
Buat kamu yang tertarik dengan dunia sastra, mungkin tidak asing lagi dengan Sapardi Djoko Damono. Karya-karya dari salah satu penyair maestro ini nggak kalah bagus dan romantis dibandingkan Khalil Gibran. Kalau kamu penasaran dan ingin mengenal sosoknya lebih dekat, langsung saja baca biografi Sapardi Djoko Damono berikut ini.
- Nama
- Sapardi Djoko Damono
- Tempat, Tanggal Lahir
- Solo, 20 Maret 1940
- Pekerjaan
- Sastrawan, Dosen, Penulis
- Pasangan
- Wardiningsih (m. 1965-2019)
- Anak
- Rasti Suryandani, Rizki Henriko
- Orang Tua
- Sadyoko (Ayah), Sapariyah (Ibu)
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.” Kamu mungkin familier dengan kata-kata romantis yang sering dijadikan caption Instagram maupun undangan di pernikahan ini, kan? Kutipan tersebut diambil dari sebuah puisi berjudul Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono. Nah saking populernya, nggak heran jika banyak orang yang mencari biografi sosok sang penulis, Sapardi Djoko Damono.
Sulung dari dua bersaudara ini merupakan anak dari pasangan Sadyoko dan Sapariyah yang lahir pada tanggal 20 Maret 1940. Seperti Tung Desem Waringin, ia lahir di Kota Solo, Jawa Tengah.
Sedari kecil, ia memang gemar membaca. Namun, awalnya dirinya tidak menyangka akan menjalani karier di dunia tulis menulis. Ia baru mulai benar-benar menyukai dunia sastra setelah membaca karya-karya T.S. Eliot, seorang penyair asal Inggris. Sejak saat itu, ia mulai menulis dan sering mengirimkan karyanya ke media cetak.
Selama menekuni dunia sastra, laki-laki yang lebih akrab disapa SDD ini sudah berhasil menerbitkan puluhan karya yang tidak hanya dalam bentuk puisi saja, tapi juga cerpen. Selain itu, ia juga menulis novel yang dikembangkan dari puisi yang digubahnya.
Karya-karya yang diciptakan oleh Sapardi Djoko Damono memang bisa diterima baik oleh berbagai kalangan, baik tua maupun muda. Wujud apresiasi para pembaca itu adalah banyaknya penghargaan bergengsi yang diterimanya. Bahkan, banyak juga karyanya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, lho. Keren, kan?
Nah, gimana, nih? Tentunya kamu semakin ingin mengenal lebih dekat sosok sastrawan Indonesia ini, kan? Langsung saja baca ulasan selengkapnya di biografi Sapardi Djoko Damono ini, yuk!
Mengulik Kehidupan Pribadi Sang Penyair Maestro
Saat mencari biografi Sapardi Djoko Damono, mungkin salah satu pertanyaan yang melintas di benakmu adalah mengenai kehidupan masa kecilnya, kan? Nah selain itu, di sini nanti, kamu juga akan membaca riwayat pendidikan serta pekerjaannya.
1. Kisah Masa Kecil
Sapardi Djoko Damono lahir ketika Indonesia masih dalam masa penjajahan, maka dari itu ia menjalani kehidupan masa kecilnya dengan sangat sederhana. Supaya bisa bertahan hidup, ibunya bahkan harus berjualan buku-buku untuk memenuhi biaya makan sehari-hari. Tentu saja hasil yang diterima tidak seberapa dan hanya cukup untuk membeli beras yang nantinya dijadikan bubur supaya lebih banyak.
Pada saat Indonesia dijajah oleh Jepang, dirinya hampir saja dipisahkan dari sang ibu yang ingin dijadikan tentara. Saat itu, Jepang memang sedang melakukan perekrutan besar-besaran sehingga tidak hanya kaum laki-laki saja yang dipilih. Untungnya, waktu itu ibunya sedang mengandung sang adik sehingga tidak jadi direkrut.
Ketika Indonesia sudah merdeka, kehidupan keluarga SDD tak kunjung membaik. Keadaan semakin susah ketika sang ayah harus sembunyi karena takut ditangkap oleh Belanda. Belanda memang kembali lagi ke Indonesia untuk menangkapi gerilyawan yang diduga membakar rumah orang-orang yang dulunya pro Belanda. Walaupun tidak terlibat, semua laki-laki dewasa akan dicurigai dan ditangkap sehingga ayahnya memilih untuk mengungsi.
Sapardi Djoko Damono berasal dari keluarga yang mempunyai darah seni. Kakek dari pihak ayahnya adalah seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Solo yang jago mendalang dan membuat wayang. Tidaklah mengherankan jika ia bisa memainkan wayang.
Sementara itu, nenek dari keluarga ibunya jago menyanyikan puisi berbahasa Jawa yang ditulisnya sendiri. Namun, SDD sendiri mengaku kalau ia tidak terlalu jago menyanyi. Maka dari itu, ia lebih memilih mengembangkan kemampuannya untuk menulis syair.
Nah, buat kamu yang bertanya-tanya dari mana ia mendapatkan bakat menulis syair sudah terjawab, kan? Inilah sedikit cerita menarik tentang masa kecil Sapardi Djoko Damono yang bisa kamu baca di ulasan biografi ini.
2. Riwayat Pendidikan
Lewat biografi Sapardi Djoko Damono ini, kamu juga akan membaca riwayat lengkap pendidikannya. Langsung saja di simak, yuk!
Penerima penghargaan Achmad Bakrie tahun 2003 ini menempuh pendidikan pertamanya di Sekolah Rakyat Kesatrian, tempat di mana kalangan keraton bersekolah. Sekolah ini khusus untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan disebut Parmadi Putri. Dirinya bisa masuk ke sana karena kakeknya adalah seorang abdi dalem.
Tidak seperti pada sekolah rakyat biasa yang hanya diajari menulis, berhitung, dan belajar bahasa, di sini ia diajarkan untuk menari Jawa dan menabuh Gamelan. Sehingga nantinya murid-murid bukan hanya diharapkan untuk menjadi orang yang pandai, tapi juga bisa melestarikan budaya Jawa.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat Kesatrian, SDD kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Solo. Meskipun belum terlalu serius menjajaki dunia tulis menulis, tapi bakatnya sudah mulai terlihat. Ketika duduk di bangku SMA-lah ia mulai serius mengasah bakat menulisnya dan mengirimkan beberapa karyanya ke media cetak.
Kemudian pada tahun 1958, ia meneruskan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di sana, ia diterima di jurusan Bahasa Asing pada Fakultas Sastra dan Kesenian.
Lewat sebuah wawancara, dirinya mengaku begitu terinspirasi dengan T.S. Eliot sehingga mengambil jurusan Bahasa Asing. Penyair asal Inggris itulah yang membuka matanya dan membuatnya mantap untuk berkarier di dunia sastra. Untuk penyair dalam negeri, ia berkata begitu menyukai karya-karya W.S. Rendra.
Sapardi Djoko Damono resmi menyandang gelar Sarjana Bahasa Asing pada tahun 1964. Setelah itu, ia mengajar di salah satu universitas di Malang. Pada tahun 1970, ia memutuskan untuk memperdalam pengetahuannya mengenai dunia sastra dengan belajar ke Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Tidak berhenti di situ saja, ia juga mengambil gelar Doktor di Universitas Indonesia dan menyelesaikannya pada tahun 1989.
Baca juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pejuang Wanita yang Berperan Besar dalam Perang Diponegoro
3. Perjalanan Karier di Dunia Pendidikan
Sumber: ResearchGate
Riwayat pendidikan Sapardi Djoko Damono sudah kamu simak di ulasan biografi di atas. Nah, selanjutnya, kamu bakal membaca mengenai perjalanan kariernya di dunia pendidikan.
Mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta ini rupanya mempunyai pemikiran yang realistis bahwa menekuni sastra saja tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka dari itu, ketika ditawari menjadi dosen dan membuka jurusan Sastra Inggris di IKIP Malang cabang Madiun, ia pun menerimanya. Lagipula, menjadi pendidik juga merupakan salah satu cita-citanya.
Di universitas tersebut, ia diangkat menjadi dosen tetap ketika umurnya baru 23 tahun. Selama kurang lebih 4 tahun, ia mengabdi di sana. Kemudian pada tahun 1968, ia memutuskan untuk pindah Semarang. Di sini, ia menjadi dosen tetap Fakultas Sastra-Budaya di Universitas Diponegoro.
Pengarang Mantra Orang Jawa ini memang mempunyai jiwa yang bebas sehingga berkutat pada satu tempat saja membuatnya cepat bosan. Pada tahun 1974, ia kemudian pindah ke Jakarta untuk semakin mengembangkan kariernya.
Pada awalnya, kedatangannya ke ibu kota karena diminta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Akan tetapi, Sapardi Djoko Damono kemudian mendapatkan tawaran untuk menjadi dosen tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI).
Rupanya, pria yang akrab disapa eyang ini sudah menemukan tempat yang nyaman untuk mengembangkan karier di sini. Kariernya sebagai dosen pun semakin menanjak. Ia pernah menjabat sebagai pembantu dekan III dan I pada tahun 1979–1996. Setelah itu, ia menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra UI selama tiga tahun yang berakhir pada tahun 1999.
Pada tahun 2005, SDD pun memasuki masa pensiun dan diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya di UI. Setelah pensiun pun, ia tetap mengabdikan dirinya untuk mengajar sebagai dosen tamu di beberapa tempat, seperti Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Diponegoro, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Karier di Dunia Sastra
Ini nih yang mungkin sudah kamu tunggu-tunggu saat membaca biografi Sapardi Djoko Damono, yaitu mengenai perjalanan kariernya di dunia sastra. Kalau gitu, tunggu apalagi? Baca kelanjutannya, yuk!
1. Awal Karier
Sedari kecil, SDD memang sudah gemar membaca dan mempunyai minat pada dunia tulis menulis. Namun, ia baru benar-benar memulainya ketika duduk di bangku SMP. Hasil karya pertamanya yang dikirimkan ke media cetak bukanlah puisi, melainkan cerpen.
Waktu itu, ia menjajal mengirimkan sebuah cerpen ke redaksi majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat. Akan tetapi, hasil karyanya itu ditolak oleh redaktur yang menilai ceritanya tidak masuk akal. Padahal, kisah yang ditulisnya itu merupakan kejadian nyata yang ia alami. Di situ, ia menceritakan tentang bagaimana sang ibu melepas ia dan adiknya untuk tinggal beberapa hari bersama ibu tiri dan ayahnya.
Meskipun ditolak, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk menulis. Hingga kemudian pada saat dirinya duduk di bangku kelas 2 SMA, ia mulai menulis puisi dan mengirimkannya beberapa media cetak. Karya pertamanya dibaca oleh khalayak umum setelah diterbitkan oleh salah satu media cetak di Semarang.
Penulis Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? ini semakin rajin untuk mengirimkan karya-karyanya ke beberapa media cetak di berbagai kota. Karena mendapatkan respon yang positif dari para penikmat sastra, ia pun jadi bersemangat dalam menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi.
Dikarenakan namanya sering muncul di media cetak, sebelum masuk kuliah pun, Sapardi Djoko Damono sudah dikenal di mana-mana. Hebatnya lagi, sebuah sajak yang dibuatnya pada saat berusia 17 tahun digunakan sebagai sajak wajib pada pertemuan Kesenian Nasional Indonesia. Menariknya, sajak tersebut tidak hanya digunakan sekali saja, tapi sampai tiga kali, lho.
Baca juga: Biografi Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern yang Ideologinya Menjadi Kontroversi
2. Populer dan Menerima Banyak Penghargaan
Seperti sudah diceritakan di biografi Sapardi Djoko Damono ini, namanya semakin populer setelah menghiasi berbagai media cetak, seperti majalah dan surat kabar. Tak hanya itu saja, beberapa karyanya juga diterbitkan dalam bentuk kumpulan buku-buku sastra.
Kemudian di tahun 1969, SSD menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang diberi tajuk Duka-Mu Abadi. Selang beberapa tahun kemudian, ia merilis buku kumpulan puisi lagi, yaitu Mata Pisau (1974). Di tahun 1978, dirinya mendapatkan penghargaan Cultural Award dari Australia karena karya-karyanya tidak hanya diapresiasi oleh penikmat sastra dari dalam negeri saja, tapi juga luar negeri.
Sapardi Djoko Damono kembali merilis kumpulan sajaknya yang kemudian diberi judul Perahu Kertas pada tahun 1978. Karyanya ini berhasil mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, lho.
Selanjutnya, sajak Sihir Hujan (1984) yang ditulisnya juga mendapatkan penghargaan dari Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Menariknya, puisi tersebut ditulisnya ketika sedang sakit. Apresiasi lain dari para penikmat sastra mancanegara yang pernah diterimanya adalah penghargaan SEA Write pada tahun 1989 di Bangkok.
Selain berkutat pada puisi, dirinya juga menuangkan ide dalam bentuk cerpen. Adapun beberapa buku kumpulan cerita pendek yang telah diterbitkannya adalah Pengarang Telah Mati (2002), Membunuh Orang Gila (2003), Sepasang Sepatu Tua (2019), dan Menghardik Gerimis (2019).
Tidak hanya itu saja, eyang juga mengembangkan beberapa karya puisinya yang fenomenal dalam bentuk novel. Apakah kamu bisa menebak judul novel yang ditulisnya? Ya, judulnya adalah Hujan Bulan Juni yang terbit pada tahun 2015 lalu. Novel ini berkisah tentang kisah cinta sepasang muda-mudi yang terbentur agama dan budaya.
Laris manis di pasaran, ia kemudian merilis sekuelnya yang bertajuk Pingkan Melipat Jarak (2017). Novel ini dirilis bertepatan dengan perayaan ulang tahunnya yang ke-77. Setahun kemudian, Yang Fana Adalah Waktu yang merupakan buku ketiga dari Hujan Bulan Juni pun dirilis.
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Nasional Muda yang Gugur di Medan Perang
Sempat Mengalami Trauma dengan Penerbit
Mempunyai nama yang besar tidak menjamin kalau karyanya akan selalu diapresiasi, buktinya ia sudah dikecewakan oleh dua penerbit besar. Langsung saja simak kelanjutan kisahnya di biografi Sapardi Djoko Damono ini, ya!
Cerita tidak mengenakkan ini berawal dari penerbitan kumpulan puisinya yang berjudul Mata Pisau dan Akuarium oleh Balai Pustaka pada tahun 1984. Penerbit memang sudah meminta izin untuk menerbitkannya. Namun setelah itu, ia tidak diberi kabar apa pun mengenai perkembangan bukunya di pasaran. Bahkan, ia juga tidak mendapatkan royalti dari penjualan bukunya itu.
Tidak hanya dengan Balai Pustaka, SDD juga pernah mengalami masalah serupa dengan Grasindo. Penerbit tersebut merilis Hujan Bulan Juni pada tahun 1994 lalu. Mereka hanya memberikan royalti satu kali padanya, tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya lagi. Padahal, buku tersebut sudah dicetak lebih dari empat kali.
Lewat wawancara yang dilakukan oleh CNN Indonesia, dirinya mengaku tidak terlalu mempermasalahkan soal royalti. Hanya saja, ia juga ingin mengetahui bagaimana perkembangan karyanya di pasaran.
Nah, selang lebih dari dua puluh tahun kemudian, Penerbit Balai Pustaka kembali menemuinya untuk menerbitkan karya-karyanya yang lain. Hal ini tentu saja mengorek luka lama SDD yang sudah dikecewakan beberapa kali. Akhirnya, ia memutuskan untuk menarik semua bukunya dari peredaran pada tahun 2009, itulah alasan mengapa buku-bukunya sempat menghilang di pasaran.
Rasa kecewa dan trauma yang dirasakan pada penerbit kemudian membuatnya bertekad untuk menerbitkan bukunya sendiri. Ia juga mendesain, menggambar ilustrasi, dan mencetaknya sendiri. Ia hanya menjual buku-bukunya ketika menjadi pembicara di seminar-seminar.
Hingga kemudian, penerbit Gramedia menemuinya pada tahun 2013 untuk menerbitkan ulang Hujan Bulan Juni. Meskipun awalnya sempat ragu, akhirnya ia pun menyetujui setelah pihak penerbit menerima semua persyaratan yang diajukannya. Tidak tanggung-tanggung karyanya itu kemudian menjadi best seller hanya dalam beberapa bulan rilis.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Pendiri Apple yang Membangun Kerajaan Bisnisnya dari Nol
Dedikasi Sapardi Djoko Damono untuk Dunia Sastra Indonesia
Sapardi Djoko Damono adalah salah satu sastrawan yang mempunyai peran besar dalam perkembangan dunia sastra di Indonesia. Selain turut mengembangkan melalui karya-karya yang dibuatnya, terus hal apa saja yang dilakukannya? Daripada makin penasaran, lanjutin baca biografi Sapardi Djoko Damono ini, yuk!
1. Penerjemahkan Karya-Karya
Karena keterbatasan teknologi, dulu memang agak sulit untuk mengakses karya sastra dari luar negeri. Dengan tujuan untuk menambah wawasan dan berbagi pengetahuan, Sapardi Djoko Damono kemudian mengalihbahasakan karya-karya penulis asing.
Nah, beberapa puisi karya penyair luar negeri yang sudah diterjemahkannya adalah Orang-Orang Kosong dari T.S. Eliot, Sayap-Sayap Patah dari Khalil Gibran, Tubuhku Berdaki karya Rumi, dan Sepilihan Sajak George Seferis karya George Seferis. Tidak hanya sajak puisi, ia pun menerjemahkan beberapa prosa, seperti Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway dan Pembunuhan di Katedral milik T.S. Eliot.
SDD nyatanya tidak hanya menerjemahkan karya penulis luar, tapi karya-karyanya juga turut diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing seperti Inggris, Jepang, Arab, Mandarin, dan lain-lain. Adapun beberapa terjemahan karyanya adalah Before Dawn: Poetry of Sapardi Djoko Damono, Suddenly The Night, Black Magic Rain, Water Color Poem, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya penerjemahan puisi atau prosa, ia juga mengikuti berbagai seminar sastra dan menjadi narasumber yang diadakan di dalam dan luar negeri. Ia dulu pernah menjadi anggota penyusun buku Anthropology of Asean Literature, menjadi editor majalah Journal of Southeast Asian Literature di Kuala Lumpur, mengikuti workshop penerjemahan di Belanda, dan masih banyak lagi.
Sungguh berprestasi sekali, ya? Itulah sedikit kontribusi Sapardi Djoko Damono dalam dunia tulis menulis yang bisa kamu baca di biografi ini.
2. Mendirikan Himpunan Sastra dan Yayasan Bahasa
Selanjutnya di biografi Sapardi Djoko Damono ini, kamu bisa menyimak gagasan apa saja yang dibuatnya untuk semakin memajukan dunia sastra Indonesia. Yuk, baca terus!
Pada tahun 1986, penulis Aku Ingin ini menggagas pendirian sebuah organisasi kesastraan Indonesia ketika menjadi pembicara seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang diadakan di Bogor. Tentu saja, hal itu mendapatkan sambutan yang baik.
Kemudian, pada tahun 1988, organisasi yang diberi nama Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) resmi didirikan. Dirinya kemudian didapuk menjadi ketuanya selama tiga periode berturut-turut.
Mantan editor majalah Horison ini juga mendirikan organisasi nirlaba yang diberi nama Yayasan Lontar pada tahun 1987. Tentu saja ia tidak sendirian membangunnya, melainkan bekerja sama dengan beberapa penulis kawakan lain seperti Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan John McGlynn yang merupakan seorang penerjemah asal Inggris.
Yayasan tersebut dibangun berdasarkan keprihatinan yang dirasakan oleh para penggagas atas kurangnya pengenalan karya sastra Indonesia di kancah internasional. Hal itu tentu saja sangat disayangkan mengingat hasil karya para penyair Indonesia tidak kalah bagus dan keren jika dibandingkan dengan penyair-penyair dunia.
Maka dari itu, Yayasan Lontar didirikan dengan tujuan untuk semakin mengenalkan karya-karya sastra Indonesia ke luar negeri dengan cara menerjemahkannya. Sehingga nantinya, karya-karya tersebut lebih mudah dipahami dan bisa diakses secara internasional.
Nah, karya-karya yang diterjemahkan oleh yayasan ini tentunya tidak sembarangan dan hanya dipilih yang mempunyai nilai dan dampak penting dalam perkembangan dunia sastra Indonesia. Beberapa contohnya adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, Telegram karya Putu Wijaya, Belenggu karya Armijn Pane, dan masih banyak lagi.
Kisah Cinta Sang Maestro yang Jarang Diungkap di Publik
Sumber: Balairung Press
Perjalanan karier hingga sumbangsih Sapardi Djoko Damono di dunia sastra sudah kamu baca lewat ulasan biografi di atas. Selanjutnya, mungkin inilah yang kamu tunggu-tunggu, yaitu mengenai sosok yang menjadi muse atau inspirasinya dalam menciptakan sajak-sajak cinta. Siapakah sosok tersebut?
Jawabannya adalah sang istri yang bernama Wardiningsih. Keduanya bertemu ketika masih sama-sama belajar di UGM. Wardiningsih dulunya merupakan adik tingkat SDD.
Setelah saling mengenal dan tertarik satu sama lain, mereka kemudian berpacaran. Tentu saja, perjalanan cinta tidak akan selalu mulus atau semanis drama Korea yang biasa kamu tonton. Akan tetapi, keduanya mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi dan kemudian menikah pada tahun 1965. Dari pernikahannya, pasangan ini dianugerahi dua orang anak, yaitu Rasti Suryandani dan Rizki Henriko.
Sang istri memang merupakan inspirasi Sapardi Djoko Damono saat melahirkan sajak-sajaknya yang begitu romantis. Nah, salah satunya yang paling populer adalah Hujan Bulan Juni yang mempunyai makna yang sangat menyentuh. Seperti yang kamu ketahui, Indonesia biasanya tidak mengalami musim hujan di bulan Juni, tapi mengapa ia memberi judul demikian?
Bagi Sapardi, kehadiran Wardiningsih dalam hidupnya itu bagaikan hujan yang mampu menyegarkan di tengah-tengah musim kemarau. Sehingga, ia merasa bahwa hidupnya akan baik-baik saja selama ada sang istri yang terus mendampinginya. So sweet sekali, ya?
Oh iya, ada satu fakta menarik yang perlu kamu ketahui tentang istri SSD ini, yaitu dirinya tidak terlalu tertarik dengan dunia sastra meskipun sang suami merupakan penyair terkenal. Ia bahkan jarang menemani sang suami saat menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan dunia sastra.
Hanya saja, ia pernah mendampingi Sapardi ketika ia mendapatkan penghargaan Puisi Putra II oleh Gabungan Persatuan Penulis Nasional di Malaysia pada pada tahun 1983. Meskipun tidak terlalu menyukai sastra, tidaklah mengapa karena ia tetapi mendukung karier suaminya. Sayangnya, kini perempuan tersebut tidak bisa lagi mendampingi sang suami karena sudah berpulang pada tanggal 17 Februari 2019 lalu.
Hujan Bulan Juni: Karya Fenomenal yang diangkat ke Layar Lebar
(Sumber: Instagram – damonosapardi)
Ketika menyimak biografi Sapardi Djoko Damono, kamu tentu memperhatikan kalau karyanya yang berjudul Hujan Bulan Juni berulang kali disebutkan. Terus, sepopuler apa sih sebenarnya karyanya itu?
Hujan Bulan Juni diterbitkan pertama kali di sebuah media cetak pada tahun 1989. Kemudian pada tahun 1990, para mahasiswanya membuat musikalisasi puisi menggunakan sajak tersebut. Tentu saja, hal itu membuat puisi ini menjadi lebih dikenal oleh orang-orang.
Karena bahasanya yang sederhana dan mudah dipahami, karyanya itu malah semakin populer meskipun dirilis puluhan tahun lalu. Hingga pada tahun 2015, ia pun merilis sebuah novel berdasarkan puisi yang digubahnya itu.
Novel yang juga diberi judul Hujan Bulan Juni tersebut mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Sarwono yang berprofesi sebagai dosen dan pandai membuat puisi. Ia menjalin cinta dengan Pingkan, seorang dosen muda yang berasal dari Manado.
Kedua sejoli ini terbentur restu keluarga karena perbedaan agama dan budaya. Terlebih lagi, keluarga Pingkan ingin menjodohkan anaknya dengan seseorang yang dianggap lebih pantas untuk menjadi pendamping hidup wanita itu.
Terus gimana kelanjutannya, ya? Kalau penasaran, mending kamu langsung baca aja novelnya! Karena selain alurnya yang menarik, kamu bakalan dimanjakan dengan sajak dan permainan kata-kata dari sang penulis yang tentunya keren banget.
Menyusul kepopuleran novel yang dirilis, Hujan Bulan Juni kemudian diangkat ke layar lebar pada tahun 2017. Sutradara film tersebut menggaet dua bintang muda, yaitu Velove Vexia dan Adipati Dolken sebagai pemeran utamanya. Buat yang nggak terlalu suka membaca, kamu bisa nonton filmnya sebagai alternatif.
Sudah Puas Membaca Biografi Sapardi Djoko Damono di Atas?
Itulah tadi ulasan lengkap biografi Sapardi Djoko Damono mulai dari pendidikan, karier, hingga sepak terjangnya di dunia sastra Indonesia yang bisa kamu baca di KepoGaul. Gimana? Sudah bisa mengurangi kekepoanmu terhadap sosok salah satu sastrawan Indonesia ini, belum?
Dari kisah hidup Sapardi Djoko Damono, kamu bisa mengambil banyak sekali pelajaran hidup. Salah satunya adalah untuk tidak putus asa dan mengasah bakat yang kamu punya. Mungkin hasilnya tidak bisa langsung dinikmati, tapi jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, suatu saat kamu pasti akan sukses juga.
Cerita hidupnya juga bisa dijadikan inspirasi bagi kamu yang juga ingin berkarier di dunia tulis menulis, entah itu sebagai penulis novel atau yang lainnya. Kalau Eyang SDD bisa melakukannya, kamu pun pasti bisa, tetap semangat, ya!
Nah selain Sapardi Djoko Damono, di sini kamu juga bisa menyimak biografi tokoh-tokoh lain yang hidupnya tidak kalah menginspirasi. Di antaranya adalah Chairil Anwar, Mahatma Gandhi, Merry Riana, dan lain-lain.
Nggak cuma itu saja, kamu juga bisa membaca informasi menarik dari artis-artis dari dalam maupun luar negeri. Pokoknya lengkap deh! Maka dari itu, Simak terus KepoGaul, ya!