
Sumber: Wikimedia Commons
Setiap pahlawan nasional memiliki peran yang cukup penting dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia, begitu pula Sutan Syahrir. Ia adalah orang pertama yang mendorong Soekarno untuk segera meresmikan proklamasi. Kalau ingin mengetahui apa saja yang ia lakukan untuk Indonesia, simak biografi Sutan Syahrir di artikel ini.
- Nama
- Sutan Syahrir
- Tempat, Tanggal Lahir
- Padang Panjang, 5 Maret 1909
- Meninggal Dunia
- Zurich, 9 April 1966
- Profesi
- Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri
- Orang Tua
- Mohammad Rasad (Ayah), Puti Siti Rabiah (Ibu)
- Pasangan
- Maria Johanna Duchateau (m. 1932–1948), Siti Wahyunah (m. 1951–1966)
- Anak
- Kriya Arsyah, Siti Rabiyah Parvati
Sutan Syahrir adalah sosok pahlawan di Indonesia yang paling bersikeras kalau Indonesia harus merdeka sesegera mungkin. Meskipun tinggi badannya hanya 155 cm dan mendapatkan panggilan Bung Kecil, Sutan Syahrir memiliki peran besar dalam meraih kemerdekaan Indonesia, yang ulasannya akan dibahas di biografi ini.
Selama Jepang menjajah Indonesia dan melarang rakyat Indonesia menyimpan radio, diam-diam Syahrir justru melakukan larangan itu. Dari sanalah ia mengetahui kalau Jepang sedang mengalami kekalahan pada Perang Asia Pasifik dan Indonesia bisa mempersiapkan kemerdekaan.
Perjuangannya untuk Indonesia pun terus berlanjut setelah merdeka dengan perannya sebagai perdana menteri, menteri dalam negeri, dan menteri luar negeri sekaligus. Ia sering kali menjadi perwakilan Indonesia untuk beberapa perundingan bahkan di Persatuan Bangsa-Bangsa.
Ingin mengenal lebih dekat sosok Bung Kecil yang memiliki jasa besar ini? Langsung saja simak biografi Sutan Syahrir yang ada di artikel ini, yuk! Di sini kamu bisa mengetahui masa muda, kisah asmara, jasa-jasa untuk Indonesia, hingga akhir hayatnya.
Masa Muda
Hal pertama yang perlu kamu ketahui dalam biografi Sutan Syahrir ini adalah seputar masa mudanya. Mulai dari keluarga dan masa kecilnya, hingga sekolah tempatnya belajar.
1. Masa Kecil
Sutan Syahrir lahir pada tanggal 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Ia memiliki seorang kakak laki-laki bernama Sutan Noer Alamsyah dan saudara perempuan seayah bernama Siti Rohana Kudus. Saat itu, saudara perempuannya merupakan seorang aktivis dan wartawan wanita yang cukup terkenal.
Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat. Orang tuanya merupakan orang terpandang di Sumatra Barat. Ayahnya adalah penasehat Sultan Deli dan lanraad (kepala jaksa) pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Syahrir memiliki perawakan yang lebih kecil dibandingkan teman sepantarannya. Keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekatnya sampai memberikan panggilan Bung Kecil padanya. Sikapnya yang santun dan lemah lembut membuatnya disenangi teman-temannya.
2. Masa Sekolah
Karena terlahir di keluarga dengan kondisi ekonomi berkecukupan, Sutan Syahrir bisa masuk ke salah satu sekolah terbaik di zaman kolonial Belanda. Pendidikan pertamanya didapatkan di ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat Sekolah Dasar.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di ELS, ia meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, ia banyak membaca buku-buku dan karya-karya sastra terbitan Eropa.
Lulus dari MULO pada tahun 1926, ia pindah ke Bandung dan melanjutkan pendidikannya ke AMS (Algemeene Middelbare School) yang saat itu merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung. Di sana, Syahrir aktif mengikuti klub kesenian bernama Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) dan klub debat.
Sutan Syahrir termasuk salah satu siswa terbaik di AMS. Menariknya, selama di Bandung, ia sering dikejar-kejar polisi Hindia Belanda karena membaca koran mengenai pemberontakan PKI. Karena, pelajar sekolah dilarang membaca koran itu. Selain itu, ia juga sering berurusan dengan polisi Hindia Belanda karena kerap membuat artikel kritikan untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ia pun kemudian mendirikan sekolah sendiri bernama Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) yang ditujukan untuk anak-anak buta huruf dari keluarga kurang mampu.
Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun ke dunia politik. Ia bahkan menjadi salah satu penggagas berdirinya Jong Indonesie (Himpunan Pemuda Nasionalis) pada tanggal 20 Februari 1927.
Organisasi tersebut kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia, penggerak dimulainya Kongres Pemuda Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Setelah lulus dari AMS, ia berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Belanda. Di sana, ia banyak mempelajari teori sosialisme hingga dikenal banyak orang sebagai sosialis yang membenci hal-hal kapitalis.
Ia juga berkenalan dengan Salomon Tas, seorang laki-laki keturunan Yahudi yang merupakan Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat. Di Belanda, Syahrir juga bergabung dengan Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Ketika Syahrir dan teman-temannya di Belanda berusaha untuk menyerukan semangat kemerdekaan, organisasi-organisasi pergerakan pemuda di Indonesia justru banyak dirazia oleh polisi. Bahkan, beberapa pemimpin pergerakan seperti Ir. Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata, dan Maskun Sumadiredja sampai ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal tersebut menyebabkan semangat pergerakan di Indonesia mulai menurun.
Melihat menurunnya semangat di Indonesia, Syahrir akhirnya memutuskan untuk berhenti kuliah dan kembali ke Indonesia. Semua itu dilakukannya demi bisa melanjutkan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Kisah Asmara
Sumber: Wikimedia Commons
Setelah beranjak remaja, Bung Kecil tak hanya fokus dengan pendidikannya saja. Ia pun mulai mengenal cinta. Sepanjang hidupnya, ia pernah mencintai 3 perempuan dan menikah dengan 2 di antaranya. Kalau kamu penasaran siapa saja mereka, langsung simak ulasan di biografi Sutan Syahrir ini.
1. Maria Johanna Duchateau
Ketika kuliah di Belanda, ia sempat tinggal bersama teman perjuangannya di klub Sosial-Demokrat Amsterdam yang bernama Salomon Tas atau Sal Tas, istri Sal yang bernama Maria Johanna Ducheteau, dua anak mereka, dan teman Maria yang bernama Judith van Wamel.
Selama tinggal bersama itu, Syahrir menjadi semakin dekat dengan Maria. Kebetulan saat itu pernikahan Maria dengan Sal tengah berada di ujung tanduk. Di sisi lain, Sal sendiri sedang dekat dengan Judith.
Saking sayangnya, Syahrir dan Maria memiliki panggilan sayang masing-masing. Syahrir memanggil Mieske pada Maria, sementara Maria memanggil Sidi pada Syahrir. Mesra sekali, ya?
Kedekatan Syahrir dan Maria menjadi semakin serius kemudian mengarah ke jenjang pernikahan. Pada tanggal 10 April 1932 mereka memutuskan untuk menikah di sebuah masjid di Medan.
Setelah menikah, keduanya pindah ke Jakarta dan tinggal satu rumah bersama kakak Syahrir yang bernama Sutan Noer Alamsyah. Layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara, keduanya sering kali menunjukkan kemesraan di depan umum. Sayangnya, banyak orang Indonesia dan Belanda yang tidak menyukai kemesraan yang ditunjukkan pasangan tersebut.
Ketika Pemerintah Belanda mengetahui kalau Maria rupanya masih tercatat sebagai istri Sal Tas, perempuan itu pun dideportasi kembali ke Belanda. Sayangnya, saat itu terjadi Syahrir diasingkan ke Boven Digoel sehingga ia tidak bisa menyusul istri tercintanya.
Selama berada di Tanah Merah, Boven Digoel, Syahrir sering berkirim surat dengan Maria untuk mengungkapkan rasa kangennya. Namun, surat menyurat itu terpaksa harus berhenti ketika Perang Dunia II terjadi. Hubungan keduanya pun terputus.
Syahrir kembali bertemu dengan Maria di New Delhi pada tahun 1947. Saat itu, Syahrir datang sebagai seorang Perdana Menteri Indonesia, sementara Maria datang atas undangan pemerintah India yang berniat memberikan kejutan pada Syahrir. Sayangnya, saat itu cinta sudah tak lagi ada di antara Mieske dan Sidi.
2. Gusti Nurul
Saat hubungannya tengah renggang dengan Maria, Syahrir sempat tertarik dengan beberapa perempuan, salah satunya adalah Gusti Nurul. Wanita yang memiliki nama lengkap Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani ini merupakan putri tunggal dari Raja Mangkunegara VII dan Gusti Ratu Timur.
Pertemuan pertama mereka terjadi setelah sidang kabinet di Istana Presiden Yogyakarta pada tahun 1946. Sosok Gusti Nurul yang anggun dan santun membuat Syahrir jatuh hati.
Untuk merebut hati Gusti Nurul, setiap kali melakukan rapat kabinet di Yogyakarta selama tahun 1946, Syahrir selalu meminta salah satu sekretarisnya, Siti Zoebaedah Osman, untuk mengantarkan kado ke Puri Mangkunegaran. Bersamaan dengan kado tersebut, ia juga melampirkan sebuah surat yang ditulisnya sendiri. Romantis sekali, kan?
Sayangnya, ia harus bersaing ketat dengan Presiden Soekarno dalam merebut hati Gusti Nurul. Ketika mereka akhirnya bertemu setelah perundingan Linggarjati pada tanggal 11 November 1946, Syahrir langsung menyatakan ingin melamar gadis yang pandai menari itu. Namun lamaran itu ditolak karena saat itu Gusti Nurul tahu kalau Syahrir masih berstatus suami Maria Johanna Duchateau dan ia menentang poligami.
3. Siti Wahyunah Saleh alias Poppy
Selama menjadi perdana menteri, Syahrir memiliki sekretaris yang bernama Siti Wahyunah Saleh alias Poppy. Gadis itu merupakan aktivis pergerakan mahasiswi yang pernah memimpin Indonesische Vrouwelijke Studenten Vereniging (Perhimpunan Mahasiswi Putri Indonesia) pada tahun 1940–1941.
Poppy yang lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 11 Mei 1920 itu adalah seorang ahli hukum yang sering mendampingi Syahrir di setiap perundingan dengan Belanda. Karena sering bertemu dan berbagi pemikiran, hubungan Syahrir dan Poppy menjadi semakin dekat. Perasaan cinta Syahrir pada Poppy pun mulai tumbuh.
Namun, karena mengetahui kalau Syahrir masih memiliki istri, Poppy berusaha untuk menjaga jarak. Apalagi Poppy pernah bertemu dengan Maria di Belanda saat menghadiri Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus 1949.
Poppy kemudian mendaftar di Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1949 demi bisa menghindari Syahrir. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan ke London School of Economics di Inggris.
Rupanya, jarak jauh tidak menjauhkan hubungan keduanya. Pada akhirnya, Poppy pun menerima lamaran Syahrir. Mereka menikah di Kairo, Mesir pada bulan Mei 1951. Dari pernikahan itu, keduanya dianugerahi dua anak yang bernama Kriya Arsyah dan Siti Rabiyah Parvati.
Hingga akhir hayat Syahrir, Poppy selalu setia mendampingi. Termasuk ketika Syahrir menjadi tahanan politik dan menjalani perawatan di Zurich, Swiss.
Baca juga: Biografi Tung Desem Waringin, Sang Motivator Kondang Pencetak Rekor MURI
Masa-Masa Pengasingan
Sumber: Instagram – historia_indonesia
Hal berikutnya yang perlu kamu ketahui dari biografi Sutan Syahrir ini adalah masa-masa pengasingannya. Pada masa-masa itu, Bung Kecil banyak merenung dan menuliskan hasil-hasil pemikirannya. Kira-kira apa saja yang ia lalui selama berada di pengasingan itu?
1. Tanah Merah, Boven Digoel
Sekembalinya dari Belanda, Syahrir dan Hatta memimpin Partai PNI Baru yang lebih radikal daripada PNI di bawah kepemimpinan Soekarno. Pergerakan PNI Baru itu membuat Syahrir, Hatta, dan beberapa tokoh lainnya ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan dipenjara. Tak hanya itu, pada tanggal 23 Januari 1935 mereka pun diasingkan ke Tanah Merah, Boven Digoel, Papua.
Berada di pengasingan membuat Syahrir yang ekstrovert dan penuh semangat menjadi lebih pendiam. Karena merasa kesepian, Syahrir sering mendatangi rumah para tokoh-tokoh lainnya di tengah malam untuk meminta bahan-bahan memasak. Padahal, sebenarnya ia tengah mencari teman mengobrol. Karena kelakuannya yang sering berkeliling tidak jelas, Syahrir mendapatkan panggilan Kelana Jenaka.
2. Banda Neira, Maluku
Setelah diasingkan selama satu tahun di Tanah Merah, pada tanggal 2 Januari 1936, Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Alasannya adalah karena mereka berdua termasuk tokoh yang cukup berpengaruh bagi rakyat Indonesia, pemerintah Hindia Belanda khawatir pengasingan di Boven Digoel akan membuat rakyat marah.
Di tempat yang memiliki pemandangan indah itu, Syahrir dan Hatta membuka kelas untuk anak-anak Banda dengan menggunakan bahasa Belanda. Syahrir bertugas menjadi guru untuk anak-anak kecil berusia dibawah 10 tahun, sementara sisanya menjadi murid Hatta.
Selain mengajari tentang membaca, menulis, dan berhitung, Syahrir dan Hatta juga mengajarkan tentang patriotisme. Mereka selalu mengingatkan pada muridnya kalau Teuku Umar dan Diponegoro bukanlah pemberontak seperti yang sering diberitakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Selain itu, Syahrir juga sering mengajak murid-muridnya naik perahu ke Pulau Pisang yang jaraknya beberapa kilometer dari Banda Neira. Di sana, ia akan mengajari murid-muridnya cara menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagai bentuk kenangan, Pulau Pisang kini berganti nama menjadi Pulau Syahrir.
Tidak seperti hari-harinya di Boven Digoel yang menyedihkan, Syahrir merasa lebih bahagia selama berada di Banda Neira. Ia sering mendengarkan musik-musik klasik menggunakan gramofon yang membuat Hatta merasa terganggu.
Baca juga: Biografi Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern yang Ideologinya Menjadi Kontroversi
Perjuangan dalam Meraih Kemerdekaan
Sumber: Wikimedia Commons
Bisa dikatakan, Sutan Syahrir adalah salah satu tokoh penting yang memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, biografi Sutan Syahrir ini kurang lengkap jika tidak membicarakan perjuangannya.
1. Pada Masa Pendudukan Jepang
Saat Jepang datang ke Indonesia untuk mengusir Belanda, Sutan Syahrir banyak melakukan pergerakan bawah tanah bersama Tan Malaka. Tidak seperti Soekarno dan Hatta yang menjalin kerjasama dengan Jepang, Syahrir percaya kalau kemerdekaan Indonesia tidak bisa didapatkan jika hanya mengandalkan janji-janji yang dibuat oleh Negeri Sakura itu.
Syahrir banyak mengumpulkan mahasiswa dan kader-kader PNI Baru untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia pada waktu yang tepat. Selain itu, ia juga terus mencari informasi untuk dapat merebut kekuasaan dari pemerintah Jepang di Indonesia.
2. Upaya Perjuangan Menuju Kemerdekaan Indonesia.
Setiap kali para pemuda mendesak tentang kemerdekaan pada Soekarno dan Hatta, kedua pahlawan nasional tersebut selalu terlihat ragu-ragu untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Alasannya, mereka yakin kalau PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), badan yang dibentuk oleh pemerintahan pendudukan Jepang pada bulan April 1945 itu akan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Padahal, sejak tahun 1944, Syahrir rutin mendengarkan siaran radio internasional secara sembunyi-sembunyi. Pada salah satu siaran, ia mendengar kalau pada tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom ke Hiroshima. Kemudian, ia juga mendengar kalau Jepang sudah menyerah kepada Blok Sekutu.
Mengetahui hal tersebut, Syahrir langsung mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Sayangnya, Soekarno menolak rencana tersebut karena menunggu kebenaran apakah kabar kekalahan Jepang itu benar atau tidak.
Kekesalan Syahrir tidak berhenti sampai di situ saja. Pada tanggal 14 Agustus 1945, ia kembali mendengar siaran radio BBC yang menyebutkan kalau pemerintah Jepang akan menyerahkan kekuasaan di Indonesia ke tangan Blok Sekutu.
Karena merasa kalau usahanya untuk mendesak Soekarno akan menjadi sia-sia, Syahrir menghubungi pemuda yang ada di beberapa kota untuk melakukan proklamasi kemerdekaan terlebih dahulu. Di Cirebon, Dr. Sudarsono, Kepala Rumah Sakit Kesambi (sekarang bernama RSUD Gunung Jati) diminta oleh Syahrir untuk membaca teks proklamasi di Tugu Kejaksan.
Tanggal 15 Agustus 1945, sekitar 150 orang berhasil diajak berkumpul di Tugu Kejaksan untuk mendengar pembacaan naskah deklarasi Cirebon yang diketik oleh Syahrir sendiri. Para pemuda kemudian menyebarkan kabar kemerdekaan itu ke daerah-daerah lain di Cirebon. Bisa dibilang, Kota Cirebon merdeka terlebih dahulu dibandingkan Indonesia, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Dua hari kemudian, barulah proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Soekarno dan didampingi oleh Mohammad Hatta. Menariknya, Sutan Syahrir menolak untuk datang ke pembacaan deklarasi proklamasi yang diadakan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang Dianggap Saingan Politik oleh Soeharto
Jabatan-Jabatan dalam Pemerintahan Indonesia
Sumber: Twitter – diarganatanatda
Hal paling menarik untuk dibicarakan dalam biografi Sutan Syahrir ini adalah jabatan-jabatannya dalam pemerintahan Indonesia. Sebagai negara baru, Indonesia membutuhkan sosok-sosok kuat sebagai pondasi negara, salah satunya adalah Syahrir. Oleh karena itu, ada beberapa jabatan penting yang langsung dijabatnya.
Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno langsung menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri. Padahal, saat itu keduanya merupakan lawan politik yang berbeda pendapat. Namun, keputusan itu diambil oleh Soekarno karena ia sudah terlanjur dicap pro Jepang, sehingga ia membutuhkan sosok netral yang bisa menumbuhkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah Indonesia.
Menariknya, saat menjabat sebagai perdana menteri, Syahrir masih berusia 36 tahun dan menjadi perdana menteri termuda di Indonesia, bahkan dunia saat itu. Selain menjadi perdana menteri, Sutan Syahrir juga diangkat sebagai menteri dalam negeri dan menteri luar negeri. Dengan jabatannya itu, ia sering menjadi perwakilan Indonesia untuk menandatangi perjanjian-perjanjian dengan negara lain.
Tak lama, Syahrir ditunjuk menjadi Ketua BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dengan tugas merancang dan mengubah kabinet presidensil menjadi parlementer. Sebagai Ketua BP KNIP, ia merombak kabinet sebanyak tiga kali, yang dikenal dengan nama Kabinet Syahrir I, Kabinet Syahrir II, dan Kabinet Syahrir III.
Sejak 3 Juli 1947, Syahrir tak lagi menjadi perdana menteri dan digantikan oleh Amir Sjarifuddin. Meskipun begitu, ia tetap menjadi perwakilan Indonesia di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia.
Ia berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia agar diakui oleh negara-negara lain, khususnya Jepang dan Belanda. Ketika Eelco van Kleffens, perwakilan Belanda untuk PBB, berargumen untuk menolak kemerdekaan Indonesia, Syahrir berhasil mematahkan argumen tersebut. Setelah itu, banyak orang yang hadir pun langsung memujinya, sementara Van Kleffens tak lagi menjadi wakil Belanda di PBB.
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Nasional Muda yang Gugur di Medan Perang
Insiden Penculikan Sutan Syahrir
Sumber: Wikimedia Commons
Ulasan selanjutnya yang perlu kamu ketahui di biografi Sutan Syahrir adalah seputar insiden penculikan yang terjadi padanya. Pelakunya bukanlah pemerintah Hindia Belanda, tapi justru rakyat Indonesia sendiri.
Oleh Presiden Soekarno, Sutan Syahrir ditunjuk sebagai perdana menteri karena dianggap sebagai orang yang netral. Akan tetapi, bagi beberapa rakyat Indonesia, beberapa keputusan yang dibuat oleh Syahrir dianggap merugikan rakyat Indonesia.
Dengan alasan itu, kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono merencanakan untuk menculik Sutan Syahrir. Tujuan penculikan itu adalah meminta Syahrir melakukan diplomasi dengan pemerintah Belanda agar wilayah Indonesia yang diakui tidak hanya pulau Jawa dan Madura saja, tapi dari Sabang sampai Merauke.
Proses penculikan itu dilakukan pada tanggal 26 Juni 1946, bersamaan dengan rencana Sutan Syahrir untuk menghadiri sidang kabinet di Yogyakarta. Sebelum sampai di Yogyakarta, Syahrir menginap di Hotel Merdeka, Solo. Kelompok Persatuan Perjuangan menggunakan kesempatan itu untuk menculik kemudian membawa Syahrir ke rumah di daerah Paras, Solo.
Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh perjuangan lain yang menunggunya di Yogyakarta langsung meradang ketika mengetahui Syahrir diculik. Mereka khawatir kalau insiden itu akan memberikan dampak buruk pada posisi Indonesia di forum internasional.
Pada tanggal 28 Juni 1946, pemerintah Indonesia langsung mengeluarkan Maklumat No. 1 tahun 1946 dan memberlakukan Keadaan Darurat Perang. Keputusan itu ditandatangani langsung oleh Soekarno dan Amir Sjarifuddin, atas nama Dewan Menteri. Mereka pun mengeluarkan himbauan melalui radio agar para penculik segera mengembalikan Sutan Syahrir.
Setelah mendapatkan kabar siapa yang menculik sang perdana menteri, Soekarno memerintahkan polisi Surakarta untuk menangkap anggota-anggota kelompok Pasukan Perjuangan. dan memasukkan mereka ke penjara Wirogunan.
Pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara untuk membebaskan anggota-anggota yang ditangkap. Penyerbuan itu membuat Presiden Soekarno marah kemudian memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto untuk menangkap Mayjen Soedarsono.
Soeharto menolak perintah tersebut karena tidak mau menangkap atasannya sendiri. Ia juga menyatakan hanya mau menangkap para penculik itu jika ada perintah langsung dari Jendral Soedirman. Meskipun begitu, Soeharto berpura-pura simpati pada para penculik kemudian berjanji akan memberikan perlindungan di Markas Resimen III.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan para penculik lainnya ditangkap, kemudian Sutan Syahrir berhasil dikembalikan. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal dilakukan.
Baca juga: Biografi Buya Hamka, Sastrawan Sekaligus Ulama yang Dinobatkan Sebagai Pahlawan Nasional
Karya-Karya
Sumber: Instagram – fotojadoel
Kalau mau membicarakan karya-karyanya di biografi Sutan Syahrir, kita nggak bisa cuma menyebutkan buku-bukunya saja. Karena jauh sebelum menerbitkan buku, ia sudah sering mengirimkan artikel ke majalah.
Salah satu contohnya adalah buku Pikiran Perjuangan (1950) yang merupakan kumpulan artikel yang pernah ditulis Syahrir pada majalah Daulat Rakyat selama tahun 1931–1940. Atau ada juga buku Sosialisme dan Marxisme (1967) yang merupakan kumpulan artikel di majalah Suara Sosialis selama tahun 1952–1953. Selain itu, surat-surat yang Sutan Syahrir kirimkan pada Maria sejak tahun 1934 hingga 1938 juga dibukukan dengan format biografi dan diberi judul Indonesische Overpeinzingen.
Selain artikel-artikel, Syahrir sendiri sebenarnya pernah menulis buku. Beberapa di antara karyanya adalah Pergerakan Sekerja (1933), Perjuangan Kita (1945), Out of Exile (1949), dan Renungan Indonesia (1951).
Salah satu bukunya yang paling terkenal berjudul Perjuangan Kita. Buku itu berisi tentang masalah-masalah yang akan muncul ketika terjadi revolusi Indonesia dan bagaimana solusinya. Karya tersebut sering dianggap sebagai sindiran yang menyerang Soekarno.
Baca juga: Biografi WR Supratman, Pencipta Lagu Indonesia Raya yang Tidak Merasakan Kemerdekaan Indonesia
Akhir Hayat Sutan Syahrir
Sumber: Instagram – bobbythek4t
Setelah membaca tentang kehidupan pribadi dan perjuangannya untuk kemerdekaan dalam biografi Sutan Syahrir, kamu perlu mengetahui tentang akhir hayatnya. Pahlawan yang memiliki nama panggilan Bung Kecil ini meninggal dunia saat menjadi tahanan. Syahrir menjadi tahanan sejak ditangkap pada tanggal 16 Januari 1962 di Bali.
Setelah ditangkap, ia ditempatkan di sebuah rumah tahanan di Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemudian dipindahkan ke Madiun, Jawa Timur. Meskipun ia diperlakukan dengan baik di sana, tapi stres tinggi membuatnya menderita sakit tekanan darah tinggi. Pada bulan November 1962, ia dipindahkan untuk dirawat di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Soebroto, Jakarta.
Setelah dirasa kesehatannya semakin membaik, ia pun dipindahkan ke rumah tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta. Namun, di sana kesehatannya justru semakin menurun hingga akhirnya pada tanggal 9 Februari 1965 ia dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Budi Utomo, Jakarta.
Setelah pindah, kondisi kesehatannya tidak membaik hingga pernah ditemukan pingsan di kamar mandi. Sayangnya, prosedur rumah tahanan tidak bisa membuat Syahrir bisa langsung diperiksa di rumah sakit. Sehingga ia baru bisa dibawa ke RSPAD lagi ketika kondisinya sudah lumpuh dan tak bisa bicara.
Karena pihak RSPAD akhirnya menyerah tak bisa mengobati Syahrir, Poppy kemudian mengusahakan agar suaminya dapat dibawa ke luar negeri. Untungnya, pada tanggal 21 Juli 1965, pemerintah Indonesia memberikan izin pada Syahrir untuk berobat di Zurich, Swiss.
Setelah diobati selama beberapa bulan, Syahrir menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 9 April 1966 di Zurich. Sepuluh hari kemudian, jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Sudah Puas Membaca Biografi Sutan Syahrir?
Setelah membaca biografi Sutan Syahrir ini, kira-kira pesan apakah yang kamu dapatkan? Apakah kamu juga dapat merasakan semangat juangnya demi meraih kemerdekaan?
Sutan Syahrir memang terkenal sebagai pahlawan nasional yang memiliki tubuh mungil dan semangat juang tinggi. Hal itu seharusnya menginspirasimu untuk tidak pernah berkecil hati atau bahkan menyerah mengejar cita-citamu.
Karena seperti yang sudah kamu baca di biografi ini, Sutan Syahrir selalu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia meskipun ada banyak masalah yang menghadangnya. Ia bahkan tidak rendah diri menunjukkan kecerdasannya dengan melawan argumen orang-orang yang jauh lebih tinggi darinya.
Kalau kamu masih ingin mencari biografi sosok pahlawan selain Sutan Syahrir yang bisa memberikan pelajaran dan inspirasi, cek artikel-artikel lain di kanal Tokoh website KepoGaul.com ini. Kamu bisa menemukan biografi presiden pertama Indonesia, seorang Kartini dari Minahasa, Bapak Tentara Indonesia, dan masih banyak lagi.