
Ahmad Yani. Mungkin kamu pernah mendengar nama tokoh pahlawan yang satu ini dijadikan sebagai nama fasilitas publik, seperti bandara, jalan raya, dan masih banyak lagi. Namun, tahukah kamu tentang kisah lengkap sang jenderal yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat ini? Jika penasaran, simak biografi Ahmad Yani di sini!
Partai Komunis Indonesia (PKI). Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia pernah mendengar tentang partai yang pernah menyebabkan tragedi 30 September 1965 ini. Nah, dalam uraian berikut, kami akan menyajikan biografi Jenderal Ahmad Yani, salah satu perwira TNI Angkatan Darat yang menjadi korban keganasan partai berhaluan kiri tersebut.
Tak hanya seputar hubungan buruknya dengan PKI saja, dalam biografi Jenderal Ahmad Yani berikut, kamu juga bisa mendapatkan informasi mengenai perjuangan prajurit asal Purwokerto ini selama masa penjajahan. Ya, karena memang lahir saat Belanda masih menjajah bumi pertiwi, jadi ia merasakan benar bagaimana sulitnya hidup di bawah jajahan bangsa lain.
Terutama untuk kamu yang lahir di atas tahun 1970-an, kami sangat merekomendasikan biografi Jenderal Ahmad Yani ini untuk dibaca. Sebab, jika bukan kita yang memahami dan menghargai jasa para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedamaian Indonesia, lantas siapa lagi?
Jadi, bagaimana? Apakah kamu tertarik untuk membaca biografi Jenderal Ahmad Yani? Jika ya, tunggu apalagi, yuk, langsung simak artikel ini sampai selesai! Selamat membaca.
Kehidupan Pribadi
Pernah menjabat sebagai petinggi TNI Angkatan Darat, Ahmad Yani tidaklah terlahir dari keluarga bangsawan atau kaya raya. Penasaran dengan latar belakangnya? Simak terus biografi Ahmad Yani ini!
1. Masa Kecil dan Keluarga
Ahmad Yani lahir di daerah Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922. Ayah Ahmad bernama Sarjo bin Saharjo, sedangkan ibunya bernama Murtini. Ahmad juga memiliki dua orang adik perempuan yang masing-masing bernama Asmi dan Asiha.
Wongsoredjo, klan keluarga Ahmad Yani secara turun temurun bekerja di pabrik gula yang dimiliki oleh orang Belanda. Nah, pada saat lahir, sebenarnya Ahmad Yani hanya diberi nama Achmad, tapi majikan orang tuanya yang bernama Hulstyn, memberi tambahan nama Yani di belakang Achmad.
2. Pendidikan
Ahmad menempuh pendidikan sekolah dasarnya di Hollands Inlandse School (HIS) yang terletak di daerah Purworejo atas bantuan dari Hustlyn. Belum selesai pendidikannya di HIS Purworejo, orang tuanya pindah ke Magelang sehingga secara otomatis, sekolahnya juga pindah ke Magelang. Belum lulus, lagi-lagi Ahmad pindah sekolah, kali ini di Kota Bogor. Nah, di kota yang dikenal dengan julukan Kota Hujan ini, ia menamatkan HIS-nya pada tahun 1935.
Lulus dari HIS, Ahmad melanjutkan pendidikannya yang setara sekolah menengah pertama di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) Bogor. Tidak pindah-pindah seperti semasa di HIS, Ahmad juga menamatkan MULO-nya di Bogor. Tak tanggung-tanggung, ia juga meraih nilai terbaik dalam ujian kelulusan.
Berkat nilainya yang bagus, Ahmad bisa melanjutkan sekolahnya di Algemeene Middelbare School/AMS (sekolah di zaman Belanda yang setara SMA) Jakarta dengan mudah. Hanya saja, ia tak sempat menyelesaikan pendidikannya di AMS karena lebih memilih mendaftarkan diri dalam pendidikan militer yang berada di Malang akibat pecahnya Perang Dunia II.
3. Kisah Asmara
Walaupun tumbuh dalam masa sulit, Ahmad Yani juga memiliki kisah cinta yang manis. Ya, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Yayuk Ruliah Sutodiwiryo ketika mengikuti kursus mengetik. Saat itu, Yayuk berstatus sebagai guru mengetik. Namun, pertemuan Ahmad dan Yayuk di tempat kursus itu bukanlah awal dari kisah cinta mereka berdua karena tiba-tiba saja, Ahmad menghilang dan tak menghadiri tempat kursus selama dua bulan.
Ahmad dan Yayuk kembali bertemu dalam acara penyambutan para perwira remaja Purworejo. Setelah pertemuan dalam acara tersebut, barulah mereka berdua menjalin hubungan cinta.
Meski demikian, Ahmad dan Yayuk harus menjalani hubungan jarak jauh alias LDR karena pekerjaan Ahmad yang mengharuskannya berpindah-pindah tempat. Untuk membunuh rindu, mereka pun seringkali saling mengirimkan surat cinta. Akan tetapi, jika jaraknya memungkinkan, Ahmad lebih memilih menemui kekasihnya secara langsung daripada hanya lewat surat.
Pernah suatu hari, Ahmad sedang bertugas di Prembun, Kebumen. Jarak antara Prembun dengan Purworejo adalah sekitar 30 km. Namun, dengan penuh tekad, Ahmad mengayuh sepeda ontelnya dari Prembun ke Purworejo hanya untuk menemui sang kekasih. Padahal, Prembun-Purworejo jika ditempuh dengan kendaraan bermotor saja bisa memakan waktu sekitar 45 menit. Kebayang, dong, betapa lamanya jika menempuh jarak 30 km dengan naik sepeda ontel?
Perjalanan Ahmad dan Yayuk memang bisa dibilang tidaklah mudah. Namun, mereka akhirnya bisa bersatu sebagai sepasang suami istri pada tanggal 5 Desember 1944. Dari pernikahan tersebut, mereka berdua dikaruniai enam putri dan dua putra. Kedelapan putra-putri mereka, yaitu Amelia Achmad Yani, Elina Lilik Elastria, Widna Ani Andriani, Reni Ina Yuniati, Indria Ami Rulliati, Herlia Emmy Rudiati, Untung Mufreni, dan Irawan Sura Eddy.
4. Skandal Cinta Ahmad Yani
Mungkin kamu sudah tidak asing dengan kabar berita para pejabat tinggi yang memiliki selingkuhan, istri simpanan, atau sekadar bermain-main dengan wanita cantik. Nah, pada masa pemerintahan Soekarno pun, rupanya hal yang demikian juga terjadi.
Maraknya kasus perselingkuhan para petinggi negara, khususnya di kalangan perwira Angkatan Darat, membuat Jenderal Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat resah. Saking geramnya, ia bahkan menerapkan peraturan bahwa prajurit Angkatan Darat dilarang memiliki istri kedua tanpa izin komandan dan istri pertamanya.
Aturan ini rupanya membuat beberapa petinggi tak senang sehingga mereka memancing Ahmad Yani dengan menggunakan wanita cantik yang masih belia, Khadijah namanya. Strategi tersebut kemudian berhasil karena Ahmad Yani menjalin hubungan kasih dengan perempuan yang katanya masih SMA itu.
Menurut kabar yang beredar, Ahmad Yani akhirnya menikahi Khadijah. Namun, Yayuk yang merupakan istri pertama Ahmad Yani tidak diceraikan sehingga Khadijah berstatus sebagai istri kedua. Dengan menikahi Khadijah, maka Ahmad Yani telah melanggar peraturan yang sudah dibuatnya sendiri.
Tindakan petinggi militer yang memiliki istri simpanan membuat Jenderal Abdul Haris Nasution geram. Jenderal yang dikenal anti poligami ini bahkan pernah berdebat dengan beberapa petinggi militer, termasuk Ahmad Yani perihal masalah poligami.
Ketika ditanya mengenai kabar istri simpanan ayahnya, Amelia Achmad Yani, putri Ahmad mengatakan bahwa misal pun benar-benar terjadi, maka itu adalah hal yang wajar. Menurut Amelia, sang ayah merupakan pria tampan berperawakan tegap yang memiliki karisma luar biasa, jadi wajar saja jika ada wanita yang tergila-gila dengan ayahnya. Masih menurut Amelia, sewaktu kecil, ia dan saudara-saudaranya seringkali membaca surat cinta dari wanita-wanita yang jatuh cinta pada Ahmad.
Baca juga: Mengenang Sosok Penyair yang Dijuluki Si Binatang Jalang Lewat Biografi Chairil Anwar Ini
Karier Militer Masa PraKemerdekaan
Bakat kemiliteran Ahmad Yani sudah mulai tampak sejak belia. Bahkan, prajurit-prajurit militer Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia pun mengakui bahwa Ahmad memiliki bakat di bidang militer yang luar biasa. Penasaran dengan kisahnya, kan? Langsung saja simak karier militer Ahmad Yani sebelum proklamasi kemerdekaan dalam biografi ini!
1. Masa Penjajahan Belanda
Ahmad Yani memutuskan keluar dari AMS dan menjalani pendidikan militer di Dinas Topografi Militer Belanda pada tahun 1941. Setelah enam bulan menjalani pendidikan di tempat latihan militer yang terletak di Malang, Jawa Timur tersebut, Ahmad Yani akhirnya lulus dan mendapatkan pangkat Sersan Cadangan Bagian Topografi dan ditugaskan di Bandung.
Saat berada di Bandung, atasannya menilai bahwa Yani mampu melaksanakan tugas dengan baik sehingga ia dikirim ke Bogor untuk menjalani latihan militer yang lebih intensif. Setelah pendidikannya di Bogor selesai, Yani dikembalikan lagi ke Bandung untuk bertugas di sana.
2. Masa Penjajahan Jepang
Pada tahun 1942, saat pasukan Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda tahun 1942, Ahmad Yani yang sedang bertugas di Bandung juga ikut ditangkap bersama para prajurit Belanda. Ia ditawan di kamp tawanan Cimahi dan dibebaskan beberapa bulan kemudian. Setelah peristiwa itu, untuk sementara ia pulang ke Purworejo dan hidup menganggur.
Satu tahun kemudian, tepatnya pada 1943, Yani mendaftarkan diri menjadi juru bahasa untuk orang-orang Jepang. Namun saat menjalani tes, Obata, perwira Jepang yang mengetes para pelamar kerja, malah menyarankan Yani untuk mendaftar menjadi prajurit militer karena melihat ada bakat militer yang besar dalam diri Yani.
Menuruti saran Obata, Yani akhirnya mengikuti pendidikan shodanco di Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) Bogor, Jawa Barat. Setelah empat bulan menjalani latihan yang berat, Yani lulus dengan gemilang dan mendapatkan predikat sebagai siswa terbaik. Pada acara penutupan pelatihan, ia diberi penghargaan berupa pedang samurai. Selesai latihan, Yani ditempatkan di Magelang sebagai Komandan Seksi I Kompi 3 Batalyon 2.
Karier Militer Masa Setelah Kemerdekaan
Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia, Yani masih tetap berkarier di dunia militer. Bahkan, kariernya semakin hari semakin menanjak. Kalau penasaran dengan sejarah perjalanan Ahmad Yani hingga bisa menjadi Jenderal, yuk, lanjut simak biografi ini!
1. Masa Kejatuhan Jepang
Dua hari setelah Presiden Soekarno mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jepang membubarkan semua organisasi militer buatan mereka dan melucuti senjata para tentara yang tergabung di dalamnya. Pembubaran ini dilakukan untuk mencegah tentara-tentara tersebut melakukan serangan balik terhadap Jepang.
Meski setelah pelucutan senjata para tentara diminta pihak Jepang untuk pulang ke kampung halaman masing-masing, Ahmad Yani tak mengikuti perintah tersebut. Ia justru mengumpulkan kembali anak buahnya dan pemuda-pemuda lain hingga terhimpunlah kekuatan sebanyak satu batalyon. Setelah pemerintah Indonesia membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), pasukan bentukan Yani dimasukkan ke dalamnya.
Pada bulan September 1945, pasukan Yani ikut menangani kerusuhan yang dipicu kemarahan para pemuda karena Jepang menurunkan bendera Merah Putih yang dikibarkan di puncak Bukit Tidar, Magelang. Setelah insiden tersebut, pasukan bentukan Yani juga turut terlibat dalam peristiwa perebutan senjata di Hotel Nataka yang menjadi tempat tinggal utama orang-orang Jepang di Magelang.
Tanggal 5 Oktober 1945, saat BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), pasukan bentukan Yani dijadikan Batalyon 4, dan ia diangkat menjadi komandan batalyon. Batalyon 4 menjadi bagian dari Resimen 14 yang berkedudukan di Magelang dan dipimpin Kolonel Sarbini. Sedangkan Resimen 14 sendiri tergabung dalam Divisi V yang berkedudukan di Purwokerto dan dipimpin oleh Kolonel Soedirman.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Pendiri Apple yang Membangun Kerajaan Bisnisnya dari Nol
2. Masa Agresi Militer Belanda
Pada 19 Oktober 1945, pasukan Sekutu mendarat di Semarang. Setelah itu, mereka mulai menyebar ke berbagai kota, termasuk Magelang, untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan Jepang. Akan tetapi, pascatugas tersebut selesai, mereka tak kunjung pergi dan malah mempersenjatai orang-orang Belanda untuk bersama-sama menyerang pasukan Indonesia.
Dalam bentrokan tersebut, pasukan Yani bersama tentara Indonesia lainnya yang tergabung dalam Resimen 14 berhasil mengalahkan Sekutu yang terpaksa bertahan di Benteng William I Ambarawa. Kemudian mulai 12 Desember hingga 15 Desember 1945, Kolonel Soedirman memerintahkan semua anggota Resimen 14 untuk melancarkan serangan serentak sehingga pasukan Sekutu pun berhasil dipukul mundur ke Semarang.
Setelah peristiwa tersebut, pasukan Yani menjadi bagian dari Resimen 19 Brigade Nusantara Divisi III yang daerah operasinya berada di sekitar Semarang. Sewaktu Agresi Militer I Belanda pecah pada 21 Juli 1947, pasukan Yani diberi tugas untuk menghalangi Belanda yang mendarat di Semarang agar tak bisa bergerak ke arah selatan. Pertempuran pun berlangsung sengit hingga pada 25 Agustus 1947 pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat untuk melakukan gencatan senjata.
Pada September 1948, Yani diangkat menjadi letnan kolonel dan diberi jabatan sebagai Komandan Brigade Diponegoro Divisi III. Brigade yang dipimpin olehnya terdiri dari tiga batalyon, yaitu Batalyon Suryosumpeno, Batalyon Panuju, dan Batalyon Daryatmo.
Tak berselang lama setelah pengangkatannya sebagagi komandan brigade, Belanda melancarkan Agresi Militer kedua, tepatnya pada 19 Desember 1948. Magelang yang menjadi markas brigade pimpinan Yani diserang Belanda dari tiga arah, yaitu Yogyakarta, Purworejo, dan Ambarawa.
Tak ingin tertangkap, Yani pun memerintahkan anak buahnya agar membumihanguskan Magelang untuk kemudian melancarkan perang gerilya. Perang menghadapi pasukan Belanda ini berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.
3. Menghadapi Pemberontakan PKI 1948
Beberapa hari setelah diangkat menjadi letnan kolonel, tepatnya pada 18 September 1948, terjadi pemberontakan di Kota Madiun yang dilakukan Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR sendiri merupakan gabungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Pada hari itu juga di Madiun, FDR memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Selain di Madiun, rupanya FDR juga mengumumkan hal yang sama di Pati Jawa Tengah. Nah, untuk menumpas para pemberontak berhaluan kiri di daerah sekitar Grobogan, Ahmad Yani mengirimkan Batalyon Suryosumpeno. Pemberontakan partai-partai berhaluan kiri ini berakhir dengan tertangkapnya dan terbunuhnya para petinggi partai, seperti Musso dan Amir Sjarifuddin.
4. Menghadapi Pemberontakan-Pemberontakan Lainnya
Pemberontakan selanjutnya yang ditangani pasukan Ahmad Yani adalah gerombolan bersenjata yang dipimpin Kyai Somolangu. Tak berhenti sampai di situ, lagi-lagi ia harus menghadapi pemberontakan Batalyon 426 yang dipimpin Mayor Munawar dan Kapten Alip di Kudus.
Sementara itu, di sekitar Brebes dan Pekalongan, kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) juga membuat kerusuhan. Untuk menghadapi DI/TII, Letnan Kolonel Ahmad Yani melatih Kompi Yasir dan Kompi Pujadi di Battle Training Center Purworejo. Dengan dikerahkannya dua kompi yang sudah terlatih untuk menghadapi DI/TII, wilayah yang dikuasai DI/TII jadi makin sempit hingga akhirnya bisa ditumpas sampai bersih.
Setelah melihat kemampuan Ahmad Yani dalam menangani berbagai pemberontakan, pimpinan Angkatan Perang di Jakarta memutuskan untuk menyekolahkan Yani ke Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Amerika Serikat, ia diberi jabatan sebagai Asisten II (Operasi) di Markas Besar Angkatan Darat. Tak lama setelah itu, ia dijadikan Deputy I (Operasi) dan pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Pada 12 April 1958, Yani menggunakan ilmu yang didapatnya di Amerika Serikat tentang operasi gabungan dalam rencana penumpasan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Barat. Tak lama setelah itu, Yani dan pasukan yang dipimpinnya berhasil menduduki kota-kota penting di Sumatra Barat, dan PRRI berhasil dilumpuhkan.
Baca juga: Biografi Nelson Mandela, Presiden Kulit Hitam Pertama Afrika Selatan
5. Diangkat Menjadi Kepala Staf Angkatan Darat
Setelah berhasil menuntaskan tugasnya di Sumatra Barat, Kolonel Ahmad Yani diangkat menjadi Deputi II (Pembinaan) di Markas Besar Angkatan Darat. Tak hanya itu, ia juga diberi tugas sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk daerah Indonesia Bagian Timur.
Meski sudah memperoleh jabatan yang tinggi, karier Yani masih terus menanjak hingga pangkatnya pun dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Satu tahun setelah kenaikan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal, pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Letnan Jenderal. Tak hanya itu, pada 23 Juni 1962, ia resmi menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Kisah Pertemuan Yani dengan Prajurit yang Pernah Membelanya
Ahmad Yani adalah sosok perwira yang dikenal tegas dan bijaksana. Bahkan, ketika menjabat sebagai KSAD, ia pernah mengadakan inspeksi ke seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Irian Barat. Ya, kegiatan tersebut, menurut salah seorang ajudan Yani, memang sesuatu yang jarang dilakukan oleh KSAD. Oleh karenanya, kamu wajib membaca biografi ini untuk mendapatkan inspirasi dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang murah hati.
Nah, ada yang menarik dalam kunjungan Yani ke Ambon yang bertepatan dengan 40 hari sebelum kematiannya. Pada saat itu, ia sedang menatap para prajurit yang melaksanakan parade dengan penuh perhatian. Tiba-tiba, ia memanggil seorang prajurit peniup terompet bernama Lupis dan bertanya, apakah Lupis pernah melihatnya atau tidak. Namun, Lupis menjawab tidak sehingga diizinkan Yani untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Lupis disusul oleh polisi militer dan diminta kembali menghadap Yani. Saat sudah bertemu, Yani bertanya, bekerja di manakah Lupis pada zaman Belanda. Kemudian Lupis menjawab bahwa ia bekerja di Semarang sebagai anggota militer Belanda.
Yani lalu meminta Lupis untuk mengingat-ingat tentang seorang anak kecil yang menyusul sang ayah yang bekerja sebagai sopir. Lupis pun berkata bahwa ia ingat anak kecil yang memaki-maki prajurit Belanda karena sang ayah dimarahi. Si prajurit Belanda yang marah pun memukul si anak kecil dan Lupis yang melihat peristiwa itu merasa emosi sehingga ia menyerang si prajurit Belanda.
Akibat insiden itu, Lupis mengatakan bahwa dirinya dipenjara selama dua bulan dan pangkatnya diturunkan dua tingkat. Sejak saat itu, Lupis masih terus teringat bahwa nama anak kecil yang dibelanya adalah Achmad. Seketika itu juga, Yani berkata bahwa ia adalah anak kecil tersebut.
Mengetahui hal itu, Lupis sampai kehabisan kata-kata hingga akhirnya memeluk dan bersujud di hadapan Yani. Karena tak membawa apa-apa sebagai hadiah, Yani menghadiahkan jam tangan Rolex dan jaket yang selalu ia kenakan dalam setiap pertemuan menumpas PRRI. Kisah yang sangat mengharukan, bukan?
Sangat Suka Berolahraga
Tentu saja Biografi Ahmad Yani ini isinya tak hanya melulu tentang karier cemerlang sang letnan jenderal di bidang militer. Sebab, ternyata ia juga memiliki aktivitas yang sama dengan orang kebanyakan, yaitu gemar berolahraga. Ingin tahu olahraga apa saja yang disukai Ahmad Yani? Berikut uraian lengkapnya!
Sebagai petinggi militer di masa awal kemerdekaan, tentu saja Ahmad Yani selalu disibukkan dengan berbagai urusan. Namun, ketika memiliki waktu senggang, ia tak pernah lupa menikmatinya dengan cara berolahraga.
Hobi olahraga itu tak muncul begitu saja saat ia sudah dewasa, melainkan sudah ada sejak Yani bersekolah di HIS. Menurut Amelia Achmad Yani, sang ayah mengatakan bahwa dahulu ia sangat menyukai olahraga renang, lempar cakram, lempar lembing, dan cabang-cabang atletik lainnya.
Ketika masa penjajahan Jepang, Yani juga mulai tertarik dengan Kendo, olahraga beladiri asal Jepang. Bahkan, masih menurut Amelia, Yani sangat lihai memainkan samurai dengan teknik-teknik yang ada dalam beladiri Kendo.
Saat Indonesia merdeka, Yani tetap menggemari olahraganya, tapi kali ini olahraga favoritnya adalah tenis, sepak bola, dan renang. Tak ketinggalan, Yani juga suka dengan olahraga golf yang terkenal mahal karena biasanya hanya bisa dinikmati oleh petinggi negeri dan orang-orang kaya saja.
Ironisnya, golf menjadi olahraga terakhir sebelum Yani menemui ajalnya. Ya, siang sebelum terjadinya peristiwa G30S, ia latihan golf dengan ditemani Bob Hasan. Selesai bermain golf, Yani pun berpesan pada sopir pribadinya untuk membersihkan dan menyimpan alat-alat golf yang baru saja digunakannya. Rupanya, itu adalah kali terakhir ia bisa menikmati golf.
Baca juga: Biografi Albert Einstein, Ilmuwan Fisika yang Suka Musik
Perseturuan dengan Partai Komunis Indonesia
Letnan Jenderal Ahmad Yani adalah orang yang sangat pancasilais dan sangat menentang orang-orang yang ingin mengubah ideologi bangsa, seperti PKI (Partai Komunis Indonesia). Namun, bagaimana bisa ia menjadi korban keganasan PKI dalam tragedi G30S? Berikut ulasan singkatnya dalam biografi Ahmad Yani ini.
Saat Yani menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, PKI mulai kembali dipercaya oleh para petinggi negara. Penyebabnya, mereka selalu menampakkan diri sebagai partai yang nasionalis, misalnya saja dengan mendukung pemerintahan Indonesia untuk membasmi PRRI. Namun, di balik sikap manis yang ditunjukkan, mereka ternyata menyusun rencana untuk memberontak.
Sadar bahwa mengubah ideologi bangsa Indonesia bukanlah perkara mudah, mereka pun mendekati Presiden Soekarno dan berusaha mendapatkan kepercayaan sang presiden. Tak sia-sia, strategi itu membuat mereka berhasil memengaruhi Soekarno untuk menerapkan politik balance of power yang menjadikan posisi partai politik seimbang dengan ABRI.
Sementara itu, meski mengetahui niat jahat PKI, Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat sebagai KSAD harus taat dengan keputusan Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Sepak terjang PKI tak berhenti sampai di situ. Karena merasa bahwa Angkatan Darat bisa menghalangi rencana besar PKI, mereka pun berusaha mengacaukan Angkatan Darat dengan cara menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat yang bertugas menilai kebijaksanaan politik Soekarno. Mereka juga menyebarkan isu bahwa Angkatan Darat bekerja sama dengan angkatan perang negara asing untuk menggulingkan Presiden Soekarno.
Memanfaatkan isu panas tersebut, PKI membujuk Soekarno untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Yani yang khawatir bahwa Angkatan Kelima akan digunakan PKI untuk merebut kekuasaan, seperti yang sudah terjadi di Rusia dan RRC, menolak mentah-mentah usulan tersebut.
Sebab rencana pertamanya tak begitu sukses gara-gara Angkatan Darat, PKI mulai berusaha mengadu domba antara perwira satu dengan perwira yang lain. Tak hanya itu, mereka juga berusaha mengadu domba angkatan satu dengan lainnya. Dengan demikian, perwira militer pun terpecah menjadi dua kubu, yang satu membela PKI, dan yang satu menentang PKI.
Firasat
Kamu tentu pernah mendengar bahwa orang yang hendak meninggal, seringkali mengucapkan atau melakukan sesuatu yang terasa janggal. Hal yang sama juga terjadi pada mantan KSAD ini. Bagaimana ceritanya? Baca terus biografi Ahmad Yani berikut!
Menurut kepala sekolah tempat putra-putri Yani bersekolah, beberapa minggu sebelum insiden penembakannya, Yani pernah mengatakan bahwa PKI tidak akan membuat Republik Indonesia menjadi negara komunis, kecuali melalui mayatnya.
Kejadian yang ganjil kembali terjadi pada 30 September 1965 siang. Ya, tak sampai 24 jam sebelum kematiannya. Saat itu, Yani pulang ke rumah dinasnya yang berada di Jalan Lembang Terusan Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat dan disambut keempat putrinya di depan pintu.
Sementara sang istri berada di dapur untuk menyiapkan makan siang, Yani bercengkrama dengan keempat anaknya di minibar yang terletak di seberang meja makan. Ia meminta anak-anaknya untuk membolos sekolah pada tanggal 5 Oktober agar bisa menyaksikan parade peringatan hari ulang tahun TNI. Keempat putrinya pun menyetujui usul Yani dengan wajah sumringah.
Mereka terus ngobrol dengan asyiknya hingga secara tak sengaja, parfum oleh-oleh Yani dari luar kota yang berada di atas bar jatuh dan isinya tumpah. Oleh Yani, minyak wangi yang tumpah itu dioleskan ke tangan dan badan keempat putrinya sambil berkata dalam bahasa Jawa, “Jika ditanya orang dari mana wanginya, bilang saja wanginya dari Bapak”.
Baca juga: Mengenal Sosok Kartini dari Minahasa Melalui Biografi Maria Walanda Maramis
Wafatnya Sang Letnan Jenderal
Pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 hingga 05.00 subuh, ketenangan rumah Ahmad Yani terusik dengan kehadiran sejumlah prajurit Cakrabirawa (pengawal istana kepresidenan) yang membuat kegaduhan. Kedatangan mereka awalnya tak dicurigai sama sekali karena sebagai Panglima Angkatan Darat, merupakan suatu hal yang wajar jika Yani harus berurusan dengan pengawal presiden. Padahal sebenarnya, prajurit Cakrabirawa yang masuk ke rumah Yani sudah disusupi PKI.
Saat itu, Mbok Millah, pembantu rumah tangga Yani, diminta para prajurit Cakrabirawa untuk membangunkan Yani, tapi Mbok Millah tidak berani sehingga yang membangunkan Yani adalah Eddy, anak bungsunya. Setelah bangun, ia segera menemui prajurit Cakrabirawa yang mengatakan bahwa Yani diminta untuk segera menghadap presiden ke istana.
Karena baru saja bangun, ia meminta waktu untuk mandi dan bersiap-siap. Namun, prajurit Cakrabirawa melarangnya karena perintah untuk menghadap bersifat darurat. Mendengar hal tersebut, Yani mengurungkan niatnya untuk mandi dan hanya minta waktu untuk sekadar membasuh wajah. Namun, prajurit Cakrabirawa juga melarangnya untuk membasuh wajah sehingga membuat Yani naik pitam dan memukul salah satu prajurit.
Saat Yani berbalik untuk bersiap-siap, salah seorang prajurit menembaknya hingga roboh bersimbah darah di antara meja makan dan minibar, tempat ia dan putri-putrinya bercengkrama beberapa jam sebelumnya. Para prajurit Cakrabirawa langsung menyeret tubuh Yani dan dilemparkan ke dalam truk untuk kemudian dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Ahmad Yani beserta lima jenderal TNI AD lain dan satu orang kapten yang sudah mereka habisi, yaitu Mayjen R. Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen Suparman, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, Brigjen DI Pandjaitan, dan Kapten Piere Tendean, dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua yang ada di daerah Lubang Buaya.
Dimakamkan di Hari Jadi TNI
Sumur yang menjadi tempat pembuangan jenazah para perwira Angkatan Darat ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965. Namun, barulah pada 5 Oktober 1965 yang bertepatan dengan Hari Jadi TNI yang ke-20, jenazah-jenazah para perwira itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Jakarta Selatan.
Ya, hari itu, anak-anak Letnan Jenderal Ahmad Yani memang bolos sekolah seperti permintaan sang ayah. Namun, bukan untuk melihat parade Hari Jadi TNI, melainkan untuk mengantarkan Yani ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Letnan Jenderal Ahmad Yani kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 111/ Koti/1965 tanggal 5 Oktober 1965. Secara anumerta, pangkatnya juga dinaikkan menjadi jenderal. Tak hanya itu, untuk mengenang para perwira yang menjadi korban keganasan PKI, pemerintah Republik Indonesia membangun Tugu Kesaktian Pancasila.
Hikmah Membaca Biografi Ahmad Yani
Itu tadi adalah biografi lengkap Jenderal Anumerta Ahmad Yani, mulai dari kisah masa kecilnya, latar belakang keluarga, kisah asmara, perjalanan karier, hingga akhir hidupnya. Apakah kamu sudah merasa puas dengan sajian tersebut?
Meski sebenarnya perihal kematian para perwira TNI Angkatan Darat yang katanya gara-gara PKI masih kontroversial, mari kita ambil hikmah dari kepribadian dan segala kesuksesan yang dicapai Ahmad Yani saja. Ya, jika kamu perhatikan kisah Ahmad Yani yang ada dalam biografi ini, ia adalah sosok yang tegas, pantang menyerah, dan bijaksana.
Tak hanya itu, ia juga sosok yang perhatian dan tak pernah melupakan jasa orang lain. Sikap-sikap tersebut membuat ia menjadi sosok yang dihormati sekaligus dicintai orang-orang di sekitarnya.
Nah, jika kamu ingin membaca biografi tokoh-tokoh selain Ahmad Yani, baca terus KepoGaul.com. Tak hanya tentang tokoh, banyak juga artikel yang membahas mengenai film, kuliner, hingga seleb-seleb yang sedang viral.