
AH Nasution, jenderal bintang lima yang lolos dari perisitiwa G30S ini ternyata punya kisah yang cukup memprihatinkan di masa Orde Baru. Ia seolah disingkirkan oleh Soeharto yang tak ingin memiliki lawan politik. Ingin tahu kisah selengkapnya? Simak biografi Abdul Haris Nasution berikut!
- Nama
- Abdul Haris Nasution
- Tempat, Tahun Kelahiran
- Kotanopan, 3 Desember 1918
- Meninggal
- 6 September 2000
- Warga Negara
- Indonesia
- Pasangan
- Johana Sunarti Gondokusumo
- Anak
- Hendrianti Sahara Nasution, Ade Irma Suryani Nasution
- Orangtua
- Abdul Halim Nasution (Ayah), Zaharah Lubis (Ibu)
Pastinya kamu pernah mendengar tentang AH Nasution, dong? Ya, jenderal bintang lima ini adalah sosok perwira Angkatan Darat yang selamat dari peristiwa G30S. Selain itu, masih banyak fakta menarik tentangnya yang sudah kami ulas di biografi Abdul Haris Nasution ini.
Salah satunya adalah kontroversi mengenai penyebab pria yang juga kerap dipanggil Pak Nas ini tak maju menggantikan Soekarno sebagai presiden. Mengapa justru Soeharto yang maju, padahal ia merupakan atasan Soeharto di Angkatan Darat.
Tak hanya itu, setelah Soeharto naik menjadi presiden pun seolah langkah Abdul Haris Nasution dijegal, baik di bidang politik, maupun kehidupan pribadinya. Akibatnya, Nasution jadi kesulitan mengemukakan pendapatnya di muka umum.
Nah, kalau kamu penasaran dengan segala hal tentang sosok mantan Kepala Staf Angkatan Darat asal Sumatra Utara ini, simak saja biografi Abdul Haris Nasution berikut hingga usai. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sepak terjang AH Nasution di bidang militer maupun politik, mari kita bahas tentang latar belakang keluarga, pendidikan, dan kisah asmaranya terlebih dahulu. Penasaran, kan? Ini dia ulasannya dalam biografi Abdul Haris Nasution berikut.
1. Masa Kecil
Memiliki nama lengkap Abdul Haris Nasution, ia lahir di Hutapungkut, Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 3 Desember 1918. Nasution merupakan anak kedua sekaligus putra pertama dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis.
Abdul Halim, ayah AH Nasution, adalah pedagang tekstil, karet, dan kopi yang sering berbisnis dengan pedagang-pedagang Cina di Sibolga, Padang Sidempuan, Bukittinggi, dan Padang. Sedangkan ibunya, Zaharah Lubis, bekerja sebagai petani.
Meski suka bermain sepak bola dan memanjat pohon seperti anak laki-laki pada umumnya, AH Nasution juga senang membaca buku sejarah. Bidang yang paling diminatinya adalah politik dan peperangan. Sedangkan tokoh favoritnya adalah Nabi Muhammad yang merupakan ahli strategi perang. Ketertarikannya dalam bidang ini mungkin diturunkan dari ayahnya yang sangat menyukai tokoh perjuangan kebangkitan Islam dari Turki.
Merupakan anak lelaki tertua dalam keluarga, ayah, ibu, kakek, dan kakek nenek AH Nasution memiliki harapan berbeda tentang masa depannya. Sebagai guru pencak silat, sang kakek berharap ia akan menjadi guru pencak silat ketika sudah dewasa nanti.
Sedangkan sang ayah ingin agar ia melanjutkan pendidikan ke sekolah agama agar menjadi sosok yang tinggi ilmu agamanya. Ibunya lain lagi, AH Nasution dituntut untuk belajar di sekolah umum agar bisa melanjutkan ke sekolah kedokteran, sama seperti kakaknya.
2. Masa Sekolah hingga Menjadi Guru
Abdul Haris Nasution menjalani masa-masa sekolah dasarnya di Hollandsche Inlandsche School (HIS) Kotanopan yang terletak sekitar 6 km dari rumahnya. Namun, tak hanya sekolah umum, sepulang sekolah ia lanjut belajar ke madrasah untuk belajar mengaji hingga petang.
Tahun 1932, ia lulus HIS dan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) di Bukittinggi, Sumatra Barat. HIK merupakan sekolah khusus guru yang setara dengan SMP. Tiga tahun menimba ilmu, akhirnya ia lulus dari HIK pada 1935.
Setelah itu, AH Nasution merantau ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya yang setara SMA. Sebab, di Sumatra belum ada sekolah formal untuk rakyat pribumi biasa seperti dirinya yang setara jenjang SMA.
Lulus SMA, ia pergi ke Bengkulu untuk menjadi tenaga pengajar. Nah, kebetulan, tempatnya mengajar dekat dengan tempat pengasingan Soekarno sehingga ia sering membicarakan perihal politik dengan Soekarno.
Selepas di Bengkulu, ia pindah mengajar ke Palembang. Namun, ia tak lama di Palembang karena ketertarikan terhadap dunia militer dan politik mendorongnya untuk mendaftar sebagai prajurit militer.
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Nasional Muda yang Gugur di Medan Perang
3. Kisah Asmara
Johana Sunarti Gondokusumo merupakan wanita kelahiran Surabaya, 1 November 1923 yang dinikahi Abdul Haris Nasution pada 30 Mei 1947 di Bandung. Dari pernikahan Johana dan Nasution, lahirlah dua orang putri yang diberi nama Hendrianti Sahara Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution.
AH Nasution bertemu dengan istrinya tatkala menumpang di rumah pasangan RPS Gondokusumo dan HM Rademaker. Ya, Johana Sunarti merupakan putri dari orang yang melindungi AH Nasution di saat Jepang mengambil alih Indonesia dari tangan Belanda. Sebab, meski merupakan orang pribumi, posisi Nasution yang ketika itu menjadi perwira Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) membuatnya terancam ditahan pemerintah Jepang.
Nasution adalah sosok yang begitu setia terhadap istrinya. Bahkan meski kawan-kawannya sesama petinggi negara memiliki selingkuhan maupun istri simpanan, hatinya tetap teguh untuk memegang satu cinta, yaitu untuk Johana Sunarti seorang.
Perjalanan Karier Militer di Masa Penjajahan
Mungkin kamu ingin tahu, bagaimana bisa seorang yang awalnya berprofesi sebagai guru bisa menjadi seorang jenderal besar yang dikagumi banyak orang. Daripada penasaran terus, berikut sudah kami rangkum perjalanan karier militer Abdul Haris Nasution di biografi ini.
1. Menjadi Prajurit Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger
Pada tahun 1940, pasukan Nazi Jerman menduduki Belanda. Khawatir wilayah Hindia Belanda ikut terkena imbasnya, pemerintah kolonial membentuk korps perwira cadangan yang dinamakan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Dalam pasukan cadangan ini, masyarakat pribumi yang memenuhi syarat diizinkan untuk ikut mendaftar sebagai prajurit.
Mendengar kabar tersebut, tentu saja Abdul Haris Nasution yang sudah tertarik dengan militer dan politik sejak kecil berminat untuk mendaftar. Oleh sebab itu, ia meninggalkan pekerjaannya sebagai tenaga pengajar di Palembang dan bertolak ke Bandung untuk menjalani pendidikan di Akademi Militer.
Kemudian pada September 1940, ia berhasil mendapatkan pangkat kopral. Tiga bulan menjadi kopral, pada Desember 1940 pangkatnya dinaikkan menjadi sersan. Dan ia ditugaskan untuk bergabung bersama Batalyon 3 di Kebalen, Surabaya.
Pada tahun 1942, ketika Jepang mengambil alih kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia, AH Nasution yang sudah naik pangkat menjadi letnan muda ditugaskan mempertahankan Pelabuhan Tanjung Perak. Namun, ketika pasukannya sudah terdesak mundur sampai ke Jember, ia memutuskan kabur karena tak ingin ditangkap Jepang.
2. Perjuangan Berat Kabur Meninggalkan Pasukannya
Sebenarnya ketika awal pelantikan prajurit KNIL, AH Nasution sudah diambil sumpahnya untuk tetap setia pada Ratu Wilhelmina, penguasa Belanda. Namun, melihat kenyataan bahwa pasukan Jepang lebih unggul ketimbang Belanda, sebagai orang asli pribumi, ia tak mau ambil risiko untuk ikut celaka bersama para prajurit Belanda. Oleh karenanya, ia yang saat itu masih berusia 23 tahun menyusun rencana untuk kabur.
Ia pun menjalankan rencananya dengan mencari sarung dan baju khas orang-orang pedesaan. Setelah mendapatkannya, ia juga memotong celana panjang tentara miliknya menjadi celana pendek.
Gelagat aneh AH Nasution sebenarnya dicurigai oleh seorang sersan mayor yang tinggal bersamanya di asrama. Namun, sebagai orang yang pangkatnya lebih tinggi, ia bersikap pura-pura biasa saja terhadap si sersan mayor.
Sikap pura-pura biasa saja juga ditunjukkan Nasution terhadap Nunroha, temannya sesama letnan muda. Namun, meski mengetahui gelagat aneh Nasution, Nunroha tak mau memedulikannya dan tidak juga mengadu pada komandan mereka.
Akhirnya tibalah saat AH Nasution menjadi komandan piket. Pada pukul 04.00 dini hari, ia menyelinap kabur ke perkampungan dengan berjalan kaki. Setelah berjam-jam berjalan, ia pun tiba di jalan besar dan melanjutkan perjalanannya dengan menumpang dokar.
Sesampainya di kota, AH Nasution langsung menuju ke rumah Artawi, temannya semasa SMA di Bandung yang saat itu menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra). Di rumah Artawi, ia bersembunyi selama 24 jam sambil sesekali mengintip jendela, khawatir sang komandan mencarinya.
Keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan dengan menaiki sepeda ontel yang diperolehnya dari Artawi. Untuk menyamarkan identitasnya, Nasution mengenakan sarung seperti santri-santri Jawa Timur pada umumnya.
3. Perjalanan Berat Menuju Bandung
Desa-desa yang dilewatinya sepanjang perjalanan naik sepeda ontel terasa sepi karena penduduknya banyak yang mengungsi. Barangkali mereka takut terkena bom atau peluru dari Jepang dan Belanda yang sedang saling berkonfrontasi.
Setelah seharian bersepeda, Abdul Haris Nasution pun tiba di Lumajang pada malam hari. Ia terus bersepeda ke arah barat hingga akhirnya tiba di Mojokerto dan mampir sebentar untuk menemui Suroso, temannya. Suroso meminta Nasution agar tetap berhati-hati karena tentara Jepang begitu ganas sehingga bukan tidak mungkin jika bertemu dengan prajurit KNIL, ia akan langsung dibunuh.
Tak berselang lama, ia kembali melanjutkannya ke arah barat dan melalui kota-kota, seperti Madiun, Ngawi, Solo, Jogja, Cilacap, hingga sampai di Bandung dalam waktu dua minggu. Perjalanannya tidak sepenuhnya ditempuh dengan bersepeda, jika kebetulan ada kereta yang berjalan ke arah barat, ia akan menumpang kereta dengan turut membawa naik sepedanya.
Setibanya di Bandung, AH Nasution langsung menuju ke rumah Rahmat Kartakusumah, temannya sewaktu menimba ilmu di Akademi Militer Bandung. Namun, ternyata Rahmat tak ada di rumah karena menjadi tawanan di kamp Jepang. Tak ingin membuat keluarga Rahmat berada dalam bahaya, ia pun memutuskan kembali mengayuh sepedanya ke arah barat hingga sampai di Cianjur pada malam hari.
Setelah beristirahat semalaman, keesokan harinya ia melanjutkan perjalanannya ke Sukabumi. Namun, sesampainya di Sukabumi ia kembali lagi ke Cianjur dan Bandung. Ya, sebelum kondisi dirasa benar-benar aman, ia bolak-balik Bandung-Cianjur-Sukabumi selama dua hingga tiga minggu.
3. Menumpang di Rumah Mr Gondokusumo
Setelah perjuangan kabur dari pasukannya yang begitu dramatis, akhirnya Nasution mendapatkan ketenangan hidupnya dengan menumpang di rumah Mr Gondokusumo. Berikut sudah terangkum kisahnya dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
Sekitar tiga bulan setelah Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang, masyarakat pribumi mantan prajurit KNIL yang ditawan Jepang dibebaskan. Karena kondisi sudah aman, Nasution menemui Mr Gondokusumo, tokoh Parindra yang tinggal di Bandung.
Saat itu, Mr Gondokusumo tak hanya melindungi Nasution dengan memberinya tumpangan. Tokoh Parindra tersebut bahkan juga merekomendasikan Nasution pada perwira militer Jepang dengan mengatakan bahwa Nasution adalah orang yang bisa diandalkan untuk melawan Belanda. Jepang percaya-percaya saja pada Mr Gondokusumo yang pernah menyelamatkan pilot Jepang yang pesawatnya jatuh di Sukadingin, Purwakarta.
Tinggal cukup lama di tempat Mr Gondokusumo, tumbuhlah benih-benih cinta di hati Nasution dan Johana Sunarti Gondokusumo, putri dari Mr Gondokusumo. Bahkan, AH Nasution dan Johana Sunarti juga sering main tenis bersama. Hubungan mereka pun berakhir di pelaminan pada Mei 1947.
Karier Militer Setelah Indonesia Merdeka
Menjabat sebagai letnan muda KNIL, menjadikan AH Nasution memiliki pengalaman yang mumpuni dalam bidang militer. Oleh sebab itu, rasanya tidaklah mengherankan jika setelah Indonesia merdeka, kariernya melesat cepat. Penasaran? Berikut informasi lengkapnya dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
1. Karier dalam TKR
Saat Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk pada 22 Agustus 1945, AH Nasution diangkat sebagai penasehat BKR Bandung. Kemudian ketika BKR berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR I/Jawa Barat dengan pangkat kolonel.
Tiga tahun kemudian, AH Nasution diberi jabatan sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan dengan pangkat jenderal mayor. Akan tetapi, karena pelaksanaan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) tahun 1948, maka pangkatnya diturunkan lagi menjadi kolonel, sedangkan jabatannya dialihkan sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Tentara (MBT). Kemudian ia ditugaskan menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD).
2. Karier Semakin Melesat Setelah TKR Menjadi TNI
Pada tanggal 3 Juni 1947, TKR berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Seiring dengan semakin pentingnya peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karier Pak Nas juga semakin melesat. Kalau ingin tahu kisah selengkapnya, simak terus biografi Abdul Haris Nasution ini!
Tanggal 10 Desember 1949, dengan dikeluarkannya Surat Penetapan Kementerian Pertahanan No. 126/MP/1949, AH Nasution yang masih menyandang pangkat kolonel diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Namun, sebagai buntut dari Peristiwa 17 Oktober 1952, AH Nasution bersama beberapa perwira militer lainnya dinonaktifkan dari jabatannya. Sekadar informasi, pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi yang menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap sudah terlalu jauh mencampuri masalah intern Angkatan Darat.
Selama dinonaktifkan, AH Nasution mengisi waktu luangnya dengan giat menulis buku. Tak hanya itu, ia juga mendirikan partai politik yang dinamai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bersama perwira-perwira yang juga dinonaktifkan.
Setelah terjadi perundingan antara perwira yang pro dan kontra terhadap Peristiwa 17 Oktober 1952, ia kembali dicalonkan sebagai KSAD. Akhirnya, pada 7 November 1955, AH Nasution resmi dilantik menjadi KSAD dan pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal mayor.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada Juli 1957 saat dikeluarkannya Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB), di samping jabatannya sebagai KSAD, Jenderal Mayor AH Nasution juga diangkat sebagai Ketua Gabungan Kepala-Kepala Staf Angkatan Perang (GKS).
Kemudian ia menjabat sebagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dan juga diangkat menjadi anggota ex-officio Dewan Nasional dan anggota Panitia Tujuh dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di daerah.
Pada 1958, saat Angkatan Darat melakukan reorganisasi, Jenderal Mayor AH Nasution diangkat sebagai Menteri Keamanan Nasional dan pangkatnya dinaikkan menjadi letnan jenderal.
Empat tahun kemudian, yaitu pada 1962, ia dilantik menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan pangkatnya dinaikkan lagi menjadi jenderal bintang empat (jenderal penuh).
Sepak Terjang Selama Berkarier di Bidang Militer
Pangkatnya yang meningkat dengan pesat dan jabatan tinggi yang diperolehnya tentu saja bukan tanpa alasan. Semua itu memang karena peran dan sumbangsih Pak Nas untuk kedamaian negeri. Nah, berikut rangkuman sepak terjangnya selama berkarier di bidang militer dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
1. Konseptor Perang Gerilya dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda
Tentara Indonesia menggunakan strategi linear ketika menghadapi Belanda dalam Agresi Militer I. Namun, strategi linear cenderung mudah ditembus sehingga pasukan Indonesia terus terdesak mundur.
Kondisi tersebut diperparah dengan persenjataan Indonesia yang kalah canggih dibanding Belanda. Oleh sebab itu, AH Nasution menyarankan untuk menjalankan taktik perang gerilya.
Setelah diterapkan, taktik ini terbukti berhasil membuat Belanda kewalahan sehingga akhirnya melakukan gencatan senjata. Gagasan perang gerilya beserta penerapannya kemudian dituangkan dalam buku berjudul Strategy of Guerilla Warfare yang menjadi buku wajib Akademi Militer di beberapa negara.
2. Konseptor Operasi Penumpasan Pemberontakan PKI 1948
Tak hanya berperan aktif dalam perlawanan menghadapi Belanda, Pak Nas juga berjasa dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan dari dalam negeri. Salah satunya adalah pemberontakan PKI Madiun 1948.
Saat peristiwa makar partai berhaluan kiri tersebut terjadi, Pak Nas menjabat sebagai Wakil Panglima Besar dan anggota Dewan Siasat Militer. Oleh sebab itu, ia diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk membuat konsep operasi penumpasan.
Tak berselang lama, ia pun mengajukan rencana pokok penumpasan PKI yang isinya menyelamatkan Pemerintah, menangkap tokoh-tokoh pemberontakan, dan membubarkan organisasi pendukung maupun simpatisannya, pada Presiden Soekarno.
Setelah disetujui presiden, rencana tersebut kemudian dilaporkan pada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Selanjutnya untuk melaksanakan rencananya, diadakanlah Sidang Dewan Siasat Militer.
3. Mendesak Pemerintah untuk Mengembalikan UUD 1945 sebagai Konstitusi
Tahun 1950 merupakan dekade yang penuh pergolakan bagi Indonesia. Selain banyak terjadi pemberontakan, seperti DI/TII maupun PRRI, pergolakan juga terjadi dalam tubuh parlemen. Penyebabnya karena kabinet dan perdana menteri yang sering berganti.
Ya, semenjak Indonesia menggunakan sistem demokrasi parlementer yang berdasar pada Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kondisi Indonesia mulai tidak stabil. AH Nasution yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat pun sadar bahwa yang cocok untuk Indonesia adalah UUD 1945 sehingga ia mengusulkan pengembalian UUD 1945 sebagai dasar konstitusi Indonesia.
Keinginan tersebut tak kunjung terlaksana. Malah, pada 10 November 1956 terbentuklah Badan Konstituante hasil pemilu 1955 yang ditugasi membuat undang-undang dasar. Namun, hingga terjadinya pemberontakan PRRI tahun 1958, Badan Konstituante masih belum selesai menyelesaikan tugasnya.
Pada 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara untuk menentukan Indonesia kembali pada UUD 1945 atau tidak. Sebanyak 269 suara menyatakan setuju, tapi 199 suara menyatakan tak setuju sehingga pemungutan suara tak memenuhi kuorum.
Meski demikian, terhitung sejak 3 Juni 1959, reses di Konstituante diberlakukan. Dalam kondisi tersebut, AH Nasution langsung mengambil tindakan. Atas nama Pemerintah dan Penguasa Perang Pusat, ia mengeluarkan Peraturan No.prt/Peperpu/040/1959 yang berisi melarang kegiatan politik.
Kemudian pada 5 Juli 1959, dengan dukungan penuh dari PNI (partai yang didirikan Soekarno) dan Angkatan Darat, Presiden Soekarno resmi mengeluarkan dekrit presiden yang isinya kembali memberlakukan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi Indonesia.
4. Pencetus Dasar Konsep Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI adalah konsep yang diterapkan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru. Namun, tahukah kamu, dasar dwifungsi ABRI berdasar pada konsep Jalan Tengah yang dicetuskan Jenderal AH Nasution. Seperti apa konsepnya? Simak terus biografi Abdul Haris Nasution ini!
Pascapengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia, tugas militer bergeser dengan menangani pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dari dalam negeri. Seiring kekacauan dalam negeri juga mulai mereda, secara otomatis, militer sudah tak terlalu dibutuhkan untuk mengatasi peperangan. Oleh sebab itu, Jenderal AH Nasution memperkenalkan konsep jalan tengah.
Konsep jalan tengah ini bermaksud memberikan saluran pada anggota-anggota militer untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan agar dapat turut serta menentukan kebijakan negara atas nama stabilitas nasional.
Sebenarnya konsep ini tak ada salahnya, tapi ketika Orde Baru, Presiden Soeharto mengukuhkannya menjadi Dwifungsi ABRI yang cenderung membuat militer bisa menyalahgunakan kekuasaannya.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Pendiri Apple yang Membangun Kerajaan Bisnisnya dari Nol
5. Berperan dalam Pembebasan Irian Barat
Meski sudah mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata Belanda tak bersedia menyerahkan Irian Barat. Mereka tetap bersikeras mencengkeram wilayah Irian Barat sehingga perseteruan dengan Indonesia pun tak bisa dihindari. Sebagai petinggi TNI AD, Jenderal AH Nasution merupakan orang yang sangat berperan dalam pembebasan Irian Barat. Ini kisahnya dalam biografi Abdul Haris Nasution yang sudah kami rangkum.
Pada 4 Januari 1958 dibentuklah Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang meliputi berbagai unsur, seperti militer, tani, buruh, wanita, dan pemuda. Organisasi yang diketuai oleh Jenderal AH Nasution ini bertugas menggalang kekuatan massa dari tingkat pusat hingga daerah.
Tahun 1961, Jenderal AH Nasution memerintahkan Brigjen Soeharto untuk membentuk pasukan Cadangan Umum Angkatan Darat. Ia juga melancarkan misi diplomatis dengan membeli senjata dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Blok Timur.
Tak hanya itu, ia juga berupaya memengaruhi internal pemerintah Belanda dengan meminta I.J. Kasimo, ketua Partai Katolik Indonesia untuk berunding dengan pimpinan Partai Katolik Belanda.
6. Menghadapi Trik Licik PKI
Meski pernah melakukan pemberontakan pada 1948, secara berangsur-angsur Partai Komunis Indonesia kembali meraih kepercayaan masyarakat Indonesia sehingga mampu menjadi salah satu partai dengan pemilih terbanyak. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika pengaruhnya di segala bidang juga makin menguat.
Sebagai orang yang anti komunis, Jenderal AH Nasution berusaha menghalangi pergerakan PKI. Di bidang militer misalnya, ia membentuk Biro Sejarah yang kemudian berkembang menjadi Pusat Sejarah. Di bidang pers, ia memerintahkan penerbitan Harian Angkatan Bersenjata, Pemberitaan Angkatan Bersenjata, dan Berita Yudha.
Sedangkan dalam bidang politik, ia mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang anggotanya terdiri dari Koperasi Gotong Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI), dan Musyawarah Kerukunan Gotong Royong (MKGR).
Di bidang budaya, dilangsungkanlah Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI). Kemudian di bidang pertahanan, ia menolak konsep Nasakom yang diusulkan PKI pada Soekarno. Demikian pula di bidang teritorial, Pak Nas juga membentuk organisasi Pertahanan Sipil (Hansip), Pertahanan Rakyat (Hanra) dan Resimen Mahasiswa di setiap Universitas.
Menghadapi blokade dari Angkatan Darat tak membuat PKI patah arang. Mereka pun melakukan berbagai upaya dengan menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat yang ingin mengkudeta Soekarno. PKI juga mengadu domba para petinggi militer agar berseteru satu sama lain.
Menjadi Target Peristiwa G30S PKI
Menyebarkan isu yang tidak benar tentang Angkatan Darat dan melancarkan politik adu domba ternyata belum membuat PKI puas. Dalam rangka mewujudkan keinginannya untuk mengubah ideologi Indonesia menjadi komunis, mereka pun nekat menculik dan membunuh para perwira yang dianggap menjadi batu sandungan.
Sebagai petinggi Angkatan Darat yang sangat anti PKI, Jenderal AH Nasution juga menjadi salah satu target yang hendak dibunuh PKI dalam peristiwa G30S 1965. Seperti apa kisah menegangkannya? Simak terus biografi Abdul Haris Nasution ini!
Tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 dini hari, pasukan pemberontak PKI yang memakai seragam Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden), menyebar ke rumah beberapa perwira militer yang sudah menjadi target. Pasukan yang bertugas menculik dan membunuh Pak Nas dipimpin oleh Letnan Arief.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah menaklukkan penjaga di rumah Pak Nas yang berada di Jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta untuk memudahkan proses eksekusi. Karena mendengar suara berisik, Johana Sunarti terbangun dari tidurnya dan berjalan keluar memastikan keadaan rumah. Namun, ia bergegas kembali masuk ketika melihat sekelompok orang berseragam Cakrabirawa sudah berada dalam posisi siap menembak.
Panik, Johana langsung membangunkan Pak Nas yang kemudian juga bermaksud keluar untuk melihat apa yang terjadi. Akan tetapi, tiba-tiba saja seorang tentara menembakkan peluru ke arahnya. Beruntung, ia langsung tiarap sehingga tak terkena tembakan. Sedangkan sang istri dengan sigap langsung menutup pintu kamar.
Takut terjadi sesuatu pada Pak Nas, Johana pun mendorong sang suami untuk keluar lewat pintu lain. Setelah menyusuri koridor, Pak Nas tiba di samping rumah dan memanjat dinding untuk bersembunyi di halaman rumah Kedutaan Besar Irak yang berada di samping rumahnya.
Namun, saat berusaha kabur, seorang tentara melihatnya dan berusaha menembak Pak Nas. Untungnya, tembakan tersebut meleset dan Pak Nas bisa mendarat di halaman Kedutaan Besar Irak meski pergelangan kakinya harus patah. Ia bersembunyi di sana sampai keadaan rumahnya kembali aman.
Tewasnya Lettu Pierre Tendean dan Ade Irma Suryani
Saat ditinggalkan oleh Pak Nas untuk bersembunyi, pasukan Cakrabirawa masih terus berusaha mencarinya. Keributan yang terjadi membuat seisi rumah terbangun. Hendriati Sahara Nasution, putri pertama pasangan Jenderal AH Nasution dan Johana Sunarti menyelamatkan diri dengan cara bersembunyi di bawah tempat tidur yang berada di rumah pondok para ajudan.
Sedangkan Ade Irma Suryani, si bungsu, digendong bibinya untuk berlari menyelamatkan diri bersama Hj Zaharah Lubis ke kamar Pak Nas. Namun, seorang tentara berpangkat kopral yang melihat mereka berlari melepaskan tembakan hingga mengenai punggung Ade Irma Suryani. Ade Irma pun bersimbah darah akibat tiga peluru yang bersarang di tubuhnya.
Melihat anak perempuannya terluka parah, Johana Sunarti langsung menelepon dokter karena takut terjadi sesuatu dengan Ade Irma. Saat sedang menelepon dokter, beberapa tentara masih saja memaksa Johana untuk memberitahukan keberadaan Pak Nas. Namun, Johana bersikeras bahwa Pak Nas tak berada di rumah.
Sementara itu sang pemimpin pemberontakan yang bertugas menculik Pak Nas tampaknya sudah dilanda amarah. Ia kesal karena rekan-rekannya yang lain sudah berhasil mendapatkan targetnya masing-masing, sedangkan ia belum berhasil.
Melihat seseorang yang perawakannya mirip dengan Pak Nas, sang pemimpin pasukan langsung membawa orang yang ternyata adalah Lettu Pierre Tendean, ajudan Pak Nas. Lettu Pierre Tendean dibunuh di lubang buaya bersama perwira lain yang juga belum tewas, untuk kemudian dibuang di sebuah sumur tua.
Sedangkan Ade Irma yang saat itu masih hidup langsung dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk mendapat pertolongan medis. Namun, lima hari kemudian, duka harus menyelimuti keluarga Pak Nas karena bocah lima tahun tersebut kembali ke pangkuan Ilahi.
Sejarah Hubungannya dengan Soeharto
Mungkin kamu sudah tahu bahwa Jenderal AH Nasution memiliki hubungan yang kurang baik dengan Presiden Soeharto. Apa yang melatarbelakanginya? Inilah kisah lengkapnya dalam biografi Abdul Haris Nasution.
Soeharto pernah terjerat kasus penyelundupan bersama pengusaha keturunan Tionghoa, seperti Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, sekitar akhir dekade 1950-an. Hal ini membuat Soeharto menerima tamparan dari Ahmad Yani dan tuntutan pemecatan dari Pak Nas.
Akan tetapi, Soeharto tak jadi dipecat karena dibela Wakil KSAD Jenderal Gatot Subroto yang merupakan ayah angkat Bob Hasan. Menurut Gatot, Soeharto masih bisa dibina sehingga hanya dihukum dengan cara dicopot dari jabatannya dan dikirim ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Sempat memanas, hubungan Pak Nas dan Soeharto mulai harmonis saat bekerja sama menumpas PKI. Setelah terjadinya peristiwa G30S yang membuat tatanan politik di Indonesia berubah drastis, Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967.
Satu tahun kemudian, yaitu pada 1968, Soeharto resmi dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia. Dan orang yang melantiknya adalah Jenderal AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai Ketua MPRS.
Meski demikian, perseteruan keduanya kembali terjadi setelah pada tahun 1969, tiba-tiba Pak Nas dilarang berbicara di Akmil dan kemudian diberhentikan dari dinas militer. Ia pun sempat menjadi oposisi di era Orde Baru. Baru di tahun 1990-an, rekonsiliasi antara Pak Nas dan Soeharto kembali terjadi.
Baca juga: Biografi WR Supratman, Pencipta Lagu Indonesia Raya yang Tidak Merasakan Kemerdekaan Indonesia
Disingkirkan Pemerintah Orde Baru
Jenderal AH Nasution tampaknya memang legowo jika Soeharto yang notabene merupakan bawahannya di Angkatan Darat menduduki kursi presiden. Buktinya, ia tak melakukan manuver politik apa pun, dan justru menjadi orang yang melantik Soeharto sebagai presiden.
Namun, hal yang berbeda ditunjukkan Soeharto yang sepertinya ingin menyingkirkan Pak Nas dari jagat perpolitikan Indonesia. Tetap simak biografi Abdul Haris Nasution ini jika ingin tahu cerita selengkapnya.
Masa-masa awal Soeharto menjadi presiden, Jenderal AH Nasution masih bisa bebas berpolitik. Namun, semuanya mulai berubah semenjak Soeharto membubarkan MPRS yang diketuai Pak Nas pada 1972. Saat Pak Nas menulis buku tentang kesan-kesannya selama menjadi ketua MPRS, Soeharto juga memerintahkan aparat untuk membakar buku-buku tersebut beserta gudangnya.
Untuk mengemukakan pendapat di muka umum pun Pak Nas seperti dihalang-halangi. Soeharto mempersulit Pak Nas untuk memberikan pidato di kampus maupun sekadar mengisi khotbah Jumat. Demikian juga dengan tulisan-tulisan karya Pak Nas, Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) melarang media massa memuat karya-karyanya.
Langkah Pak Nas semakin terjal ketika ia bergabung dengan kelompok Petisi 50 yang bermaksud mengoreksi pemerintahan Orde Baru yang dianggap sudah jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Dianggap berbahaya untuk jalannya pemerintahan Soeharto, Kopkamtib mencekal dan mencabut hak politik para politisi senior dan purnawirawan jenderal yang menjadi anggota Petisi 50.
Tak hanya di dunia politik, rupanya Pak Nas juga seolah-olah dibatasi hubungannya dengan pejabat-pejabat tinggi. Hal ini terlihat dengan dilarangnya Pak Nas untuk menghadiri acara pernikahan anak-anak Gatot Subroto dan Ahmad Yani.
Bahkan saat melayat Adam Malik, Pak Nas didorong Paspampres waktu hendak melaksanakan salat jenazah. Alasannya, karena Umar Wirahadikusuma yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden sudah akan tiba di rumah duka.
Pemerintah juga mempersulit kehidupan pribadi Pak Nas dengan memutus air ledeng di rumahnya sehingga Pak Nas terpaksa harus membuat sumur sendiri. Demikian pula masalah kendaraan, mobil dinas uzur merek Holden Premier yang sudah dipakainya sejak lama juga ditarik secara sepihak.
Penghargaan yang Diperoleh
Menjadi perwira tinggi militer dengan karier dan prestasi yang luar biasa membuat Jenderal AH Nasution banjir penghargaan. Apa saja penghargaan yang telah didapatkannya? Berikut rangkumannya dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
Pak Nas pernah memperoleh penghargaan berupa bintang tanda penghormatan dari dalam maupun luar negeri. Yang dari dalam negeri, misalnya Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satyalencana Kesetiaan, Satyalencana Gerakan Operasi Militer IV, dan masih banyak lagi.
Sedangkan yang dari luar negeri, contohnya Bintang Gajah Putih dari Kerajaan Muangthai, Bintang Bendera Yugoslavia Klas I, Bintang Jasa dari Republik Federasi Jerman, Bintang Kehormatan dari Presiden Filipina, dan lain-lain.
Dari civitas akademika, Pak Nas pernah mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Padjajaran dan Universitas Islam Sumatra Utara. Selain itu, ada juga penghargaan Doktor Honoris Causa dalam bidang Politik Ketatanegaraan dari Filipina.
Dari berbagai lembaga pendidikan dalam maupun luar negeri, ia juga mendapatkan banyak lencana kehormatan. Beberapa di antaranya, yaitu dari Frunze Akademi Uni Soviet, Korps Berlapis Baja Jerman, Korps Kapal Selam Amerika Serikat, dan Korps Kapal Selam Angkatan Laut Republik Indonesia.
Baca juga: Mengenang Sosok Penyair yang Dijuluki Si Binatang Jalang Lewat Biografi Chairil Anwar Ini
Mendapat Gelar Jenderal Bintang Lima
Di Indonesia, pangkat perwira militer tertinggi biasanya mentok di jenderal bintang empat karena pangkat tersebut sudah dirasa cukup untuk menjadi petinggi militer. Namun, tahukah kamu bahwa di Indonesia ada tiga orang jenderal bintang lima? Wah… siapa saja, ya? Berikut uraiannya dalam biografi Abdul Haris Nasution ini.
AH Nasution menjalani masa pensiunnya dengan pangkat jenderal penuh atau bintang empat. Namun, pada tahun 1997 ia resmi mendapatkan gelar yang tak disangka-sangka, yaitu jenderal besar atau bintang lima. Tak sendiri, ia mendapatkan gelar tersebut bersama Soeharto dan Soedirman.
Usut punya usut, yang mengusulkan agar Jenderal AH Nasution mendapatkan pangkat jenderal bintang lima adalah Profesor Salim Said, penulis dan wartawan senior yang mengerti betul sepak terjang Pak Nas di kancah militer.
Namun, ia sadar bahwa sentimen Soeharto terhadap Pak Nas kemungkinan besar membuat Soeharto tak menyetujui rencana tersebut. Untuk menghindari hal tersebut, Salim Said mengusulkan pada petinggi Angkatan Darat agar memberi gelar jenderal bintang lima pada AH Nasution, Soeharto, dan Soedirman dengan alasan peran ketiga orang itu dalam Dwifungsi ABRI.
Setelah melalui beberapa proses, hal tersebut terwujud dengan dikeluarkannya Keppres No. 44/ABRI/1997, Keppress No. 45/ABRI/1997, dan Keppres No. 46/ABRI/1997. Penghargaan diberikan pada 5 Oktober 1997 yang bertepatan dengan hari jadi TNI.
Akhir Hayat
Tibalah di akhir kisah Abdul Haris Nasution dalam biografi ini. Setelah lolos dari maut dalam peristiwa G30S, Jenderal AH Nasution masih diberi umur oleh Tuhan untuk menikmati hidup sampai tahun 2000. Ya, jenderal bintang lima tersebut meninggal menjelang usia 82 tahun, tepatnya pada 6 September 2000 di RSPAD Gatot Subroto karena sakit diabetes dan stroke.
Meski di masa pascapensiun namanya seolah tak terdengar karena dibatasi Soeharto, Abdul Haris Nasution tetap dikenal sebagai orang yang sangat berjasa bagi kedamaian bangsa. Tak hanya nasionalis, ia juga merupakan sosok yang religius, dan sayang keluarga.
Manfaat Membaca Biografi Abdul Haris Nasution
Itu tadi adalah biografi Abdul Haris Nasution yang sudah kami rangkum secara lengkap mulai dari masa kecil, karier militer, hubungan buruknya dengan PKI dan Soeharto, hingga akhir hayatnya. Apakah kamu sudah puas dengan sajian di atas?
Ada banyak pelajaran yang bisa kamu peroleh dengan membaca biografi Abdul Haris Nasution ini. Salah satunya adalah bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Jika Tuhan berkehendak, kamu bisa kehilangan segala hal yang berharga dalam sekejap. Oleh sebab itu, jangan lupa untuk selalu bersyukur, ya.
Nah, jika kamu ingin mendapatkan motivasi atau inspirasi dengan membaca biografi tokoh-tokoh selain Abdul Haris Nasution, simak terus KepoGaul.com. Tak hanya tentang tokoh, ada juga informasi menarik lain, seperti tentang informasi seleb yang sedang viral, tempat-tempat wisata menarik, resep-resep masakan favoritmu, dan masih banyak lagi.