
Ada seorang wanita yang begitu berperan dalam Perang Diponegoro, ia adalah Nyi Ageng Serang, pejuang wanita tangguh yang merupakan ahli siasat perang. Siapa sebenarnya ia? Dan bagaimana kisah hidupnya? Kalau penasaran, simak biografi Nyi Ageng Serang ini hingga usai!
- Nama
- Raden Ajeng Kustiyah Retno Edi
- Tempat, Tanggal Lahir
- Serang, 1752
- Meninggal
- 1828
- Warga Negara
- Indonesia
- Pasangan
- Pangeran Mutia Kusumowidjoyo
- Anak
- (Putra yang tak diketahui namanya), Raden Ajeng Kustinah
- Orangtua
- Pangeran Notoprodjo/Panembahan Notoprodjo (Ayah), Raden Ayu Serang (Ibu)
Pahlawan nasional yang dimiliki Indonesia sebenarnya banyak sekali. Namun, hanya sedikit yang masih begitu lekat di ingatan masyarakat. Nah, salah satu yang kurang begitu dikenal adalah sosok Nyi Ageng Serang yang kisah hidupnya kami sajikan dalam biografi ini.
Ya, namanya memang tak sebesar Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, maupun Cut Nyak Dien. Namun, perjuangannya dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi juga tak bisa dianggap remeh.
Nyi Ageng Serang tak seperti wanita bangsawan Jawa kebanyakan yang hanya mengerti tentang urusan rumah tangga. Dengan gagah berani, ia ikut berperang melawan Belanda dan menjadi ahli siasat yang hebat.
Setelah menyimak sedikit ulasan di atas, apakah kamu jadi makin tertarik untuk membaca biografi Nyi Ageng Serang ini sampai akhir? Jika ya, tunggu apalagi, berikut rangkumannya khusus buat kamu.
Kehidupan Pribadi
Sebelum membahas tentang kehebatan Nyi Ageng di bidang perang, mari kita bahas latar belakangnya dahulu dalam biografi ini. Jadi, kamu akan tahu dari siapa jiwa patriotiknya diturunkan.
1. Latar Belakang Keluarga
Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi yang kemudian dikenal dengan nama Putri Serang atau Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1752. Seperti yang sudah tertera dalam julukan yang disematkan padanya, Raden Ajeng Kustiyah lahir di Serang, sebuah wilayah yang terletak di perbatasan Grobogan dan Sragen. Ia merupakan keturunan ke-9 Sunan Kalijaga dari pernikahan dengan putri Sunan Gunung Jati.
Ayah Raden Ajeng Kustiyah yang bernama Pangeran Notoprodjo (Panembahan Notoprodjo/Panembahan Serang) adalah Bupati Serang. Sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Serang. Sebagai bungsu dari dua bersaudara, ia memiliki seorang kakak laki-laki yang dijuluki Notoprodjo Muda.
Pangeran Notoprodjo adalah sosok yang sangat alim dan berjiwa partriot. Sebagai seorang ayah, Pangeran Notoprodjo berupaya menanamkan pendidikan agama Islam sejak dini pada buah hati dengan cara mengirim mereka ke bekas kediaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Sebagai seorang pemimpin daerah, Bupati Serang tersebut juga tak segan berdakwah pada masyarakat sekitar.
Sedangkan untuk menanamkan jiwa patriotik pada Raden Ajeng Kustiyah maupun Notoprodjo Muda, Pangeran Notoprodjo kerap melatih mereka dengan seni perang dan selalu mengajak berdiskusi tentang siasat perang yang baik. Jiwa patriotik Pangeran Notoprodjo juga ditularkan pada rakyat. Terbukti, masyarakat Serang menjadi sangat patuh padanya untuk bersama-sama melawan penjajah.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang Dianggap Saingan Politik oleh Soeharto
2. Kehidupan Pernikahan
Raden Ajeng Kustiyah menikah dengan seorang pria bangsawan yang bernama Pangeran Mutia Kusumowidjoyo yang sama-sama anti penjajah. Dari pernikahannya dengan sang suami, Raden Ajeng Kustiyah dikaruniai dua orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki.
Untuk menjalin persahabatan dengan Sultan Hamengkubuwono II, Raden Ajeng Kustinah, putri Raden Ajeng Kustiyah yang sudah beranjak dewasa, dinikahkan dengan putra sang sultan yang bernama Pangeran Mangkudiningrat. Nah, dari pernikahan anak dan menantunya tersebut, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mas Papak atau Pangeran Arya Papak.
Kaitan dengan Perjanjian Giyanti
Pada masa pemberontakan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi (putra Amangkurat IV dan adik Pakubuwana II), Pangeran Notoprodjo menjadi salah satu orang yang sangat diandalkan Pangeran Mangkubumi dalam memimpin pemberontakan. Sebagai orang yang anti penjajah, tentu saja Pangeran Notoprodjo dengan senang hati bersedia membantu Pangeran Mangkubumi untuk menyingkirkan pengaruh Belanda dari Kerajaan Mataram Islam.
Berkat kemampuan dan kegigihannya, Pangeran Notoprodjo kemudian diangkat menjadi panglima perang dengan gelar Panembahan Serang. Namun, perjuangan Pangeran Notoprodjo seolah sia-sia karena Pangeran Mangkubumi memilih berdamai dengan Belanda lewat Perjanjian Giyanti.
Perjanjian Giyanti yang dilaksanakan di Desa Giyanti, Karanganyar pada 13 Februari 1755, ditandatangani oleh Belanda, pihak Pakubuwono III yang pro Belanda, dan pihak Pangeran Mangkubumi yang anti Belanda. Isi perjanjian tersebut adalah bahwa Mataram Islam dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang dikuasai Pakubuwono III, dan Kesultanan Yogyakarta yang diberikan pada Pangeran Mangkubumi (bergelar Sultan Hamengkubuwono I).
Sementara itu, karena Pangeran Mangkubumi akhirnya berdamai dengan Belanda, Pangeran Notoprodjo merasa kesal. Ia tak mau lagi berkunjung ke Surakarta maupun Yogyakarta dengan alasan sudah lanjut usia. Ya, meski kecewa, Pangeran Notoprodjo masih berusaha membina hubungan baik dengan rajanya.
Baca juga: Biografi Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern yang Ideologinya Menjadi Kontroversi
Tinggal Sebatang Kara
Meski sudah tak agresif dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah, Belanda tetap bersikap was-was dengan keberadaan Pangeran Notoprodjo. Sebab, Bupati Serang tersebut adalah sosok yang sangat dipatuhi oleh rakyatnya.
Untuk menyingkirkan Pangeran Notoprodjo, Belanda kemudian mengadakan serangan dadakan terhadap kelompok Pangeran Notoprodjo. Sedang tidak siap menghadapi serangan yang mendadak, kelompok Pangeran Notoprodjo banyak yang melarikan diri ke hutan.
Walau tak punya persiapan khusus, Pangeran Notoprodjo mengajak Notoprodjo Muda dan Raden Ajeng Kustiyah untuk menyusun strategi singkat untuk melakukan perlawanan. Namun, karena rencananya kurang matang, banyak pejuang yang gugur, termasuk Notoprodjo Muda.
Setelah Notoprodjo Muda meninggal, Pangeran Notoprodjo jatuh sakit hingga akhirnya meninggal. Sedangkan Raden Ayu Serang juga menyusul suami dan anak laki-lakinya untuk menghadap Sang Pencipta tak lama kemudian.
Ditinggalkan oleh ayah, ibu, dan kakaknya, Raden Ajeng Kustiyah yang masih diliputi duka memutuskan untuk segera bangkit. Keimanan dan jiwa patriot yang ditanamkan sejak dini oleh orangtuanya membuat Raden Ajeng Kustiyah tak mau berlarut-larut dalam kesedihan dan ingin segera meneruskan perlawanan terhadap penjajah. Ia tak peduli meski tahu bahwa melawan Belanda sangatlah berisiko untuk keselamatan dirinya.
Tinggal di Keraton Kesultanan Yogyakarta
Menggantikan ayah dan kakaknya, Nyi Ageng Serang mengambil alih pucuk pimpinan kelompok Pangeran Notoprodjo. Namun, pada akhirnya ia berhasil ditangkap dan ditahan oleh Belanda.
Mendengar kabar bahwa Nyi Ageng tertangkap, Sultan Hamengkubuwono II yang baru dilantik meminta Belanda untuk menyerahkan Nyi Ageng pada Kesultanan Yogyakarta. Mungkin karena masih menghormati Perjanjian Giyanti, Belanda pun bersedia menyerahkan Nyi Ageng pada pihak Kesultanan Yogyakarta.
Bukannya diperlakukan sebagai tawanan, ketika tiba di Yogyakarta, Nyi Ageng disambut layaknya tamu agung dengan tata cara penghormatan yang tinggi sesuai adat keraton. Upacara penyambutan tersebut dilakukan untuk menghormati dan mengingat jasa-jasa keluarga Pangeran Notoprodjo dalam menumpas penjajah.
Selama tinggal di Keraton Kesultanan Yogyakarta, Nyi Ageng diliputi kemewahan. Segala hal yang dibutuhkannya pasti tersedia, makanan yang disajikan juga selalu lezat dan berkualitas tinggi.
Namun, semua kemewahan hidup yang dinikmatinya tak membuat Nyi Ageng Serang terlena. Ia lebih suka meningkatkan ibadah dan lebih mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa dengan sering berpuasa.
Mungkin merasa kurang nyaman berada di Yogyakarta, Nyi Ageng meminta izin pada Sultan Hamengkubuwono II untuk kebali ke Serang. Ia beralasan ingin lebih dekat dengan rakyatnya.
Sultan Hamengkubuwono II yang selama ini sangat terbantu dengan kehadiran Nyi Ageng yang merupakan ahli strategi perang dengan berat hati mengizinkan. Sang sultan bahkan juga memerintahkan beberapa prajurit untuk mengawal Nyi Ageng agar selamat sampai tujuan.
Nah, saat pulang ke Serang itulah Nyi Ageng bertemu dengan sang pujaan hati yang sama-sama anti penjajah. Ia pun memutuskan membangun rumah tangga dengan lelaki yang bernama Pangeran Mutia Kusumowijoyo tersebut.
Kebijakan Baru Belanda
Setelah beberapa lama pihak kerajaan Mataram Islam dan Belanda berdamai dengan ditandatanginya Perjanjian Giyanti, kondisi mulai kembali memanas setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda diganti. Bagaimana kisahnya dan apa kaitannya dengan Nyi Ageng? Tetap simak biografi Nyi Ageng Serang ini!
Tanggal 5 Januari 1808, Herman Willem Daendels dilantik menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, menggantikan Albertus Wiese yang sebelumnya menjabat. Daendels yang bisa menjabat posisi gubernur jenderal atas rekomendasi Napoleon Bonaparte ini terkenal sebagai orang yang kasar dan kejam.
Bukti kekejamannya yang paling terkenal adalah pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan yang memakan banyak korban jiwa. Tak hanya semena-mena terhadap rakyat jelata, Daendels juga bersikap seenaknya terhadap Sultan Hamengkubuwono II.
Daendels membuat peraturan baru yang isinya menyatakan bahwa Residen Belanda posisinya sama dengan Sultan Hamengkubuwono. Ia juga tidak bersedia mengikuti peraturan yang ditetapkan lingkungan keraton.
Karena kesal dengan sikap Daendels, Sultan Hamengkubuwono II memutuskan untuk melawan. Namun, pada bulan Desember 1810, sang sultan malah diturunkan dari tahta dan diganti dengan Raden Mas Surojo (putra Sultan Hamengkubuwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton) yang berwatak pendiam dan cenderung suka mengalah. Meski demikian, Sultan Hamengkubuwono II masih diizinkan tinggal di istana.
Baca juga: Biografi Ahmad Yani, Jenderal TNI AD yang Tegas dan Penuh Kasih
Menantu Dibuang ke Penang
Pada 15 Mei 1811, Daendels dilengserkan dari jabatannya karena Belanda kalah perang dengan Inggris. Posisi gubernur jenderal kemudian diisi oleh Thomas Stamford Raffles.
Pangeran Notokusumo yang merupakan adik Sultan Hamengkubuwono dari ibu yang berbeda kemudian menjadi mediator antara pihak keraton dan Raffles agar Sultan Hamengkubuwono II bisa naik tahta lagi. Sebagai orang yang menyukai kebudayaan Jawa, Raffles kagum dengan Pangeran Notokusumo yang menguasai sastra dan kebudayaan Jawa.
Berkat persahabatan yang terjalin antara Raffles dan Pangeran Notokusumo, pada 28 Desember 1811, Raffles resmi memulihkan status Sultan Hamengkubuwono II sebagai raja. Sedangkan Sultan Hamengkubuwono III diturunkan menjadi Adipati Anom. Namun, Raffles memberikan syarat pada pihak Kesultanan Yogyakarta agar menyerahkan beberapa daerah dan membayarkan sejumlah uang.
Sultan Hamengkubuwono II yang memiliki watak keras dan tegas terhadap penjajah tak mengindahkan syarat dari Raffles. Oleh sebab itu, Sultan Hamengkubuwono II dicopot kembali dari jabatannya dan dibuang Penang. Tak hanya sang sultan, Pangeran Mangkudiningrat, putra Sultan Hamengkubuwono II sekaligus menantu Nyi Ageng Serang juga ikut dibuang ke Penang.
Turut Andil dalam Perang Diponegoro
Nyi Ageng merupakan orang yang sangat berperan dalam peperangan melawan penjajah yang diprakarsai Pangeran Diponegoro. Nah, kisahnya sudah kami rangkum dalam biografi Nyi Ageng Serang ini.
Bersamaan dengan pengangkatan Raden Mas Surojo kembali sebagai Sultan Hamengkubuwono III, Raden Mas Antawirya, putra sulung Sultan Hamengkubuwono II dari istri selir juga dibeli gelar Bendara Pangeran Ario Diponegoro.
Pangeran Diponegoro yang sejak kecil lebih sering ikut neneknya di Tegalrejo, Yogyakarta juga memiliki watak yang keras terhadap penjajah, sama seperti sang ayah. Melihat sikap para penjajah yang semakin semena-mena, Pangeran Diponegoro kemudian mengobarkan perlawanan terhadap penjajah.
Dalam perang yang dikomandoi Pangeran Diponegoro tersebut, Nyi Ageng Serang beserta suaminya juga turut ambil bagian. Sayang, sekali lagi Nyi Ageng harus kehilangan orang yang dicinta karena sang suami gugur di medan perang.
Setelah kehilangan suami dan menantu, Nyi Ageng mati-matian mendidik cucunya, Raden Mas Papak dengan ilmu agama, ilmu beladiri, dan ilmu siasat perang. Setelah dirasa mampu memimpin perang, Raden Mas Papak turut serta dalam Perang Diponegoro.
Cucu Nyi Ageng tersebut kemudian dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk menjadi komandan Pasukan Notoprodjo. Pasukan yang dipimpin Raden Mas Papak bertugas mengobarkan peperangan di sembilan daerah operasi. Beberapa di antaranya, yaitu Kudus, Semarang, Salatiga, Magelang, Boyolali, dan Klaten.
Sementara itu, Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun, diangkat oleh Pangeran Diponegoro penasihat perang. Nyi Ageng menerima tugas tersebut dengan senang hati. Tak sekadar menjadi perencana di balik layar, Nyi Ageng juga sering ikut ke medan perang agar bisa memberikan arahan dan semangat secara langsung pada para prajurit. Namun, mengingat kondisinya yang sudah melemah, ia sering digotong menggunakan tandu.
Baca juga: Biografi Steve Jobs, Pendiri Apple yang Membangun Kerajaan Bisnisnya dari Nol
Siasat Jitu dan Panji-Panji yang Legendaris
Tak perlu diragukan lagi, Nyi Ageng Serang merupakan seorang ahli taktik perang yang mumpuni. Salah satu strategi yang mampu mengantarkannya pada kemenangan adalah Siasat Daun Lumbu.
Sesuai namanya, siasat ini menggunakan alat utama daun lumbu yang daunnya lebar. Saat mendekati musuh, para prajurit akan menutupi diri mereka dengan daun lumbu sehingga musuh tidak akan mengetahui bahwa ternyata di dekatnya sudah ada orang yang siap menyerang.
Selain untuk mengelabui musuh, daun lumbu juga sangat bermanfaat untuk melindungi diri dari cuaca yang tak menentu, lho. Saat hujan, daun lumbu bisa dijadikan payung agar tak kebasahan, sedangkan ketika sedang terik bisa digunakan untuk berlindung dari panas yang menyengat. Nah, saking hebatnya Siasat Daun Lumbu ini, Belanda sampai menjuluki Pasukan Notoprodjo sebagai Pasukan Hantu.
Di samping Siasat Daun Lumbu, ada juga ciri khas lain dari Pasukan Notoprodjo, yaitu penggunaan panji-panji berwarna merah putih yang sering disebut Panji Gula Kelapa. Panji Gula Kelapa dililitkan pada tombak warisan Pangeran Notoprodjo. Bersama Panji Gula Kelapa, pada tombak tersebut dililitkan pula selendang pusaka milik permaisuri Sultan Hamengkubuwono I yang menjadi lambang perjuangan Nyi Ageng Serang.
Akhir Hayat Nyi Ageng Serang
Inilah akhir kisah perjalanan Nyi Ageng Serang dalam biografi ini. Setelah sekian lama terlibat dalam peperangan dan merasakan beban batin yang berat akibat ditinggalkan orang-orang terkasihnya, Nyi Ageng akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1828 di usia 76 tahun.
Ia dimakamkan di atas sebuah bukit yang berada di Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Letak makamnya cukup jauh dari pusat Kota Yogyakarta yaitu sekitar 32 kilometer.
Setelah sekian lama dilupakan, Nyi Ageng Serang mulai kembali mendapat perhatian setelah ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden No. 084/TK/Tahun 1974 yang dikeluarkan pada 13 Desember 1974.
Sembilan tahun setelah dinobatkan sebagai pahlawan nasional, tepatnya pada 1983, makam Nyi Ageng Serang dipugar dengan bangunan berbentuk joglo. Ketika dipugar itulah makam ibu, suami, dan cucu Nyi Ageng yang tadinya berada di Desa Nglorong, Sragen, dipindahkan ke area pemakamannya.
Tak berhenti sampai di situ, upaya pemerintah untuk mengenang jasa Nyi Ageng Serang juga dilakukan dengan membangun sebuah patung yang diletakkan di sudut barat Simpang Lima Wates, Kulon Progo. Akan tetapi, karena tidak ada keterangan pada tugu tersebut sehingga kerap disebut masyarakat sebagai Patung Kuda, pemerintah Kabupaten Kulon Progo menggelontorkan dana lagi untuk membuat patung yang baru.
Patung baru yang lebih besar dan sudah diberi plang kemudian diletakkan di tengah-tengah Simpang Lima Wates. Sedangkan patung lama dipindahkan ke RSUD Nyi Ageng Serang yang berada di Sentolo, Kulon Progo.
Hikmah Membaca Biografi Nyi Ageng Serang
Itu tadi adalah biografi Nyi Ageng Serang lengkap yang memuat informasi mengenai latar belakang keluarga, sepak terjang dalam melawan penjajahan, hingga akhir hayatnya. Apakah kamu sudah puas dengan ulasan di atas?
Ada banyak hikmah yang bisa diambil dari biografi Nyi Ageng Serang ini. Salah satu yang utama, Nyi Ageng Serang mengajarkan bahwa kita tak boleh lekas berputus asa ketika mendapatkan masalah. Sebab, dengan semangat dan sikap positif, kita bisa segera mengubah keadaan.
Kalau kamu ingin mendapatkan inspirasi dari biografi tokoh-tokoh selain Nyi Ageng Serang, tetap simak KepoGaul.com, ya. Karena selain tentang tokoh, banyak juga informasi-informasi menarik lain.