balik insiden tersebut.
Wikana pun meminta para tokoh PKI yang masih di Beijing untuk tenang sampai mendapatkan kepastian dari informasi tersebut. Barulah pada tanggal 10 Oktober 1965, ia pulang ke Indonesia.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang Dianggap Saingan Politik oleh Soeharto
Akhir Hayat
Sumber: Instagram – gerbangsejarah
Bisa dibilang, membicarakan tentang akhir hayat Wikana dalam biografi ini terhitung agak rumit. Karena sebenarnya tidak banyak informasi seputar kematiannya yang dituliskan di buku sejarah.
Pada bulan Oktober 1965, ketika baru saja kembali dari Beijing, ia langsung dibawa oleh tentara Indonesia untuk diperiksa kemudian dipenjara di KODAM Jaya. Untungnya, keesokan harinya ia diizinkan untuk pulang.
Pada bulan Juni 1966, segerombolan orang tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, Matraman, Jakarta Timur. Orang-orang tersebut menjemputnya entah untuk dibawa ke mana dan tak pernah kembali.
Selama bertahun-tahun, putra putrinya berusaha mencari kabar tentang keberadaan sang ayah. Mereka bahkan sampai menemui beberapa teman Wikana, seperti Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh untuk mencari informasi seputar ayahnya. Sayangnya, usaha itu tidak memberikan hasil sama sekali.
Bahkan, tidak seperti jenazah Tan Malaka yang akhirnya ditemukan dan dimakamkan dengan layak berkat jasa sejarawan yang bernama Harry Albert Poeze, jenazah Wikana masih belum ditemukan hingga biografi ini diterbitkan. Sungguh sesuatu yang sangat menyedihkan bagi keluarganya.
Baca juga: Biografi Buya Hamka, Sastrawan Sekaligus Ulama yang Dinobatkan Sebagai Pahlawan Nasional
Karya-Karya Wikana
Meskipun Wikana adalah seorang pejuang yang aktif di banyak organisasi, ia tetap menyempatkan diri untuk menulis. Tak ada salahnya jika kita membahas sedikit karya Wikana di biografi ini.
Keaktifannya di organisasi dan pemerintah, menginspirasinya untuk menulis buku yang berhubungan dengan semangat pergerakan dan komunisme. Berdasarkan keterangan dari putrinya yang bernama Tati, Wikana sangat suka menulis. Bahkan, hal pertama yang dilakukan ketika sampai di rumah adalah membaca buku kemudian menulis.
Karya-karya yang pernah ia buat adalah Organisatie, Pengoempoelan Boeah Pena (1947), Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka (1948), dan Satu Dua Pandangan Marxisme (1949).
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Nasional Muda yang Gugur di Medan Perang
Semakin Mengenal Sosok Wikana melalui Biografi
Itu tadi adalah biografi Wikana yang lengkap membahas dari kehidupan pribadi, perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga akhir hayatnya. Apakah kamu semakin mengenal sosoknya?
Setelah ini, cobalah untuk memperkenalkan sosoknya pada teman-temanmu. Karena bahkan Soe Hok Gie menyebutkan dalam skripsinya yang berjudul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, kalau proses proklamasi Indonesia mungkin tak akan bisa berjalan lancar jika tanpa bantuan Wikana.
Masih ingin mencari biografi tokoh-tokoh yang bisa memotivasi selain Wikana? Simak terus KepoGaul.com. Di sini kamu nggak hanya bisa mendapatkan biografi presiden pertama Indonesia, perdana menteri pertama Indonesia, pencipta lagu Indonesia Raya, dan masih banyak lagi.