
Apakah kamu tahu bahwa Presiden Soekarno memiliki istri orang Jepang? Sosok wanita kontroversial inilah yang dengan lantang menyuarakan kecurigaan di balik kematian sang proklamator. Nah, jika kamu mau tahu segala hal tentangnya, berikut kami sajikan biografi Ratna Sari Dewi Soekarno secara lengkap.
- Nama Asli
- Naoko Nemoto (根本七保子)
- Nama Indonesia
- Ratna Sari Dewi Soekarno
- Nama Beken
- Madame Dewi
- Tempat, Tanggal Lahir
- Tokyo, 6 Februari 1940
- Warga Negara
- Indonesia
- Pasangan
- Soekarno
- Anak
- Kartika Sari Dewi Soekarno
Soekarno dikenal sebagai presiden Indonesia yang istrinya paling banyak. Dan tak dapat dipungkiri, semua istri Soekarno memang cantik-cantik. Namun, di antara sembilan istrinya, ada satu wanita bernama Ratna Sari Dewi Soekarno yang akan dibahas dalam biografi ini.
Ratna Sari Dewi merupakan perempuan asal Jepang yang menjadi istri kelima Soekarno. Kisah perjalanan cintanya dengan sang proklamator sangat berliku dan menarik untuk disimak.
Bagaimana tidak, saat menikah dengan Soekarno, ibunya dikabarkan meninggal karena sakit, sedangkan saudara laki-lakinya meninggal karena bunuh diri. Tak hanya itu, setelah terjadinya gonjang-ganjing politik di Indonesia, keduanya terpaksa harus terpisah karena keadaan.
Setelah menyimak ulasan singkat di atas, apakah kamu jadi semakin penasaran dengan perjalanan hidup istri Soekarno yang satu ini? Jika ya, tetap simak biografi Ratna Sari Dewi Soekarno ini hingga usai!
Kehidupan Pribadi
Bagaimana sebenarnya asal-usul Ratna Sari Dewi? Bagaimana ceritanya ia yang orang Jepang bisa bertemu dengan Bung Karno, sang presiden pertama Republik Indonesia? Berikut rangkumannya dalam biografi Ratna Sari Dewi Soekarno ini.
1. Keluarga
Ratna Sari Dewi lahir pada tanggal 6 Februari 1940 di Tokyo, Kekaisaran Jepang, dengan nama Naoko Nemoto (根本七保子). Ayah Naoko bekerja sebagai tukang bangunan, dan perekonomian keluarganya bisa dibilang kurang baik.
Saat remaja, ia pernah bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Kemudian di usia 15 tahun, ia memutuskan untuk menekuni kariernya sebagai entertainer setelah mendapatkan peran figuran dalam sebuah film. Ia berharap bahwa keterlibatannya dalam film tersebut menjadi awal dari kesuksesannya.
Sibuk bekerja, Naoko kemudian memutuskan untuk berhenti sekolah saat berada di jenjang Sekolah Menengah Atas. Sebenarnya alasan Naoko berhenti sekolah bukan hanya karena sibuk bekerja, tapi karena ia ingin memberi kesempatan pada saudara laki-lakinya agar bisa kuliah. Ia sadar bahwa ayahnya keberatan menanggung biaya pendidikan ia dan saudaranya bersama-sama.
Sayangnya, belum sampai Naoko meraih kesuksesan, ia justru harus kehilangan sosok ayah yang dicintainya untuk selama-lamanya. Karena telah ditinggalkan ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga, ia terpaksa harus bekerja lebih keras demi membantu perekonomian keluarga.
Baca juga: Biografi Pangeran Antasari, Pahlawan Banjar yang Berusaha Mengusir Belanda dari Kampung Halamannya
2. Awal Pertemuan dengan Soekarno
Pada 16 Juni 1959, Naoko diundang untuk menghadiri pesta minum teh di Hotel Imperial, Tokyo (ada juga yang mengatakan Naoko diundang untuk menari). Saat itulah ia bertemu dengan Bung Karno yang datang ke Jepang untuk menangani masalah ganti rugi perang.
Menurut Naoko, kesan pertama yang didapatnya dari Bung Karno adalah karisma yang luar biasa. Tak hanya itu, ia berpikir bahwa Bung Karno merupakan sosok yang sangat perhatian dan baik hati.
Selain mengenai kepribadian, rupanya Naoko juga terkesan dengan luasnya pengetahuan sang proklamator tentang Jepang. Ditambah lagi, Bung Karno juga menguasai beberapa bahasa asing.
Akan tetapi, dalam wawancara yang dilakukannya dengan salah satu stasiun TV swasta Indonesia, ia membantah telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Naoko mengaku dalam pertemuan pertamanya dengan Bung Karno, ia hanya merasa kagum.
3. Lika-Liku Percintaan Sebelum Menikah
Disebabkan oleh pertemuan yang intens selama Bung Karno bolak-balik Indonesia–Jepang, membuat rasa cinta di antara keduanya tumbuh. Namun, latar belakangnya sebagai orang Jepang membuat orang-orang terdekat Bung Karno khawatir. Mereka takut bahwa hubungan cinta antara Bung Karno dan Dewi bisa digunakan sebagai senjata bagi para lawan politik untuk menyerang sang proklamator.
Meski mencintai Naoko, Soekarno menuruti permintaan orang-orang terdekatnya untuk kembali ke Indonesia tanpa memberi tahu sang kekasih. Naoko yang saat itu berkunjung ke tempat menginap Bung Karno merasa sakit hati karena pria pujaannya pergi tanpa pamit. Merasa harga dirinya jatuh, ia pun memutuskan untuk bunuh diri. Untunglah nyawanya masih dapat diselamatkan.
Mendengar peristiwa yang dialami Naoko, Bung Karno pun tak tega meninggalkan wanita pujaannya. Sejak kejadian itu, mereka berdua tak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, Bung Karno pernah mengirimkan surat pada Naoko alias Ratna Sari Dewi yang menyatakan keinginan untuk dikubur dalam satu liang makam yang sama dengannya jika mereka telah sama-sama meninggal.
Baca juga: Biografi Laksamana Malahayati, Pahlawan Asal Aceh yang Menjadi Laksamana Wanita Pertama di Dunia
4. Menikah dengan Soekarno, Antara Suka dan Duka
Setelah menjalin kasih selama beberapa waktu, Bung Karno akhirnya melamar Naoko. Bagaimana romantisnya sang proklamator saat meminta kesediaan Naoko untuk hidup bersama? Inilah kisahnya dalam biografi Ratna Sari Dewi Soekarno.
Naoko dan Bung Karno biasanya selalu bertemu di Jepang. Namun suatu hari, sang proklamatorlah yang mengundang Naoko untuk mengunjungi Indonesia selama dua pekan. Karena ingin memyakinkan dirinya sendiri tentang kesiapannya untuk menjalani hubungan yang lebih serius dengan Bung Karno, ia pun bersedia berkunjung ke Indonesia.
Perjalanan dari Jepang ke Indonesia pada tahun 1959 masih rumit karena tak ada yang rute pesawat langsung. Jadi, dari Tokyo, Naoko terbang ke Hongkong. Kemudian dari Hongkok ke Bangkok, Singapura, baru setelah itu tiba di Indonesia.
Di Indonesia, Naoko diajak Bung Karno ke Bali untuk mengunjungi Istana Tampaksiring. Di temani suasana senja yang romantis, Bung Karno melamar Naoko dengan mengucapkan, “Jadilah inspirasi hidupku, jadilah teman hidupku, bahagiakanlah hidupku.”
Mendapat lamaran yang begitu romantis, Naoko pun luluh dan bersedia menikah dengan Soekarno pada tahun 1959 di Jakarta. Naoko yang pada kala itu berusia 19 tahun, resmi menjadi istri Bung Karno yang berusia 58 tahun. Saat itu, mereka berdua menikah dengan tata cara Islam.
Karena menikah dengan tata cara Islam, Naoko yang awalnya menganut agama Shinto (kepercayaan yang umumnya dianut masyarakat Jepang), berpindah keyakinan menjadi Islam. Bung Karno juga memberi nama baru untuk Naoko, yaitu Ratna Sari Dewi.
Mendengar perihal pernikahan dan perpindahan keyakinan Naoko, sang ibu pun kabarnya langsung syok dan jatuh sakit. Tak lama setelah itu, ibunda Naoko wafat. Ya, sejak awal, ibu Naoko memang keberatan dengan hubungan Naoko dan Bung Karno.
Sama seperti ibunya, saudara laki-laki Naoko yang bernama Yaso juga keberatan karena ia menjadi istri kelima seorang presiden dari negara miskin yang bahkan usianya terpaut sangat jauh. Tak kuat menanggung malu, saudara Naoko yang saat itu sedang menginjak bangku kuliah pun memutuskan untuk bunuh diri.
5. Memiliki Seorang Putri
Ingin sedikit meringankan beban hati Naoko, Bung Karno menghadiahkan sebuah rumah besar yang terletak di Jalan Gatot Subroto Nomor 14, Jakarta Selatan padanya. Untuk mengenang saudara laki-laki Naoko yang meninggal karena bunuh diri, rumah tersebut dinamakan Wisma Yaso.
Meski mengalami peristiwa yang kurang menyenangkan di awal pernikahannya, kehidupan rumah tangga Naoko dan Bung Karno bisa dibilang sangat harmonis. Memang, setelah menikahi Naoko, Bung Karno juga menikahi empat orang wanita lagi. Namun, Naoko tetap menjadi salah satu istri kesayangan sang proklamator.
Tak hanya bermodal wajah yang cantik, kepribadiannya yang berani dan otaknya yang cerdas membuat Bung Karno sering mengajaknya mendiskusikan perkara negara. Selain itu, ia juga kerap diajak suaminya untuk menghadiri acara-acara resmi kenegaraan.
Pada tahun 1966, Naoko Nemoto akhirnya mengandung seorang anak perempuan. Sayangnya, ia tak bisa menikmati kehamilannya dalam suasana yang tenang karena saat itu terjadi kekisruhan politik di Indonesia akibat peristiwa G30S PKI 1965.
Bung Karno tak ingin terjadi suatu hal yang buruk terhadap Naoko maupun putri yang berada di perut Naoko. Oleh sebab itu, sang proklamator meminta Naoko untuk kembali ke Jepang dan melahirkan di Negeri Matahari Terbit tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 7 Maret 1967, Naoko melahirkan putrinya di suite room Keiko University Hospital Tokyo dengan sehat dan selamat. Putri cantik itu kemudian diberi nama Kartika Sari Dewi Soekarno.
Pertemuan dengan Soeharto di Lapangan Golf
Dewi adalah istri Bung Karno yang sering diajak bertukar pikiran tentang masalah politik. Dan lagi, saat terjadinya peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat oleh orang-orang PKI, sang proklamator sedang bersama Dewi. Mungkin oleh sebab itu, Dewi diinterogasi.
Namun, mengingat Dewi adalah istri presiden dan untuk menemuinya pun sulit, kemudian diaturlah rencana agar Dewi bisa bertemu Soeharto secara diam-diam. Berikut kisahnya dalam biografi Ratna Sari Dewi Soekarno ini.
Beberapa bulan setelah peristiwa G30S PKI, tepatnya pada 11 Maret 1966, Bung Karno menandatangani Supersemar. Isi dari Supersemar adalah mengizinkan Soeharto untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka menumpas PKI.
Namun, tanpa disadari Bung Karno maupun Dewi dan istri-istri yang lain, penandatanganan Supersemar justru menjadi awal dari kejatuhan sang proklamator. Bermodalkan Supersemar, Soeharto berhasil menyingkirkan pejabat-pejabat yang pro Soekarno dengan tuduhan terlibat PKI.
Jenderal Angkatan Darat tersebut juga mengadakan pertemuan rahasia dengan Dewi di lapangan golf yang berada di daerah Rawamangun. Dari keterangan yang dimuat dalam buku Jenderal Yoga : Loyalis di Balik Layar, Soeharto saat itu malah memberi tiga pilihan pada Dewi atas nasib sang suami.
Pertama, pergi ke luar negeri untuk beristirahat tanpa ada urusan politik di Indonesia selamanya. Kedua, tetap di Indonesia, tapi sebagai presiden yang tak lagi punya wewenang alias sebutan saja. Ketiga, Soekarno mengundurkan diri secara total sebagai presiden. Namun, Soeharto menganjurkan Dewi memilih pilihan pertama dan tinggal di Jepang atau Mekah bersama Bung Karno.
Mengungsi ke Paris
Dari kesembilan istri Bung Karno, beberapa di antaranya berakhir dengan perceraian. Namun, tidak demikian halnya dengan Ratna Sari Dewi Soekarno yang kita bahas kisahnya dalam biografi ini. Pernikahannya dengan Soekarno tetap bertahan hingga akhir meski sempat diminta mengungsi ke Paris.
Saat wanita yang sering dipanggil Dewi ini mengungsi ke Paris, Bung Karno sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk. Banyak orang yang menyalahkan Dewi karena meninggalkan suaminya di masa sulit.
Namun, dalam wawancaranya bersama Desi Anwar, ia menyatakan bahwa kepergiannya ke Paris karena didesak oleh sang suami yang tak ingin dirinya berada dalam bahaya. Berikut gambaran kondisi Bung Karno saat itu yang memaksa Dewi harus pergi sementara dari sisi suaminya.
Dalam sidang MPRS yang terselenggara pada 22 Juni 1966, pidato pembelaan Bung Karno yang menegaskan bahwa dirinya sama sekali tak terlibat G30S PKI, ditolak. Tak sampai satu tahun kemudian, tepatnya pada 7 Maret 1967, Soeharto dilantik oleh MPRS sebagai pejabat presiden.
Setelah diturunkan dari jabatannya sebagai presiden, Soekarno diperintahkan untuk meninggalkan Istana Negara sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Oleh sebab itulah sang proklamator meminta Dewi untuk mengungsi ke Paris. Tak hanya Dewi, putra-putri Bung Karno dari Fatmawati yang tadinya tinggal bersamanya, diminta mengungsi ke rumah Fatmawati.
Sementara istri dan anak-anaknya sudah diminta mengungsi, Bung Karno pergi dari Istana Negara dengan hanya menggunakan kaos oblong lusuh. Sang proklamator yang membawa gulungan koran berisi bendera pusaka kemudian diasingkan di paviliun Istana Bogor.
Merasa tidak nyaman karena hampir tiap hari diinterogasi, Bung Karno lalu minta dipindahkan ke rumah peristirahatan di Batu Tulis, Bogor. Namun, udara dingin Bogor malah membuat penyakitnya semakin parah.
Melihat kondisi sang proklamator yang buruk, orang-orang terdekatnya memohon pada Soeharto agar mengizinkan Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso, rumah yang tadinya dihadiahkan untuk Dewi. Meski sudah pindah ke Wisma Yaso, kondisi Bung Karno tetap menurun karena stres dan dipersulit pemerintah untuk menemui istri, anak, dan sahabatnya.
Baca juga: Biografi HOS Cokroaminoto, Guru Tokoh Besar Nasional yang Dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota
Mengajukan Protes pada Soeharto
Ratna Sari Dewi Soekarno, wanita yang kita bahas dalam biografi ini adalah sosok yang berani. Selama Bung Karno berada dalam pengasingan, ia beberapa kali datang ke Indonesia untuk menemui suaminya. Namun, niat baiknya justru terus dipersulit Pemerintah Orde Baru.
Perlakukan tidak menyenangkan rezim Soeharto terhadap Bung Karno membuatnya marah. Mengingat ia memiliki watak keras dan pantang menyerah, wajar saja tampaknya jika Dewi berani menulis surat terbuka pada Soeharto pada 16 April 1970. Berikut cuplikan isi surat tersebut.
“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai Indonesia dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang berkali-kali meneror beliau, beliau pun masih mau memberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya.
Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata di balik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan rakyat, yaitu orang-orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya, apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin mencegahnya dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”
Berpisah Raga untuk Selamanya
Mungkin banyak orang yang memercayainya. Namun pada kenyataannya, banyak orang tua yang sakit lalu meninggal setelah bertemu orang yang berarti. Hal ini rupanya juga terjadi pada Bung Karno. Bagaimana kisahnya? Tetap simak biografi Ratna Sari Dewi ini!
Tanggal 11 Juni 1970, Bung Karno yang kondisi kesehatannya semakin memburuk, dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Saat berada di rumah sakit, Bung Karno masih saja dijaga oleh militer bersenjata lengkap, tapi penjagaan sudah dilonggarkan sehingga sahabat dan keluarga sang proklamator bisa menemuinya.
Pada 19 Juni 1970, Bung Karno mendapat tamu spesial, yaitu Mohammad Hatta, sang sahabat lama. Dalam pertemuan tersebut, tak banyak kata yang terucap. Hanya tangis yang menghiasi pertemuan keduanya.
Selain Hatta, pada tanggal 19 Juni 1970 itu pula Bung Karno mendapat kabar bahwa Ratna Sari Dewi dan anak perempuan mereka, Kartika Sari Dewi Soekarno atau yang kerap dipanggil Karina, akan datang menjenguk. Sayangnya, hari itu Dewi masih tertahan di Singapura karena belum mendapat izin dari Soeharto.
Setelah keesokan harinya mendapat izin, Dewi dan Karina akhirnya bisa menemui Bung Karno pada 20 Juni 1970. Meski keadaannya sudah lemah, saat itu Bung Karno masih berusaha memeluk Karina, putri cantiknya yang berusia tiga tahun.
Namun, kebersamaan yang dirasakan Bung Karno dan Dewi hanya bisa dirasakan sesaat saja karena malam harinya, sang proklamator terbaring koma. Sehari kemudian, tepatnya pada 21 Juni 1970, Bung Karno menghembuskan nafas terakhir.
Sebelum dikuburkan, Bung Karno disemayamkan di Wisma Yaso. Semua istri Bung Karno melayat ke Wisma Yaso, kecuali Fatmawati karena ibu Megawati Soekarnoputri tersebut pernah berjanji tak akan menginjakkan kaki lagi di Wisma Yaso.
Saat itu, Dewi dan Hartini yang merupakan istri keempat Bung Karno, meminta pada Soeharto agar Bung Karno boleh dimakamkan di Batu Tulis. Namun, Soeharto tak mengabulkannya dan malah memerintahkan agar bapak proklamator tersebut dimakamkan di Blitar.
Pro Kontra Setelah Menjadi Janda Soekarno
Setelah ditinggalkan sang suami untuk selamanya, Dewi kembali lagi ke Paris. Ia baru kembali ke Jakarta pada tahun 1983. Namun, ia kemudian memutuskan untuk menetap di Shibuya, Tokyo, Jepang sejak 2008.
Selama menjadi janda Bung Karno, banyak sepak terjang Dewi yang mengejutkan publik. Penasaran seperti apa kisahnya? Ini dia rangkumannya dalam biografi Ratna Sari Dewi Soekarno berikut.
1. Dipenjara karena Melukai Wajah Cucu Presiden Keempat Filipina
Sepeninggal Bung Karno, Naoko Nemoto menjelma menjadi sosok sosialita cantik. Teman-temannya berasal dari kalangan pengusaha maupun politikus dunia. Namun, rupanya lingkungan pergaulan Dewi juga pernah membawa masalah untuknya.
Dewi menghadiri pesta pembukaan vila mewah yang terletak di Ibiza, Spanyol, pada bulan Agustus 1991. Menurut kesaksian Massimo Gargia, seorang pengusaha sukses asal Italia, saat itu Victoria Osmena selalu membuntuti Dewi dan mengucapkan kalimat hinaan yang menyakitkan.
Victoria Osmena alias Minnie yang merupakan cucu Presiden keempat Filipina, mengejek Dewi dengan menyebutnya pelacur dan tak pernah dinikahi Soekarno. Minnie juga mengatakan bahwa Dewi sebenarnya telah berusia 60 tahun, tapi melakukan prosedur kecantikan sehingga terlihat muda.
Tak berhenti sampai di situ, Minnie mengolok-olok tubuh Dewi dengan mengejeknya kontet. Namun, saat itu Dewi masih bisa menahan amarahnya sehingga lebih memilih pergi bersama Gargia.
Kemudian pada tahun 1992, lagi-lagi Minnie dan Dewi dipertemukan dalam sebuah pesta di Aspen, Colorado, Amerika Serikat. Dalam pesta tersebut, mereka berdua kembali bertengkar hebat.
Mungkin karena sudah tak bisa menahan amarah, Dewi pun memukul wajah Minnie dengan gelas anggur. Akibatnya, Minnie harus mendapatkan 37 jahitan untuk luka di dahi, kelopak mata, dan pipi.
Akibat perbuatannya, Dewi harus merasakan dinginnya hotel prodeo di California selama 37 hari. Selain itu, ia juga dituntut ganti rugi sebanyak 10 juta dolar oleh Victoria “Minnie” Osmena. Namun, ia tak menerima tuntutan tersebut begitu saja. Melalui pengacaranya, Dewi menuntut balik Minnie dengan tuduhan memfitnah, menyerang, dan menghinanya.
2. Berpose Topless dalam Buku Madame de Syuga
Ratna Sari Dewi Soekarno tampaknya belum puas membuat geger publik dengan kasus penyerangan terhadap Victoria Osmena. Sebab, lagi-lagi ia membuat heboh masyarakat dengan penampilannya di buku Madame de Syuga.
Dalam buku yang terbit di Jepang pada tahun 1998 tersebut, Ratna Sari Dewi menampilkan pose yang menampakkan bagian dadanya. Bahkan, ada beberapa foto yang menampilkan dadanya dipenuhi tato. Hal tersebut membuatnya mendapat kritikan pedas dari publik tanah air yang berpendapat bahwa ia telah mencemarkan nama baik Bung Karno.
Akan tetapi, ia tak ambil pusing dengan segala kritikan yang ditujukan kepadanya. Ia membela diri dan mengatakan bahwa foto-foto topless-nya hanyalah hasil karya seni yang menunjukkan bahwa perempuan dengan usia hampir setengah abad masih memiliki tubuh yang indah.
3. Mengatakan bahwa Bung Karno Sengaja Dibunuh secara Perlahan
Kematian adalah suatu hal yang pasti bagi tiap-tiap manusia. Namun, jika kematian seseorang banyak diliputi misteri, tentunya akan meninggalkan kekecewaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ratna Sari Dewi Soekarno, istri kelima Bung Karno yang kita bahas dalam biografi ini. Di antara istri-istri Bung Karno yang lain, ialah yang paling vokal menyuarakan kekecewaan terhadap kematian Bung Karno yang menurutnya tak wajar.
Di hadapan banyak wartawan, Ratna Sari Dewi Soekarno yang kerap dipanggil Dewi Fujin (Madame Dewi), pernah mengatakan bahwa kematian sang suami telah diatur oleh rezim Orde Baru agar Soeharto bisa berkuasa secara mutlak.
Dewi juga berpendapat bahwa Soeharto sengaja mengasingkan Bung Karno agar stres sehingga kondisi kesehatan sang proklamator yang sudah buruk akan semakin memburuk. Tak hanya mengasingkan, Soeharto juga mengganti dokter pribadi Bung Karno dengan dokter-dokter yang tak mengetahui riwayat kesehatan suaminya.
Berdasarkan hal tersebut, wajar saja tampaknya jika Dewi semakin curiga. Ia pernah memberikan pernyataan bahwa bisa saja obat-obat yang diberikan pada Bung Karno sebenarnya malah memperburuk kondisi sang suami.
4. Mencurigai Keterlibatan Amerika Serikat dalam Kejatuhan Bung Karno
Sekitar tahun 1960-an, politik internasional terpecah menjadi dua, yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Kedua negara tersebut berlomba-lomba untuk menancapkan pengaruhnya terhadap negara lain.
Nah, Indonesia yang posisinya sangat strategis dan memiliki kekayaan alam luar biasa sudah barang tentu menjadikan bangsa ini punya nilai lebih. Namun, sang presiden, yaitu Soekarno, malah mengikuti Gerakan Non Blok dan menyatakan diri tak ingin memihak Blok Barat maupun Blok Timur.
Meski demikian, Amerika Serikat tetap melakukan berbagai cara demi mencengkeram Indonesia, salah satunya dengan iming-iming bantuan ekonomi. Ya, mereka tahu, sebagai negara yang baru saja merdeka, Indonesia butuh banyak dana untuk pembangunan. Namun, Bung Karno tetap menolak karena tak ingin dikendalikan bangsa asing.
Masih menurut Dewi, kekesalan Amerika Serikat pada Bung Karno semakin memuncak ketika suaminya menolak permintaan Amerika yang ingin memiliki pangkalan militer di Indonesia. Padahal saat itu, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan lain-lain, telah mengizinkan Amerika Serikat mendirikan pangkalan militer di daerah mereka.
Karena Bung Karno tak bisa diganggu gugat, Amerika Serikat kemudian melakukan berbagai upaya untuk menjatuhkan sang proklamator. Tentunya argumen Dewi tersebut bukanlah tanpa bukti.
Dalam wawancara bersama The Japan Times tahun 2008, Dewi mengungkapkan 10 lembar dokumen yang membuktikan bahwa kejatuhan Bung Karno merupakan hasil campur tangan Central Intelligence Agency/CIA (badan intelejen milik Amerika Serikat).
Baca juga: Biografi Raden Patah, Keturunan Raja Majapahit yang Menjadi Pendiri Kesultanan Demak
5. Menyebut Soeharto sebagai Pol Potnya Indonesia
Dilansir dari Agence France-Presse, pada tahun 2008, Dewi pernah mengatakan bahwa Soeharto adalah Pol Pot-nya Indonesia. Ya, ia menyamakan Soeharto dengan pemimpin kelompok Khmer Merah di Kamboja tersebut.
Sekadar informasi, Pol Pot adalah sosok bertangan besi yang menjadi penguasa Kamboja pada 1975–1979. Selama memimpin, Pol Pot telah menyebabkan sekitar 1,7 juta rakyat Kamboja meninggal dunia, baik karena kelaparan maupun eksekusi.
Menurut Dewi, Soeharto juga orang yang tak kalah kejam dibanding Pol Pot. Ia menyalahkan Soeharto atas kematian suaminya dan rakyat Indonesia yang menjadi korban pemerintahannya.
Tentunya pendapat Dewi tersebut bukan hanya asal bicara. Sebab faktanya, menurut Human Right Watch (HRW), lebih dari 500.000 orang diperkirakan meninggal ketika Soeharto mulai berkuasa.
Sementara itu, puluhan ribu orang lainnya juga harus kehilangan nyawa akibat konflik di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Bahkan di akhir kekuasaan Soeharto, terjadi kerusuhan yang menimbulkan banyak korban dari kelompok mahasiswa dan masyarakat Tionghoa.
Dari sisi ekonomi, Dewi menuding Soeharto sebagai penyebab meluasnya penyakit korupsi di Indonesia. Rakyat Indonesia juga makin menderita karena adanya kesenjangan ekonomi yang kian melebar. Namun, sampai akhir hayat, Soeharto tak juga diadili karena alasan kesehatan.
Oleh sebab itu, Dewi menyatakan tetap tak bisa memaafkan Soeharto meski saat itu yang bersangkutan sudah meninggal. Menurutnya, Soeharto memang memiliki wajah yang lembut. Akan tetapi, Presiden Kedua Republik Indonesia tersebut bisa menjadi keras dan tak memiliki hati di saat yang bersamaan.
Hikmah Membaca Biografi Ratna Sari Dewi Soekarno
Itu tadi adalah profil dan biografi Ratna Sari Dewi Soekarno, mulai dari kisahnya dengan Bung Karno hingga pro dan kontranya. Apakah kamu sudah puas dengan sajian di atas?
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dengan membaca biografi Ratna Sari Dewi Soekarno. Salah satunya, untuk menjadi sosok yang luar biasa, kamu hanya membutuhkan tekad dan keberanian yang lebih, termasuk dalam hal mengambil keputusan.
Jika kamu ingin mendapatkan inspirasi dari biografi tokoh-tokoh selain Ratna Sari Dewi Soekarno, terus simak KepoGaul.com. Selain tentang tokoh, ada juga informasi menarik lain, seperti tentang seleb, wisata, film, tips kecantikan, dan masih banyak lagi.