
Ernest Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi memang bukan orang Indonesia tulen. Meskipun begitu, ia sangat cinta dan turut memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kecintaannya itu bisa saja melebihi orang-orang asli Indonesia. Bagaimana kisah perjuangannya? Simak biografi Ernest Douwes Dekker dalam artikel ini!
- Nama Asli
- Ernest François Eugène Douwes Dekker
- Nama Terkenal
- Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi
- Tempat, Tanggal Lahri
- Pasuruan, 8 Oktober 1879
- Meninggal Dunia
- Bandung, 28 Agustus 1950
- Warga Negara
- Indonesia
- Pasangan
- Clara Charlotte Deije, Johanna Petronella Mossel, Nelly Alberta Geertzema nee Kruymel
- Anak
- Eduard Clarence Edwin, Sigmund Ragna Sigurd, Louisa Erna Adeline, Hedwig Olga Hildegard, Sieglinde Ragna Sigrid, Usep Rana Wijaya
- Orang Tua
- Auguste Henri Eduard Douwes Dekker (Ayah), Louisa Margaretha Neumann (Ibu)
Saat duduk di bangku sekolah, kamu mungkin pernah mempelajari biografi singkat Ernest Douwes Dekker. Dirinya memang sudah tiada, tapi namanya akan selalu dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai orang penting yang turut memperjuangkan kemerdekaan.
Meskipun tergolong sebagai orang Indo alias orang-orang keturunan Indonesia-Eropa, ia sangat mencintai tanah air dan kerap memberikan kritikan pada kolonial Belanda. Dengan gigih, Ernest memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Dirinya memang tak ikut berperang langsung melawan penjajah. Akan tetapi, ia berjuang melalui kecerdasan akalnya. Salah satu perjuangannya adalah mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) yang merupakan partai politik pertama di Hindia Belanda.
Tujuan dari partai ini adalah untuk membangkitkan jiwa patriotisme semua indiers (orang asli Indonesia) terhadap tanah air. Melalui media majalah dan kampanye, Ernest dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Tiga Serangkai memperkenalkan tujuan dari Indische Partai tersebut.
Cerita di atas hanyalah segelintir dari perjuangan Ernest dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kamu penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Simak ulasan mengenai biografi Ernest Douwes Dekker berikut ini!
Kehidupan Pribadi
Bagaimana latar belakang Ernest? Di mana ia dilahirkan? Siapa orang tuanya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terlintas dalam benakmu. Simak ulasan singkat mengenai biografi Ernest Douwes Dekker ini.
1. Keluarga
(Sumber: Wikimedia Commons)
Meskipun wajahnya terlihat seperti orang asing, Ernest sebenarnya lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879. Hanya saja, ayahnya keturunan asli Belanda yang bekerja sebagai seorang pegawai bank Nederlands Indisch Escomptobank bernama Auguste Henri Eduard Douwes Dekker. Sementara ibunya keturunan Jerman dan Jawa yang bernama Louisa Margaretha Neuman.
Pria yang akrab disapa Ernest ini merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Adeline, Julius, dan Guido adalah nama-nama dari kakak serta adiknya. Kehidupan keluarga Douwes Dekker ini sering berpindah-pindah. Mereka pernah tinggal di Surabaya, Pasuruan, Jatinegara, juga Pegangsaan.
Banyak orang yang penasaran, apakah Ernest masih memiliki hubungan darah dengan Eduard Douwes Dekker. Eduard adalah orang Indo yang dikenal karena sering menulis novel berisi kritikan terhadap perlakuan buruk penjajah terhadap orang-orang pribumi Indonesia.
Salah satu novelnya adalah Max Havelaar (1860) yang bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum pribumi Indonesia di daerah Lebak, Banten. Nah, Kakek Ernest, Jan, merupakan adik dari Eduard Douwes Dekker. Dengan kata lain, Ernest merupakan cucu keponakan dari sastrawan asal Belanda ini.
Baca juga: Biografi Pangeran Antasari, Pahlawan Banjar yang Berusaha Mengusir Belanda dari Kampung Halamannya
2. Pendidikan
Pada zaman Hindia Belanda, menempuh pendidikan merupakan perkara yang tak mudah bagi orang-orang Indonesia. Beruntung, Ernest berasal dari keluarga keturunan Eropa, di mana ia memiliki hak istimewa untuk bersekolah.
Ia menempuh pendidikan dasar di salah satu sekolah di Pasuruan, Jawa Timur. Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Hoogere Burgerschool (HBS) yang setara dengan pendidikan menengah umum di Surabaya.
Sebelum lulus dari HBS, ia dan keluarganya pindah ke Jakarta. Oleh karenanya, Ernest meneruskan pendidikannya di Koning Willem III School te Batavia (KW III) yang juga setara dengan pendidikan menengah umum.
3. Pekerjaan Sebelum Menjadi Aktivis
Setelah lulus pendidikan menengah umum, Ernest tak langsung melanjutkan kuliah. Ia bekerja di perkebunan kopi bernama Somber Doeren di Malang pada tahun 1898 lantaran keluarganya mengalami krisis ekonomi.
Dirinya belajar tentang pengelolaan sumber daya manusia dan manajemen perkebunan dari pekerjaan yang ditekuninya tersebut. Tak hanya itu, pekerjaan di perkebunan kopi juga menyadarkannya bahwa kolonial Belanda sering bertindak keji kepada para pribumi. Orang-orang dari Negeri Tulip ini memberi upah yang tak seberapa atas kerja keras para buruh.
Tak ingin kaum pribumi terus tertindas, Ernest kemudian mengubah sistem kerja. Ia memperlakukan para buruh petani secara manusiawi dan menggaji sesuai kerja keras mereka. Keputusan tersebut tentunya tak diterima baik oleh kolonial Belanda.
Akibatnya, Ernest jadi sering berselisih dengan atasannya. Pada akhirnya, ia pindah kerja di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo. Namun, di pabrik ini ternyata tak ada bedanya dengan perkebunan kopi, di mana orang-orang pribumi ditindas oleh kolonial Belanda.
Dikarenakan memiliki jiwa sosial yang tinggi, Ernest memperlakukan para buruh pabrik dengan baik dan bijaksana. Kebaikannya itu tentu memicu pertikaian dengan kolonial Belanda dan membuatnya diberhentikan dari pekerjaan.
4. Kisah Asmara
Banyak orang yang tampaknya penasaran dengan siapa istri dan anak Ernest Douwes Dokker. Kamu juga penasaran? Simak ulasannya di biografi Ernest Douwes Dekker ini, yuk!
Ernest menikahi Clara Charlotte Deije, seorang wanita keturunan Jerman dan Belanda, pada tahun 1903 di usianya yang ke-24 tahun. Kemudian mereka dikaruniai 5 anak, dua laki-laki dan tiga perempuan.
Akan tetapi, kedua putranya meninggal dunia saat masih bayi. Putra pertamanya, Eduard Clarence Edwin berpulang ke rumah Tuhan saat berumur 1,5 tahun dikarenakan terjangkit malaria tropika. Sedangkan putra keduanya, Sigmund Ragna Sigurd, meninggal karena radang usus kecil saat berusia 3 minggu. Ketiga putrinya adalah Louisa Erna Adeline, Hedwig Olga Hildegard, dan Sieglinde Ragna Sigrid.
Pada tahun 1919, hubungan Ernest dan Clara kandas setelah 16 tahun menikah. Ernest menikah lagi dengan perempuan muda keturunan Yahudi bernama Johanna Petronella Mossel setelah delapan tahun menjalani hidup sendiri. Karena tak kunjung diberi buah hati, mereka mengadopsi seorang anak bernama Usep Rana Wijaya.
Pada tahun 1941, mereka harus berpisah lantaran Ernest diasingkan ke Suriname. Tanpa sepengetahuan suaminya, Johanna menikah dengan pria bernama Djafar Kartodiredjo.
Berselang lima tahun, Ernest sempat dipindahkan dari Suriname ke Belanda. Di negara tersebut, ia bertemu dan dekat dengan Nelly Alberta Geertzema nee Kruymel, yaitu seorang perawat janda beranak satu yang juga berasal dari Indonesia. Pada tahun 1947, Ernest resmi bercerai dengan Johanna, lalu menikahi Nelly.
Mengikuti Perang Boer Kedua
(Sumber: Wikimedia Commons)
Sebelumnya, artikel biografi ini telah menyebutkan bahwa Ernest Douwes Dekker sempat bekerja di perkebunan. Setelah berhenti bekerja, ia sempat menganggur dan tinggal bersama dengan ibunya.
Kemudian, ia mendapatkan tawaran dari pemerintah kolonial Belanda untuk ikut serta dalam Perang Boer Kedua antara Inggris melawan Republik Transvaal di Afrika Selatan pada tahun 1899. Dirinya berpihak pada kubu Republik Transvaal dan sempat menjadi warga negara tersebut.
Perang ini berlangsung selama kurang lebih 3 tahun, yakni sejak Oktober 1899 hingga Mei 1902 dan berakhir dengan kemenangan Inggris. Setelah itu, komplotan Inggris menangkap Ernest dan mengurungnya di suatu kamp di Sri Lanka.
Di sana, dirinya bertemu dengan sastrawan India, sehingga ia belajar banyak hal mengenai dunia kepenulisan. Hal itu membuatnya tertarik untuk menulis kisah-kisahnya saat berjuang dalam perang yang baru saja dijalaninya.
Baca juga: Biografi Wikana, Tokoh Kemerdekaan Indonesia yang Terlupakan dari Sejarah
Kisah Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia
Meskipun sempat menjadi warga negara lain, Ernest kembali ke Indonesia selepas ditahan di kamp Ceylon di tahun 1902. Ia kembali ke tanah air untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti apa kisahnya? Simak artikel biografi Ernest Douwes Dekker ini.
1. Terjun ke Dunia Jurnalistik
Biografi Ernest Douwes Dekker ini bakalan kurang lengkap kalau belum menyinggung keterlibatannya di dunia jurnalistik. Sepulangnya ke Indonesia, ia sempat bekerja di agen pengiriman milik negara bernama KPM dengan penghasilan yang lumayan besar. Ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di koran De Locomotief yang berkantor di Semarang karena ingin mendalami ilmu jurnalistik.
Selama menjadi wartawan, ia kerap mengangkat kasus-kasus kelaparan yang terjadi di Indramayu. Selain itu, ia juga sering menulis artikel yang berisi tentang kebijakan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1907, ia bekerja menjadi staf redaksi di sebuah majalah bernama Bataviaasch Nieuwsblad. Di redaksi tersebut, tulisan-tulisan Ernest semakin berani mengkritik kolonial Belanda.
Salah satu tulisannya yang cukup populer adalah Hoe kan Hollan he Spoedigst Zijn Kolonie Veriliezen? yang berarti bagaimana caranya Belanda kehilangan koloninya?. Karya tersebut diterjemahkan dalam bahasa Jerman dengan judul Hollands Kolonialer Untergang. Tulisan tersebut membuatnya menjadi target dari badan intelijen kolonial Belanda.
Di saat menekuni bidang jurnalistik, Ernest juga memerhatikan aspek pendidikan. Dirinya turut memelopori dibentuknya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), yaitu suatu badan yang bertujuan untuk menggalang dana pembangunan pendidikan tinggi pada masa Hindia Belanda.
2. Terlibat dalam Organisasi Budi Utomo
(Sumber: Wikimedia Commons)
Ernest Douwes Dekker memiliki beberapa kawan dekat yang merupakan pelajar STOVIA alias Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, yaitu Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka sering berkumpul di rumah Ernest yang lokasinya tak jauh dari STOVIA.
Bukan sekadar nongkrong, pertemuan mereka bertujuan untuk mendiskusikan Budi Utomo alias organisasi sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang tidak bersifat politik. Dengan kata lain, Ernest merupakan salah satu penguat organisasi Budi Utomo. Ia bahkan mengikuti kongres pertama organisasi Budi Utomo yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Baca juga: Biografi Raden Patah, Keturunan Raja Majapahit yang Menjadi Pendiri Kesultanan Demak
3. Merintis Indische Partij
Nama Ernest lekat dengan kiprahnya di dunia politik. Seperti apakah kisahnya dalam merintis partai politik? Simak informasi selengkapnya di artikel biografi Ernes Douwes Dekker ini!
Kolonial Belanda cenderung menguasai sistem pemerintahan Hindia Belanda dan mendiskriminasi kaum pribumi. Alasannya karena background pendidikan orang pribumi tidak setinggi orang-orang Belanda. Alhasil orang-orang asli Indonesia hanya menjadi pegawai rendahan, sedangkan kolonial Belanda menduduki kursi-kursi penting.
Tak ingin hal tersebut terus-terusan terjadi, Ernest kemudian memberikan gagasan baru. Pemerintahan Hindia Belanda harus dijalankan oleh penduduk-penduduk pribumi. Melalui partai Indische Bond dan Insulinde yang beberapa anggotanya berasal dari kaum pribumi, ia menyampaikan gagasannya tersebut. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang menyambut positif gagasannya.
Meski begitu, Ernest tak ingin menyerah. Ia kemudian merintis partai nasional bernama Indische Partij pada 25 Desember 1912 bersama dengan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) dan Tjipto Mangunkusumo.
Lewat kampanye yang dilakukan di beberapa kota, ia berhasil menarik simpatisan sebanyak kurang lebih 5000 orang. Tak hanya dengan cara itu saja, partai politik ini juga menggunakan media majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar De Expres yang dipimpin Ernest Douwes Dekker sebagai sarana untuk membangkitkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air orang-orang. Oleh sebab itu, Indische Partij populer di kalangan orang pribumi, Indo, dan Tionghoa.
Pemerintah kolonial Belanda menganggap Indische Partij menyebarkan kebencian, sehingga partai tersebut dibubarkan pada tahun 1913. Ketiga pendirinya yang dijuluki Tiga Serangkai pun ditangkap dan ditahan.
Kemudian, mereka diasingkan ke Eropa. Selama di sana, Ernest justru banyak menghabiskan waktu bersama dengan keluarganya. Ia juga memanfaatkan waktunya untuk mengambil program doktor jurusan Ekonomi di Universitas Zurich di Swiss.
Dalam masa pendidikannya, ia pernah ditahan di di Singapura pada tahun 1918 lantaran terlibat perseturuan dengan kaum revolusi Indonesia. Sebelum ditahan, ia sempat dibawa ke Hongkong untuk menjalani proses pengadilan.
4. Kembali Menekuni Bidang Jurnalistik
Setelah tinggal di Eropa lalu ditahan di Singapura, Ernest tetap kembali ke Indonesia. Dengan jiwa nasionalisnya yang tinggi, ia ingin berjuang melawan penjajah agar Indonesia bisa merdeka.
Saat kembali ke Jakarta, dirinya menjadi redaktur di majalah De Beweging. Kali ini, dirinya semakin berani menulis artikel-artikel guna menyindir para pribumi yang pro-koloni. Melalui tulisan-tulisannya tersebut, ia berharap bisa menyadarkan para pribumi dan orang-orang Indo untuk tidak berpihak kepada Belanda.
Selain itu, ia juga secara terang-terangan mengkritik organisasi orang Indo yang baru saja dibentuk, yakni Indisch Europeesch Verbond (IEV). Organisasi yang didirikan Karel Zaalberg ini bertujuan mempertahankan kepentingan kelompok pemerintah Belanda. Dengan lantang dan berani Ernest menuliskan bahwa IEV terlalu konyol dan kekanak-kanakan.
Selain menuliskan kritikan, ia juga mengembangkan Indische Partij yang sebelumnya telah dibubarkan menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Pembentukan NIP ini memicu peritikaian antara anggota pro-kolonial dan anti-kolonial. Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda melarang NIP diresmikan.
Di tahun 1919, petani perkebunan tembakau di Polanharjo, Klaten, memprotes pemerintah Hindia Belanda sehingga menyebabkan kericuhan. Ernest dituduh sebagai provokator dari kericuhan tersebut dan sempat mendekam di tahanan. Setelah melalui proses pengadilan, ia terbukti tidak bersalah pada tahun 1920.
Selesai satu masalah, muncullah masalah lain. Ernest dituduh menjadi dalang di balik komentar tajam kepada pemerintah kolonial Belanda yang berbunyi “Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!”.
Dirinya dinyatakan tidak bersalah setelah melalui proses pengadilan yang cukup panjang. Merasa tak tenang karena terus-terusan dituduh, Ernest memutuskan untuk meninggalkan dunia jurnalistik.
Baca juga: Biografi Nyi Ageng Serang, Pejuang Wanita yang Berperan Besar dalam Perang Diponegoro
5. Mendirikan Ksatrian Institut
Walaupun meninggalkan bidang jurnalistik, bukan berarti Ernest menghentikan perjuangannya merebut keadilan. Lantas, hal apa yang kemudian dilakukannya? Berikut ulasannya dalam biografi Ernest Douwes Dekker ini.
Usai memutuskan tak lagi terlibat dalam dunia jurnalistik, Ernest menulis buku-buku semi ilmiah. Tak hanya itu saja, ia juga sempat melakukan penangkaran anjing ras gembala jerman.
Kemudian ia mendapatkan dorongan dari Suwardi Suryaningrat, pendiri Perguruan Taman Siswa, untuk terjun ke dunia pendidikan. Ernest lalu mendirikan sekolah bernama Ksatrian Institut di Bandung. Institut ini mengajarkan tentang sejarah Indonesia dan dunia berdasarkan dari buku-buku yang ditulis Ernest.
Johanna Petronella Mossel adalah salah satu guru yang turut membantu pengelolaan Ksatrian Institut. Sayangnya, pelajaran yang ada di sekolah ini dituduh pro Jepang dan anti kolonial Belanda oleh pemerintah yang saat itu masih di bawah naungan kolonial Belanda.
Akibatnya, buku-buku karya Ernest disita dan dibakar oleh pemerintah Karesidenan Bandung pada tahun 1933. Selain itu, cucu keponakan Eduard Douwes Dekker ini juga dilarang untuk mengajar. Agar tetap memiliki penghasilan, dirinya bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang yang berlokasi di Jakarta.
Pekerjaannya tersebut membuat Ernest dituduh sebagai kolaborator Jepang. Tak hanya itu saja, ia juga dituduh komunis. Pada tahun 1940, ia ditangkap dan diasingkan ke Suriname. Ia tinggal di kamp bekas tempat tinggal para kaum Yahudi pada abad ke-17 hingga ke-19.
Selama di kamp, kondisi Ernest yang sudah rapuh termakan usia sangat memprihatinkan. Menginjak usia ke-60, ia sempat kehilangan kemampuan penglihatannya. Tak hanya itu, dirinya juga mengalami depresi berat karena berpisah dengan keluarganya.
Pada tahun 1946, ia dibebaskan dan dibawa ke Belanda. Selama di Negeri Tulip ini, ia bertemu dengan perawat janda bernama Nekky Albertina Gertzema Nee Kruymel yang juga berasal dari Indonesia. Mereka kembali ke Indonesia bersama pada tahun 1947.
6. Mengganti Nama Asli
Pada tanggal 2 Januari 1947, Ernest dan Nelly tiba di Yogyakarta. Ernest kemudian mengganti nama menjadi Danudirja Setiabudi. Nama lain Ernest Douwes Dekker ini didapatkannya dari Presiden Soekarno yang memiliki arti berjiwa kuat dan setia.
Selain Ernest, Nekky Albertina Gertzema Nee Kruymel juga mengubah namanya menjadi Haroemi Wanasita. Alasan mereka mengganti nama adalah untuk menghindari badan intelijen kolonial Belanda.
Di Yogyakarta, Ernest dekat dengan tokoh-tokoh Indonesia, seperti Soekarno dan Sutan Syahrir. Nampaknya kedekatan mereka berpengaruh besar pada kehidupan Ernest. Sehingga, ia tak hanya mengganti nama saja tapi juga agamanya. Ia mengucapkan syahadat sebanyak dua kali sebagai tanda bahwa dirinya telah memeluk agama Islam.
7. Memperjuangkan Revolusi Kemerdekaan Tanah Air
Kamu masih semangat menyimak biografi Ernest Douwes Dekker ini, kan? Meskipun usianya sudah semakin senja dan badannya semakin ringkih, Ernest masih menjadi aktivis.
Setelah mengubah nama, ia menjabat sebagai menteri negara dalam Kabinet Sjahrir III selama kurang lebih 9 bulan. Ia juga menjadi anggota komite keuangan di delegasi dan negosiasi dengan Belanda.
Nggak cuma itu saja, Ernest juga sempat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sekaligus pengajar di Akademi Ilmu Politik. Dirinya juga dipilih menjadi Kepala Seksi Penulisan Sejarah di bawah naungan Kementerian Penerangan
Pada tahun 1948, kolonial Belanda melakukan Aksi Polisionil atau juga dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda. Tujuan aksi tersebut adalah memaksa Republik Indonesia bekerja sama dengan Belanda untuk membentuk deelstatenpolitiek (Politik Negara Bagian) sesuai Perjanjian Linggarjati.
Aksi Polisionil ini berlangsung dari 19 Desember 1948 hingga 5 Januari 1949. Aksi tersebut berawal dari penangkapan tokoh-tokoh penting, Ernes Douwes Dekker pun ikut ditangkap.
Dirinya lalu dibawa ke Jakarta untuk melakukan deretan interogasi. Karena kondisi fisiknya semakin melemah, ia dibebaskan dengan syarat tidak boleh terlibat lagi dalam dunia politik.
Pria yang akrab disapa Setiabudi ini kemudian dibawa ke Bandung dan tinggal di Lembang. Ditemani istrinya, Harumi, Ernest kembali terlibat di Ksatrian Institut. Ia merevisi beberapa buku sejarah tulisannya dan mengumpulkan materi untuk penulisan biografi dirinya.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang Dianggap Saingan Politik oleh Soeharto
Akhir Hayat
Tibalah pada akhir perjalanan Ernest Douwes Deker yang sekaligus mengakhiri artikel biografi ini. Ia berpulang ke rumah tuhan saat dini hari pada tanggal 28 Agustus 1950, tapi di nisannya tertulis meninggal pada 29 Agustus 1950. Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, menjadi tempat peristirahatannya untuk terakhir kali.
Ernest dikenal sebagai sosok penting yang berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia. Untuk mengenang perjuangannya, ada banyak kota besar yang menggunakan namanya sebagai nama jalan, seperti Jalan Setiabudi yang ada di Lembang, Bandung.
Selain itu, namanya juga digunakan sebagai nama kecamatan di Jakarta Selatan. Foto Ernest saat mengenakan kopiah hitam pun terpampang di perangko bernilai 600 rupiah.
Pada tanggal 9 November 1961, Presiden Soekarno menetapkan Ernest Douwes Dekker sebagai salah satu pahlawan Indonesia. Ernest atau Setiabudi dikenal sebagai jurnalis dan politikus Indo yang membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun bukan pribumi, dirinya cinta mati kepada Indonesia.
Baca juga: Biografi Tan Malaka, Pahlawan Nasional yang Namanya Pernah Dihapus dari Sejarah
Pelajaran Berharga dari Biografi Ernest Douwes Dekker
Itulah tadi ulasan lengkap mengenai biografi Ernest Douwes Dekker, mulai dari kehidupan pribadi hingga perjuangannya meraih keadilan di Indonesia. Sudah puas dengan informasi yang kami sajikan?
Dari biografi Ernest Douwes Dekker ini, semoga kamu bisa memetik beberapa pelajaran berharga. Salah satunya adalah mencintai tanah air Indonesia. Kita mungkin sudah tidak melawan penjajah.
Namun, secara tidak langsung budaya-budaya asing telah merasuki masyarakat Indonesia. Boleh-boleh saja menyukai dan mempelajari budaya luar negeri, tapi jangan sampai lupa atau tidak tahu budaya tanah air sendiri.
Kalau Anda ingin menambah ilmu pengetahuan dengan membaca-baca biografi tokoh inspiratif lainnya, langsung saja kepoin KepoGaul.com. Selain Ernest Douwes Dekker, ada juga biografi Moh Hatta, Jendral Sudirman, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi.
Selain itu, di situs ini juga banyak informasi menarik lainnya. Beberapa di antaranya adalah kumpulan resep masakan, rekomendasi tempat wisata, info seputar selebritas, dan lain-lain. Yuk, langsung saja baca KepoGaul.com!