
Ibnu Sina atau yang juga terkenal dengan nama Avicenna merupakan ilmuwan muslim asal Persia yang perkara ideologinya masih menjadi kontroversi. Nah, jika kamu selama ini juga penasaran tentang kenyataan yang sebenarnya mengenai cendekiawan yang dijuluki Bapak Kedokteran Modern ini, simak biografi Ibnu Sina berikut!
- Nama
- Hussain bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina
- Tempat, Tahun Kelahiran
- Afsyanah, 980 Masehi
- Meninggal
- 21 Juni 1037
- Warga Negara
- Persia
- Pasangan
- -
- Orangtua
- Abdulla (Ayah), Setareh (Ibu)
- Profesi
- Dokter
Bicara tentang sosok ilmuwan muslim, Ibnu Sina adalah salah satu yang paling terkenal. Namun, banyak yang hanya tahu sekilas tanpa memahami yang sebenarnya tentang cendekiawan yang lahir pada tahun 980 ini. Nah, jika kamu ingin tahu tentangnya, berikut kami sajikan profil dan biografi Ibnu Sina.
Ada informasi mengenai masa kecil dan latar belakang Ibnu Sina. Ada juga ulasan tentang karya besarnya yang membuat ia bisa mendapatkan julukan sebagai Bapak Kedokteran Modern.
Dan yang mungkin paling membuat banyak orang penasaran, ada juga pembahasan mengenai ideologi Ibnu Sina di biografi ini. Bagaimana tidak, selama ini banyak berita simpang siur tentangnya. Ada yang bilang ia atheis, tapi ada juga yang mengatakan bahwa ia Syiah.
Jadi, bagaimana? Apakah kamu juga termasuk salah satu orang yang penasaran banget tentang sosok Ibnu Sina? Jika ya, tunggu apalagi? Langsung saja simak biografi Ibnu Sina di artikel ini sampai selesai. Selamat membaca!
Kehidupan Pribadi
Sebelum membahas tentang karya-karya maupun perdebatan mengenai ideologi Ibnu Sina, mari kita bahas mengenai latar belakang keluarganya dahulu. Mau tahu? Ini dia ulasannya dalam biografi Ibnu Sina berikut.
Hussain bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina lahir di Afsyanah, sebuah daerah yang berada di dekat Bukhara (sekarang menjadi Uzbekistan) pada tahun 980 Masehi. Ia merupakan buah cinta dari pasangan Abdullah dan Setareh.
Abdullah adalah seorang sarjana dari Balkh Khorasan yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan Dinasti Samaniyah. Dinasti yang menginduk pada Dinasti Abbasiyah di Baghdad tersebut berkuasa sekitar tahun 819 hingga 999 Masehi. Sedangkan Setareh, ibu Ibnu Sina, merupakan wanita asli Bukhara.
Sebagai seorang yang bekerja pada pemerintah, Abdullah memiliki harta berkecukupan dan kenalan orang-orang cerdas dari lintas bidang ilmu, baik ilmu duniawi maupun ilmu agama. Abdullah seringkali mengundang cendekiawan-cendekiawan kenalannya ke rumah agar bisa mengajari Ibnu Sina beserta kakak dan adiknya.
Perjuangan ayah Sina dalam mencerdaskan buah hati tak sia-sia. Terbukti, Sina yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata bisa menjadi ilmuwan yang namanya dikenal hingga kini.
Ilmu Agama yang Mumpuni
Sebagai orang yang taat memegang teguh ajaran Islam, orang tua Ibnu Sina sudah memperkenalkan Alquran padanya sejak kecil. Ya, bukan sekadar membaca, Ibnu Sina sudah mulai menghafal Quran sejak usia 5 tahun. Kemudian pada usia 10 tahun, ia berhasil menghafal keseluruhan isi kitab yang terdiri dari 30 juz.
Di samping menghafal, ia juga selalu mengkhatamkan Alquran tiap satu bulan sekali secara rutin. Selain untuk memperkuat hafalannya, mungkin ia melakukan itu dalam rangka menjalankan perintah Nabi Muhammad tentang waktu yang disarankan untuk mengkhatamkan Alquran.
Tak berhenti sampai di situ, ia juga belajar tentang ilmu tafsir. Beberapa risalah pendek karyanya yang masih ada hingga saat ini adalah tentang tafsir surah Al Fatihah, surah Al Ikhlas, surah Al A’la, surah Al Falaq, surah An Nas, dan beberapa ayat dari surah Ad Dukhan.
Ibnu Sina semakin melengkapi ilmu agamanya dengan belajar ilmu Fiqih (hukum Islam). Soal ilmu Fiqih, ia mempelajarinya dari Ismail Al Zahid yang menganut mazhab Sunni Hanafi. Entah mengapa ia belajar pada seorang yang beraliran Sunni Hanafi, padahal sang ayah beraliran Syiah Ismailiyah.
Seorang Pemikir yang Luar Biasa
Ibnu Sina mulai belajar tentang Aritmatika dari Mahmoud Massahi, seorang pedagang sayur asal India. Selain guru Aritmatika, sang ayah juga mendatangkan guru Filsafat bernama Abu Abdullah An Natili. An Natili sering memberikan soal-soal yang diambil dari teori para filsuf Yunani untuk dipecahkan Ibnu Sina.
Akan tetapi, lambat laun ia merasa bahwa gurunya tak cukup mengerti tentang Filsafat sehingga ia sering memikirkan jawaban tentang suatu hal seorang diri. Dan jika merasa bingung, ia akan melengkapinya dengan membaca karya Al Farabi yang dibelinya seharga tiga dirham di toko buku.
Apabila masih mengalami kebuntuan meski telah membaca beberapa sumber, ia akan meninggalkan buku-bukunya untuk berwudhu dan beribadah di masjid. Ia akan terus-terusan berdoa agar mendapat hidayah yang bisa mencerahkan pikirannya.
Saking seriusnya dalam memikirkan pemecahan suatu masalah, seringkali kesulitannya dalam belajar sampai terbawa mimpi. Namun, ia pantang menyerah untuk terus memahami suatu ilmu baru. Bila sudah berhasil memahami sesuatu yang menurutnya sulit, ia akan langsung bersyukur pada Tuhan dan bersedekah pada fakir miskin.
Baca juga: Biografi Ahmad Yani, Jenderal TNI AD yang Tegas dan Penuh Kasih
Menekuni Dunia Kedokteran
Tak puas dengan Filsafat, ayah Ibnu Sina juga mendatangkan dua orang dokter yang bernama Abu Mansur Al Hasan bin Nuh Al Qumri dan Abu Sahl Isa bin Yahya Al Masihi untuknya. Dua dokter yang berasal dari Bukhara tersebut ditugaskan untuk mengajarkan ilmu Kedokteran pada Ibnu Sina.
Tak butuh waktu lama, ia pun mampu menguasai ilmu Kedokteran dan mulai mengobati pasien pada usia 16 tahun. Selain dengan ilmu yang diajarkan oleh gurunya, ia juga berpatokan pada isi Alquran untuk menentukan mana pengobatan yang tepat bagi para pasiennya.
Terjun ke lapangan membuat ilmu Kedokteran yang dikuasai Ibnu Sina semakin matang. Meski seringkali tak mendapat bayaran ketika mengobati orang, ia mendapat manfaat lain, yaitu ilmunya terus-menerus bertambah karena selalu menemui kasus penyakit yang berbeda dari waktu ke waktu.
Kariernya sebagai seorang dokter semakin cemerlang ketika ia mampu mengobati Nuh bin Mansur, penguasa Dinasti Samaniyah, yang saat itu sedang sakit. Bagaimana tidak, saat itu tak ada dokter selain dirinya yang mampu mengobati penyakit Nuh bin Mansur.
Atas jasanya karena telah menyembuhkan sang penguasa Samaniyah, ia diberi berupa perpustakaan yang bisa diakses olehnya kapan pun ia mau. Jadi, rasa ingin tahunya terhadap berbagai bidang ilmu dapat terpenuhi. Apalagi, diperpustakaan tersebut juga ada banyak buku-buku kuno yang sebelumnya belum pernah ia temui.
Ya, meski sudah sibuk dengan profesinya sebagai dokter, ia masih sempat menggeluti berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat. Untuk menghemat waktu, ia akan menuliskan rumusan ulangnya di sebuah kertas ketika menemui pernyataan yang sulit dipahami. Menurut Sina, hal ini akan memudahkan dalam menemukan jawaban dari persoalan tersebut.
Nah, setelah benar-benar memahami apa yang dipelajari, ia akan menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku. Hingga berabad-abad setelah kematiannya, terbukti bahwa buku-buku karyanya dalam berbagai bidang membawa manfaat yang begitu besar.
Karya yang Paling Fenomenal
Karya Ibnu Sina memang banyak, mulai dari bidang Filsafat, Kedokteran, hingga Sastra, semua ada. Namun, dari sekian banyak karyanya, ada satu yang begitu terkenal hingga membuatnya dijuluki sebagai Bapak Kedokteran Modern. Penasaran apa itu? Terus simak biografi Ibnu Sina ini!
Berjudul Al Qanun fi Al Tibb (القانون في الطب), buku karya Sina yang satu ini merupakan ensiklopedia kedokteran yang terbagi menjadi lima buku. Sejak dipublikasikan, buku yang lebih terkenal dengan judul The Canon of Medicine ini telah menjadi patokan dunia medis selama berabad-abad. Nah, berikut rangkuman isi buku tersebut buat kamu-kamu yang penasaran.
1. Buku Pertama
Buku pertama yang tak mempunyai judul spesifik ini terdiri dari beberapa bab. Bab pertama menjelaskan tentang definisi dan ruang lingkup beserta sebab-sebab penyakit yang bisa digolongkan menjadi empat, yaitu penyebab material, penyebab efisien, penyebab formal, dan penyebab akhir.
Bab keduanya membahas mengenai unsur kosmologi yang meliputi tanah, udara, air, dan api. Bab ketiga tentang kebersihan, kesehatan, penyakit, dan kematian, sedangkan bab keempat menjelaskan tentang nosologi (ilmu tentang pengelompokan sistem penyakit) terapeutik, gambaran umum tentang aturan hidup, dan asupan nutrisi.
2. Buku Kedua
Bab pertama menjelaskan tentang aturan umum dan efek obat-obatan. Sedangkan bab kedua berisi daftar 800 zat bunga, mineral, dan hewan sederhana. Tak hanya daftar zatnya zaja, ada juga keterangan mengenai kriteria manfaatnya (sekaligus menerangkan bagaimana zat itu ditemukan di alam), dan sifatnya.
Dan yang paling utama dari buku kedua The Canon of Medicine ini adalah dimuatnya tujuh aturan dan prinsip-prinsip tentang pengujian efektivitas obat baru. Berikut tujuh poin aturan tersebut:
Pertama, obat harus bebas dari hal-hal lain yang bisa memengaruhinya (misalnya dari panas maupun dingin). Kedua, percobaan harus dilakukan pada satu kondisi, bukan kondisi komposit (tidak boleh diuji pada pasien yang memiliki penyakit komplikasi).
Ketiga, obat harus diuji pada dua kondisi yang bertentangan (suatu obat mungkin langsung berefek pada suatu penyakit, tapi barangkali juga efektif melawan penyakit lain dengan meringankan gejalanya).
Keempat, kualitas obat harus sesuai dengan kekuatan penyakit. Yang terbaik adalah bereksperimen terlebih dahulu dengan dosis yang paling rendah dan kemudian meningkatkannya secara bertahap sampai Anda mengetahui potensi obat.
Kelima, harus mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk menunggu efek obat. Jika efeknya langsung terlihat, berarti obat itu berhasil melawan penyakit tersebut dengan sendirinya.
Keenam, efek obat harusnya sama dalam semua kasus, atau paling tidak di sebagian besar kasus. Sebab, jika penyebabnya berbeda, maka kemungkinan efek yang terjadi hanya kebetulan.
Ketujuh, percobaan harus dilakukan pada tubuh manusia. Karena efek yang ditimbulkan pada hewan mungkin tak sama dengan efek yang ditimbulkan pada manusia.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Pendiri Apple yang Membangun Kerajaan Bisnisnya dari Nol
3. Buku Ketiga
Buku ketiga dari The Canon of Medicine berjudul Special Pathology. Isinya, mencakup fungsi organ dan penyakit yang bisa menimpa masing-masing organ. Bagian ini juga menggambarkan sifat penyakit menular yang bisa menimbulkan infeksi, misalnya saja tuberculosis.
Nah, perlu kamu tahu, seri Special Pathology ini merupakan buku pertama yang menjelaskan tentang penyakit meningitis dan pengobatan-pengobatan untuk penyakit kanker. Buku ini juga menjelaskan mengenai penyakit yang disebabkan parasit enterobius, ascaris, cacing guinea, dan cacing pita. Keren, kan?
Semenjak buku ini dipublikasikan pada khalayak umum, Rumah Sakit Bimaristan yang terletak di Damaskus memutuskan untuk membuat ruangan yang terpisah-pisah untuk penyakit tertentu. Harapannya, tentu saja agar pasien-pasien yang tidak mempunyai penyakit menular tak tertular penyakit dari pasien yang menderita penyakit menular.
4. Buku Keempat dan Kelima
Buku keempat yang berjudul Systemic Disease membahas tentang penyakit khusus yang memengaruhi seluruh tubuh, contohnya demam. Dan buku kelima yang berjudul Formularium berisi daftar 650 obat-obatan majemuk yang sebagian besar bersumber dari Arab, Yunani, dan India.
Ibnu Sina juga menambahkan komentarnya sendiri yang menyoroti tentang perbedaan antara resep-resep dari sumber yang berbeda. Selain itu, ada juga beberapa resep dari dirinya sendiri.
Ideologi Ibnu Sina
Terlepas dari jasa-jasa Sina di bidang filsafat maupun kedokteran, banyak yang masih memperdebatkan masalah ideologinya. Ya, memang benar, Ibnu Sina terlahir sebagai muslim, tapi Islam sendiri juga terbagi menjadi banyak aliran.
Tak hanya itu, pemikiran-pemikirannya di bidang filsafat juga membuatnya sering diduga sebagai atheis atau orang yang tak percaya adanya Tuhan. Mengapa bisa demikian dan benarkah kabar tersebut? Berikut sudah terangkum ringkasan wawancara terhadap Profesor Mulyadhi Kartanegara, pengajar di Universitas Brunei Darussalam, yang kami kutip dari situs Alif.id.
1. Benarkah Ibnu Sina Syiah?
Islam terpecah menjadi dua cabang besar, yaitu Sunni dan Syiah. Sunni yang masih terpecah menjadi beberapa aliran lagi meyakini bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah yang memimpin kaum muslimin setelah Nabi Muhammad tiada.
Sedangkan Syiah yang juga terpecah menjadi beberapa aliran lagi, tak mengakui Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan sebagai khalifah. Mereka hanya mengakui kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang merupakan saudara Nabi Muhammad sekaligus menantu sang nabi.
Paham Syiah mulai muncul di Persia, kampung halaman Ibnu Sina. Jadi, tampaknya wajar saja jika ia dikira Syiah. Selain itu, sang ayah yang menganut aliran Ismailiyah (salah satu cabang Syiah), juga menguatkan dugaan bahwa Sina juga penganut Syiah.
Namun, pernyataan yang berbeda dilontarkan Profesor Mulyadhi Kartanegara. Menurut sang profesor, dalam biografi Ibnu Sina yang berjudul Uyunul Anba fi Thabaqatil Athibba karya Abu Ubaid Al Juzjani, rekan kerja Ibnu Sina, tak ditemukan pernyataan yang menyatakan Ibnu Sina penganut Syiah atau bukan.
Sina memang sering bertandang ke rumah sang ayah yang beraliran Ismailiyah. Akan tetapi, ia justru sama sekali tak setuju dengan konsep para penganut Ismailiyah tentang jiwa. Masih menurut Profesor Mulyadhi, kemungkinan besar cendekiawan yang juga dikenal dengan nama Avicenna tersebut sengaja menyembunyikan ideologinya agar bisa merangkul semua kalangan.
2. Benarkah Ibnu Sina Atheis?
Para cendekiawan, khususnya yang bergelut dengan ilmu Filasafat maupun Fisika seringkali mencetuskan pendapat yang dianggap nyeleneh bagi orang-orang yang beragama. Bagaimana tidak, jika orang-orang beragama percaya dengan keterlibatan Tuhan atas segala sesuatu yang ada dunia ini, banyak filsuf maupun fisikawan yang memperdebatkan hal tersebut.
Oleh sebab itu, tak heran jika Ibnu Sina yang terlahir sebagai muslim pun juga diragukan ke-Islam-annya dan justru dituduh atheis. Pasalnya, banyak yang berpendapat bahwa Avicenna menyatakan, alam ada lebih dulu ada ketimbang Tuhan.
Padahal, menurut Profesor Mulyadhi, tuduhan itu salah besar. Ibnu Sina menyatakan bahwa alam adalah mumkinul wujud, sedangkan Tuhan sifatnya wajibul wujud. Dikatakan mumkinul wujud karena alam mungkin wujud tetapi tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri. Jadi, alam membutuhkan Tuhan untuk mewujudkan keberadaannya.
Dengan demikian, terpatahkan sudah kabar yang mengatakan bahwa Avicenna menyangkal alam ini merupakan ciptaan Tuhan. Justru, ia malah membantu untuk membuktikan secara rasional mengenai keberadaan Tuhan. Karena dari pernyataan Ibnu Sina dapat disimpulkan bahwa Tuhan adalah sebab, sedangkan alam adalah akibat.
Baca juga: Biografi Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Nasional Muda yang Gugur di Medan Perang
Tidak Menikah Sampai Maut Menjemput
Sama seperti orang pada umumnya, kebanyakan cendekiawan juga memiliki kisah cintanya tersendiri. Namun, hal tersebut tampaknya tak berlaku untuk Avicenna. Ya, cendekiawan asal Persia ini lebih memilih untuk tidak menikah sampai malaikat maut menjemputnya.
Entah apa yang menyebabkan dirinya tak menikah. Namun, banyak orang yang berspekulasi bahwa Ibnu Sina tak memiliki istri karena terlalu cinta dengan ilmu pengetahuan.
Ketika siang, ia akan menyibukkan dirinya untuk mengobati pasien-pasien yang membutuhkan bantuannya. Sedangkan saat malam, ia sibuk belajar dan menuliskan segala hal terkait berbagai macam bidang ilmu yang telah dipelajarinya.
Akhir Hayat Avicenna
Inilah akhir kisah Ibnu Sina dalam biografi ini. Sekitar 10 hingga 12 tahun masa akhir hidupnya, Avicenna bekerja sebagai dokter sekaligus penasihat sastra dan ilmiah umum untuk penguasa Kakuyid, Muhammad bin Rustam Dushmanziyar. Ia juga sering menemani sultan yang kerap dijuluki Ala Al Daula berkampanye.
Menjelang akhir hidupnya, Avicenna menderita penyakit kolik yang membuatnya sampai tak bisa berdiri. Namun, ia menolak untuk menjalani pengobatan dan lebih memilih untuk pasrah dengan penyakitnya.
Mungkin sadar bahwa hidupnya tak lama lagi, ia membebaskan budak-budaknya, membagi-bagikan hartanya pada fakir miskin, dan mengkhatamkan Alquran tiap tiga hari sekali. Ibnu Sina akhirnya meninggal di Hamadan, Iran pada tanggal 21 Juni 1037.
Baca juga: Biografi WR Supratman, Pencipta Lagu Indonesia Raya yang Tidak Merasakan Kemerdekaan Indonesia
Hikmah Membaca Biografi Ibnu Sina
Itu tadi adalah biografi Ibnu Sina lengkap, mulai dari latar belakang keluarga, karyanya yang fenomenal, ideologi, hingga akhir hayatnya. Apakah kamu sudah puas dengan informasi yang telah kami sajikan?
Ada banyak hikmah yang bisa diambil dengan membaca biografi Ibnu Sina ini. Salah satunya, kamu tidak boleh menilai seseorang hanya berdasarkan apa kata orang. Kamu harus mencari tahu sendiri untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Nah, jika ingin mendapatkan lebih banyak inspirasi dari biografi tokoh-tokoh selain Ibnu Sina, terus baca KepoGaul.com. Selain tentang biografi tokoh, ada juga informasi menarik lain, seperti mengenai wisata, seleb, film, dan masih banyak lagi.