
Meski raganya sudah tiada, nama WS Rendra akan terus dikenang sebagai salah satu sastrawan hebat di Indonesia. Melalui karya-karyanya, ia menyuarakan kritikan terhadap politik yang terkadang membuat hidup rakyat makin pelik. Lantas, seperti apa perjuangannya? Simak informasi selengkapnya di artikel biografi WS Rendra berikut ini.
- Nama Asli
- Willibrordus Surendra Bawana Rendra
- Nama Panggung
- WS Rendra
- Tempat, Tanggal Lahir
- Surakarta, 7 November 1935
- Meninggal
- Jakarta, 6 Agustus 2009
- Pekerjaan
- Sastrawan
- Pasangan
- Sunarti Suwandi (m. 1959–1981), Raden Ayu Sitoresmi (m. 1970–1979), Ken Zuraida (m. 1974–2009)
- Anak
- Theodorus Setya Nugraha
Andreas Wahyu Wahyana
Daniel Seta
Samuel Musa
Clara Sinta
Yonas Salya
Sarah Drupadi
Naomi Srikandi
Rachel Saraswati
Isaias Sadewa
Maryam Supraba - Orang Tua
- Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo (Ayah), Raden Ayu Catharina Ismadillah (Ibu)
Tak berbeda dengan Chairil Anwar, WS Rendra juga dikenal sebagai salah satu sastrawan yang bersifat bebas, urakan, tetapi tetap peduli dengan keadilan. Dengan berani dan lantang ia membacakan sajak-sajaknya yang berisi perjuangan meraih keadilan. Itulah salah satu alasan puisi-puisi dan biografi WS Rendra kerap menghiasi buku pelajaran bahasa Indonesia.
“Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam. Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.” Kalimat tersebut adalah sepenggal sajak berjudul Aku Tulis Pamplet Ini karya Rendra yang berisi kritikan kepada pemerintah orde baru yang mengekang keterbukaan pers dan pendapat khalayak umum.
Apakah kritikan tersebut diterima dengan lapang oleh para elit politik? Tentu tidak, ia bahkan sempat dicekal dan ditahan oleh kepolisian karena dianggap menghasut rakyat untuk memberontak pemerintah melalui puisi-puisinya.
Tak hanya puisi saja, sastrawan yang dijuluki Si Burung Merak ini juga kerap menulis dan mementaskan drama. Ia juga mendirikan Komunitas Bengkel Teater Rendra yang sejak tahun 2009 dipimpin oleh istrinya, Ken Zuraida,
Tak perlu berlama-lama lagi, kalau kamu makin penasaran dengan biografi WS Rendra, langsung saja simak artikel di bawah ini. Sebab, di bawah ini telah kami rangkum informasi seputar kehidupan pribadi hingga akhir hayatnya. Selamat membaca!
Sepenggal Kisah Hidup WS Rendra
Hal pertama yang akan dibahas dalam biografi WS Rendra ini adalah secuil kisah hidupnya. Tentunya kamu penasaran dengan tempat kelahiran, keluarga, dan jenjang pendidikannya, kan? Nah, ulasan berikut semoga bisa menjawab rasa penasaranmu.
Pemilik nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra ini lahir di Surakarta pada 7 November 1935. Ia lahir dari orang tua yang juga seniman, yaitu Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Ayu Catharina Ismadillah.
Sang ayah bekerja sebagai pemain drama, sedangkan ibunya adalah seorang penari serimpi yang kerap tampil di Keraton Solo. Tak hanya menjadi pemain drama, ayahnya juga mengajar pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di Sekolah Katolik, Surakarta.
Memiliki orang tua seniman tentunya berpengaruh besar pada bakat seni yang dimilikinya. Rendra sudah menunjukkan ketertarikan di bidang seni sedari kecil. Saat SMP, ia mementaskan drama berjudul Kaki Palsu untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1952, setelah lulus dari SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Solo, dirinya sempat berkeinginan untuk melanjutkan sekolah di Akademi Luar Negeri yang berlokasi di Jakarta. Sayangnya, belum sempat ia menempuh pendidikan di Akademi Luar Negeri, sekolah tersebut sudah tutup.
Kemudian Rendra melanjutkan kuliah Jurusan Fakultas Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Walaupun tidak menamatkan kuliahnya, Rendra berhasil menerima gelar Honoris Causa dari UGM karena ia tak pernah berhenti belajar dan berkarya.
Dirinya juga berhasil mendapatkan beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA) pada tahun 1954. Selama 3 tahun, ia mempelajari lebih dalam tentang seni tari dan teater. Selain itu, penyair ini juga pernah diundang untuk menghadiri Seminar Kesusastraan di Harvard University.
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, Sang Pejuang Kemerdekaan Anti-Kekerasan
Kiprah di Dunia Sastra
Artikel biografi WS Rendra ini bakalan kurang lengkap kalau belum menyinggung soal perjalanan kariernya di dunia sastra. Sebelumnya telah disebutkan bahwa dirinya sudah menunjukkan ketertarikan di bidang seni sejak kecil. Seperti apa informasi lengkapnya? Simak ulasan singkatnya berikut ini!
1. Penyair
Berbekal hobi menulis dan membaca puisi, WS Rendra dikenal memiliki bakat sebagai penyair yang cukup mumpuni. Pada tahun 1952, tepat diusianya yang ke-17 tahun, majalah Siasat menerbitkan beberapa puisinya. Tak hanya Siasat, puisi-puisi yang ditulisnya juga sering menghiasi beberapa kolom majalah, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.
Majalah-majalah tersebut terus menerbitkan sajak-sajak indahnya selama bertahun-tahun, sehingga namanya dikenal oleh orang-orang sebagai penyair. Kepopulerannya pun meluas hingga ke beberapa penjuru dunia. Sebab, beberapa karyanya juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, India, Jerman, Jepang, dan India.
Sudah lama berkiprah sebagai seorang penyair, WS Rendra sukses menulis banyak puisi. Beberapa di antaranya adalah Mencari Bapak, Nyanyian Orang Urakan, Do’a untuk Anak Cucu, Menghisap Sebatang Lisang, dan masih banyak lagi. Temanya pun beragam, mulai dari perjuangan hingga percintaan, semua ada.
Berkat kepiawaiannya tersebut, dirinya berhasil mengantongi beberapa penghargaan. Beberapa di antaranya adalah Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957), Anugerah Seni dari Departemen P&K (1956), Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975), dan lain-lain.
Tak hanya menerima penghargaan saja, Rendra juga diundang untuk mengikuti festival-festival yang diadakan di berbagai negara. Ia mengikuti Berliner Horizonte Festival yang diadakan di Berlin pada 1985, The Valmiki Poetry Festival di New Delhi pada 1985, dan The First New York Festival of The Arts di New York pada 1988.
2. Pemain Teater
Selain menulis puisi, Rendra juga pandai dalam menulis naskah dan mementaskan drama. Ia pertama kali mendapatkan penghargaan dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atas pementasan drama bertajuk Orang-Orang di Tikungan Jalan. Hebatnya, ia meraih penghargaan tersebut saat duduk di bangku SMA.
Tak hanya Orang-Orang di Tikungan Jalan, Rendra juga mementaskan drama-drama lainnya, seperti Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) pada 1967, Mastodon dan Burung Kondor (1972), Panembahan Reso (1986), dan masih banyak lagi.
Ada banyak pula dramanya yang dipentaskan berulang kali, seperti contohnya Selamatan Anak Cucu Sulaiman yang telah dimainkan sebanyak enam kali dan Kasidah Barzanji yang dimainkan sebanyak dua kali. Ia juga mementaskan beragam teater yang diterjemahkan dari karya asing, salah satunya adalah Hamlet, terjemahan dari karya William Shakespeare.
Dengan beragam karya yang telah dibuatnya, mungkin membuat orang-orang bertanya, WS Rendra itu angkatan berapa? Pasalnya, para budayawan dan sastrawan Indonesia biasanya akan dikelompokkan dalam salah satu periodisasi. Seperti contohnya Chairil Anwar yang tergolong dalam Angkatan 1945 atau Pramoedya Ananta Toer dan Nh. Dini yang masuk dalam Angkatan 1950–1960.
Berbeda dengan sastrawan lainnya, Rendra tidak tergabung dalam angkatan berapa pun. Menurut Prof. A. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989), WS Rendra memiliki kepribadian dan kebebasan tersendiri.
Mendirikan Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra
Setelah membahas kiprahnya di dunia sastra, kini saatnya mengulik perjalanannya membentuk komunitas Bengkel Teater. Informasi selengkapnya telah kami rangkum dalam biografi WS Rendra berikut ini.
Pada tahun 1968, penyair asal Surakarta ini membentuk Komunitas Bengkel Teater di Yogyakarta yang bertujuan untuk mewadahi orang-orang yang ingin memperdalam seni teater. Komunitas tersebut muncul di tengah-tengah kelompok teater Yogyakarta dengan gaya dan metode baru, yaitu metode improvisasi yang meminimalkan penggunaan kata. Seiring perkembangan zaman, Rendra kerap mengubah tema, gaya, maupun konsep pertunjukan.
Perjuangan WS Rendra dalam menjalankan Komunitas Bengkel Teater tentu tak selalu mulus. Ia sempat menghadapi kesulitan untuk tampil di muka publik hingga mengalami krisis ekonomi. Oleh karenanya, ia dan kelompok Bengkel Teater mengadu nasib ke Jakarta.
Dari Bengkel Teater, telah lahir beberapa seniman lain yang tak kalah hebat dengan pendirinya, salah satunya adalah Ratna Sarumpaet. Terlepas dari kontroversi kasus hoax yang dibuatnya di tahun 2018, ia adalah sosok seniman hebat yang berhasil meraih banyak penghargaan. Selain Ratna Sarumpaet, beberapa seniman jebolan Bengkel Teater adalah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Chaerul Umam, Azwar An, dan lain-lain.
Di tahun 1985, dirinya mendirikan Bengkel Teater Rendra di tanah seluas kurang lebih 3 hektar di desa Cipayung, Depok, Jawa Barat. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan sederhana seperti aula yang biasa digunakan untuk pentas, ruang pertemuan, perpustakaan, dan rumah WS Rendra beserta keluarganya.
Selain mengajarkan tentang sastra, Rendra juga melatih murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ia menyediakan area memasak dan ladang untuk bercocok tanam. Jadi, setiap murid mendapat giliran untuk memasak dan bahan makanannya mengambil dari ladang.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang Dianggap Saingan Politik oleh Soeharto
Turut Memperjuangkan Keadilan
Artikel yang mengulik biografi WS Rendra ini bakalan kurang menarik kalau belum menyinggung keterlibatannya dalam memperjuangkan keadilan. Semasa hidupnya, pemain teater ini kerap membuat puisi yang menggambarkan kritikan politik. Oleh karenanya, ia kerap dicekal oleh para penguasa politik.
Tepat pada tanggal 1 Desember 1997, ia membacakan puisi berjudul Sajak Sebatang Lisong untuk mengobarkan semangat kepada para mahasiswa yang sedang berdemo menentang penguasa. Rekaman video pembacaan puisinya dijadikan sebagai pembukaan film bertajuk Yang Muda Yang Berbicara yang disutradarai oleh Sjumandja. Namun sayangnya, para aparat melarang film ini ditayangkan karena diduga mengakomodasi teori revolusi dan kontradiksi paham komunis yang telah dilarang di Indonesia.
Setahun setelah kasus tersebut, tepatnya di tahun 1978, kepolisian menangkap Rendra atas kasus tudingan menghasut orang-orang untuk memberontak pemerintah melalui puisi-puisi yang dibacakannya di Taman Ismail Marzuki. Ia kemudian dibebaskan pada 7 Oktober 1978 setelah dipenjara selama 5 bulan.
WS Rendra tak hanya menulis puisi tentang penguasa politik, tapi juga keadaan masyarakat yang bobrok akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang jauh dari kata adil. Salah satu contohnya adalah puisi berjudul Sajak Seonggok Jagung yang menggambarkan realita seorang pemuda yang mengasihi dirinya sendiri karena tak bisa melanjutkan pendidikan lantaran tak punya biaya.
Selain puisi, pementasan drama Rendra dan Bengkel Teater juga kerap mendapat larangan. Pada tahun 1973-an, pihak kepolisian Yogyakarta melarang pementasan dramanya yang bertajuk Matodon dan Burung Condor karena dianggap mengganggu warga sekitar.
Namun, Rendra dan para pementas drama meyakini alasan tersebut bukanlah yang sebenarnya. Mereka mengira ada campur tangan para politikus yang khawatir kalau Rendra kembali mengkritik politik lewat karyanya. Walaupun banyak rintangan menghadang, seniman ini tak pernah kapok dalam berkarya.
Baca juga: Biografi WR Supratman, Pencipta Lagu Indonesia Raya yang Tidak Merasakan Kemerdekaan Indonesia
Para Perempuan dalam Hidup WS Rendra
Setelah mengetahui perjuangannya dalam memperjuangkan keadilan melalui karya-karyanya, mungkin kamu penasaran dengan kisah asmaranya. Apalagi, dari perjalanan cintanya inilah ia mendapat julukan Si Burung Merak. Bagaimana bisa? Simak terus biografi WS Rendra ini, ya!
1. Sunarti Suwandi
Saat berusia 24 tahun, WS Rendra menikahi Sunarti Suwandi pada 31 Maret 1959. Pengalamannya saat jatuh cinta dan kemudian menikah menginspirasi WS Rendra untuk menulis beberapa puisi cinta yang telah diterbitkan dalam buku bertajuk Empat Kumpulan Sajak.
Buku tersebut terbagi dalam empat bab yang berjumlah 89 sajak. Beberapa di antaranya adalah bab Kakawin Kawin berisi 20 sajak, Malam Stanza memuat 29 sajak, Nyanyian dari Jalanan yang terdiri dari 20 sajak, dan yang keempat adalah Sajak-Sajak Dua Belas Perak memuat 20 sajak.
Kisah dengan Sunarti saat berpacaran dan menikah diceritakannya dalam sajak yang terdapat di bab Kakawin Kawin. Sementara cerita saat bulan madu, ditulisnya dalam sajak-sajak yang tergabung dalam bab Malam Stanza.
Dari pernikahannya dengan Sunarti, mereka dikaruniai lima anak, yakni Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Anak terakhirnya, Clara Sinta mengikuti jejak sang ayah di dunia teater dan sempat terjun ke dunia perfilman pada era 80–90’an.
2. Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat
Tak hanya Sunarti Suwani, putri Keraton Yogyakarta bernama Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat juga pernah menjadi istri WS Rendra. Awalnya, wanita yang akrab disapa Jeng Sito ini merupakan murid Rendra yang kerap membantu Sunarti dalam merawat anak-anaknya.
Namun, lambat laun, Rendra mulai jatuh hati pada Jeng Sito. Mengetahui hal tersebut, Sunarti justru memberi restu suaminya untuk meminang putri keraton tersebut. Akan tetapi, pernikahan keduanya hampir gagal, karena ayah Jeng Sito tak memberi restu lantaran adanya perbedaan agama.
Pada akhirnya, pernikahan tetap berlangsung karena WS Rendra yang awalnya Katolik memutuskan untuk pindah ke agama Islam. Keputusannya mualaf bertepatan dengan hari pernikahannya dengan Sitoresmi, yakni pada 12 Agustus 1970. Kemudian mereka dikaruniai empat anak, yakni Yonas Yalya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Statusnya sebagai suami dari dua istri ini membuatnya mendapat julukan Si Burung Merak. Cerita berawal dari Rendra mengajak teman-temannya yang berasa dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta.
Di sana, mereka melihat satu burung merak jantan yang dikelilingi oleh dua merak betina. Lalu, Rendra mengatakan bahwa burung merak jantan tersebut memukau seperti dirinya. Mulai saat itu, teman-temannya menyematkan julukan Si Burung Merak padanya.
Baca juga: Biografi Dewi Sartika, Sang Pejuang Hak-Hak Kaum Perempuan dari Priangan
3. Ken Zuraida
Tak berhenti dengan dua wanita, Si Burung Merak kembali mengepakkan sayap indahnya ke salah satu muridnya yang bergabung di Bengkel Teater sejak 1974. Namanya adalah Ken Zuraida, seorang wanita asal Jawa Tengah yang juga menekuni dunia teater. Kemudian mereka dikarunia dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.
Awalnya, Jeng Sito dan Sunarti memberi restu pada pernikahannya dengan Ken Zuraida. Namun, mereka kemudian menceraikan Rendra. Jeng Sito menceraikannya pada tahun 1974 dan Sunarti Suwandi meminta cerai pada tahun 1981.
Kontroversi
Di dunia ini, tak semua orang mendukung apa yang kita lakukan. Terkadang, apa yang kita anggap baik, bisa saja dinilai buruk oleh orang lain. Begitu pun Si Burung Merak ini, di balik kariernya yang cemerlang, ia juga pernah menuai kontroversi. Apakah itu? Simak ulasan tentang biografi WS Rendra berikut ini, ya!
Sebelumnya, artikel biografi WS Rendra ini telah menjelaskan tentang siapa saja wanita yang pernah mengisi relung hatinya. Keputusannya untuk pindah agama dan berpoligami sempat menuai kontroversi. Ia dituding pindah agama Islam hanya demi memuaskan hasratnya berpoligami.
Menanggapi tudingan tersebut, ia mengatakan bahwa keputusannya mualaf bukan hanya karena ingin mempersunting Jeng Sito. Sebelum kenal istri ketiganya tersebut, sebenarnya ia sudah mempelajari dan tertarik dengan agama Islam.
Saat tinggal di Amerika, ia sebenarnya mempelajari beberapa agama selain Katolik, seperti Budha, Kristen, dan Islam. Ketertarikannya dengan agama Islam semakin kuat saat ia berteman dengan salah satu anggota Komunitas Bengkel Teater bernama Syu’ba Asa.
Saat itu, Syu’ba yang masih menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga membacakan terjemahan Barzanji pada Rendra. Barzanji sendiri adalah karya sastra berbahasa Arab yang berisi pujian dan doa untuk Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Sayid Ja’far al-Barzanji. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak keberatan untuk pindah agama Islam.
Tak hanya itu, dirinya pun beranggapan bahwa agama Islam bisa menjawab persoalan batin yang terus menghantuinya, yaitu masalah kemerdekaan individual. Ia merasa hak individunya makin dihargai saat memeluk agama Islam karena bisa langsung berdoa kepada Allah SWT tanpa perlu adanya pertolongan dari orang lain.
Akhir Hayat
Sampailah kita pada akhir perjalanan WS Rendra yang sekaligus mengakhiri artikel biografi ini. Si Burung Merak memang sudah tak lagi bisa mengepakkan sayapnya yang indah, tapi namanya dan karyanya akan terus hidup di dalam sejarah Indonesia.
Tepat di usia yang ke-74 tahun, ia menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat. Ia memang telah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 25 Juni 2009 karena menderita penyakit jantung koroner. Sebelum akhirnya WS Rendra meninggal, ia sempat mengalami kondisi kritis dan dibawa ke unit gawat darurat.
Namun sayang, dokter tak mampu menyelamatkan nyawanya. Ia menutup mata selamanya pada 06 Agustus 2009 pukul 22:10 WIB. Jenazahnya dikebumikan di lokasi pemakaman keluarga WS Rendra di Bengkel Teater, Depok, pada keesokan harinya.
Baca juga: Biografi Tan Malaka, Pahlawan Nasional yang Namanya Pernah Dihapus dari Sejarah
Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Biografi WS Rendra
Itulah tadi ulasan tentang biografi WS Rendra yang bisa kamu baca di KepoGaul. Apakah sudah cukup menjawab rasa penasaranmu pada penyair ini? Semoga informasi yang kami sajikan bisa menambah wawasanmu, ya.
Selain itu, kiranya kamu bisa memetik beberapa pelajaran penting dari kisah hidupnya. Salah satunya adalah memiliki keteguhan hati yang kuat dan tak mudah menyerah. Meski berulang kali mendapat rintangan dalam menulis puisi dan mementaskan drama, ia tak pernah takut dan berhenti berkarya.
Rangkuman biografi WS Rendra ini juga seakan mengingatkan kita agar senantiasa peduli dengan sesama. Seperti Si Burung Merak ini, lewat puisi-puisinya, ia dengan lantang dan berani mengkritik kinerja wakil rakyat yang terkadang tak memihak pada rakyat. Dengan semangat, ia berjuang dan mempertaruhkan hidup demi merenggut keadilan.
Jika kamu ingin mengetahui biografi tokoh-tokoh inspiratif lainnya, langsung saja kepoin KepoGaul.com. Sebab, di sini juga ada profil lengkap para pahlawan, seperti Cut Nyak Dien, Kartini, Jendral Sudirman, dan masih banyak lagi. Selamat membaca!