Sunan Bonang atau yang memiliki nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim merupakan sosok anggota Wali Songo yang makam aslinya masih menjadi misteri. Jika kamu penasaran dengan alasannya, kamu bisa menemukan penjelasannya sekaligus kisah hidup lengkap sang sunan dalam biografi Sunan Bonang ini.
- Nama Lengkap
- Raden Maulana Makdum Ibrahim
- Nama Lain
- Bong Ang
- Tahun Lahir
- 1465
- Tahun Meninggal
- 1525
- Pasangan
- Dewi Hirah
- Anak
- Jayeng Katon, Jayeng Rono, Dewi Ruhil
- Orang Tua
- Sunan Ampel (Ayah), Nyi Ageng Manila (Ibu)
Sebagai masyarakat Indonesia, tentu kamu sudah pernah mendengar perihal Wali Songo, bukan? Nah, dalam biografi ini kami akan membahas kisah perjalanan hidup Sunan Bonang, salah satu anggota Wali Songo yang merupakan putra dari Sunan Ampel.
Sunan Bonang suka berdakwah melalui seni dan budaya, salah satunya wayang. Tak hanya menjadi dalang, ia juga menciptakan satu jenis alat musik yang kemudian menjadi komponen wajib dalam rangkaian gamelan Jawa saat ini.
Selain mahir dalam bidang kesenian, sang sunan juga sangat menguasai ilmu tenaga dalam. Jurus tenaga dalam ciptaannya bahkan masih diajarkan secara turun temurun di salah satu padepokan di Indonesia.
Setelah menyimak ulasan singkat di atas, apakah kamu jadi makin tertarik membaca biografi Sunan Bonang? Jika ya, tunggu apalagi, langsung saja simak profil lengkap Sunan Bonang dalam biografi berikut.
Kehidupan Pribadi
Untuk lebih mengenali seseorang, alangkah baiknya jika kamu mengetahui tentang kehidupan pribadinya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, di biografi ini kami menyajikan kehidupan pribadi Sunan Bonang yang meliputi silsilah, pendidikan, dan kehidupan rumah tangganya.
1. Silsilah Keluarga
Sunan Bonang yang lahir pada tahun 1465 memiliki nama lengkap Raden Maulana Makdum Ibrahim. Ia juga memiliki nama Bong Ang, mengikuti marga ayahnya, yaitu Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Raden Maulana terlahir dari seorang ibu yang bernama Dewi Condrowati atau sering dijuluki Nyi Ageng Manila. Kakeknya dari pihak ibu adalah Aryo Tejo yang pernah menjabat sebagai Adipati Tuban.
Sedangkan kakek dari pihak ayah adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan nama Sunan Gresik. Raden Maulana juga memiliki adik laki-laki bernama Raden Qosim atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Drajat.
Raden Rahmat memiliki nama Tionghoa karena sang kakek, yaitu Sunan Gresik menikah dengan putri Raja Champa. Namun, leluhurnya dari pihak ayah sebenarnya merupakan keturunan Nabi Muhammad dari putri sang nabi, Fatimah Az Zahra. Oleh sebab itu, Raden Rahmad bisa disimpulkan merupakan seorang sayyid.
Begini silsilahnya, Raden Maulana bin Raden Rahmat bin Maulana Malik Ibrahim bin Syekh Jumadil Qubro bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Al Muhajir bin Alawi Ammil Faqih.
Kemudian, Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Sohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Muhammad Syahril bin Ali Zainal ‘Abidin bin Hussain (putra Fatimah Az Zahra binti Nabi Muhammad).
2. Pendidikan dan Kehidupan Rumah Tangga
Memiliki ayah seorang sunan, sudah barang tentu jika sejak kecil Raden Maulana sudah mempelajari ilmu agama dan ilmu pengetahuan dari sang ayah. Tak sendiri, ia juga belajar bersama murid-murid ayahnya yang lain, seperti Raden Patah dan Raden Kusen yang merupakan saudara sepupunya, serta Raden Qosim alias Sunan Drajat, adiknya.
Ketika beranjak remaja, Raden Maulana pergi ke Samudera Pasai (Aceh) untuk memperdalam ilmu keislamannya. Di Negeri Pasai, ia belajar pada Syaikh Maulana Ishak yang merupakan pamannya. Setelah selesai belajar pada sang paman, Sunan Ampel memintanya untuk kembali ke Pulau Jawa dan berdakwah di daerah Tuban.
Mengenai kehidupan rumah tangganya, Raden Maulana menikah dengan wanita bernama Dewi Hirah. Sang istri merupakan putri Raden Jakandar atau yang juga dikenal sebagai Sunan Bangkalan, keturunan Kerajaan Padjajaran yang berdakwah di Bangkalan, Madura.
Dari pernikahan dengan Dewi Hirah, Raden Maulana Makdum Ibrahim dikarunia dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Putranya bernama Jayeng Katon dan Jayeng Rono, sedangkan putrinya bernama Dewi Ruhil.
Baca juga: Biografi Abdul Haris Nasution, Jenderal Angkatan Darat yang Dianggap Saingan Politik oleh Soeharto
Bisa Mengubah Benda Jadi Emas
Raden Maulana Makdum Ibrahim adalah seseorang yang benar-benar sakti. Selain mampu mengubah aliran Sungai Brantas, ternyata sang sunan juga mampu mengubah benda jadi emas. Ini dia kisah selengkapnya dalam biografi Sunan Bonang.
Pada suatu hari, ia sedang berjalan di tengah hutan dengan membawa sebuah tongkat berlapis emas. Tiba-tiba, ia dicegat oleh rombongan perampok Lokajaya yang dipimpin Raden Said. Ketika melihat tongkat yang dibawa sang sunan, Raden Said pun bernafsu untuk merebut tongkat tersebut.
Ya, Raden Said memang suka merampok dari orang-orang kaya karena ingin memberikan hasilnya pada orang miskin. Namun, Sunan Bonang menasehati Raden Said dan berkata bahwa Tuhan tak akan senang dengan perbuatan baik yang dilakukan dengan cara yang salah.
Sang sunan juga berkata, jika memang ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, Raden Said diperintahkan untuk melihat pohon kolang-kaling. Saat itu juga sang sunan mengarahkan tongkatnya ke arah pohon kolang-kaling dan mengubahnya menjadi emas.
Setelah itu, ia pun langsung pergi. Namun, Raden Said segera berlari menghampiri dan menyatakan kesediaan untuk menjadi muridnya. Akhirnya, Sunan Bonang menerima Raden Said sebagai murid setelah berhasil melalui tantangan darinya. Setelah menguasai ilmu yang diajarkan Sunan Bonang, Raden Said juga turut berdakwah dan dikenal dengan julukan Sunan Kalijaga.
Dakwah yang Gagal di Kediri
Wali Songo adalah ulama-ulama hebat yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Bukan dengan jalan berperang, mereka berhasil menarik minat penduduk yang saat itu masih banyak menganut Buddha, Hindu, Animisme, dan Dinamisme untuk masuk Islam dengan kelembutan dan cinta kasih.
Namun, siapa sangka bahwa Sunan Bonang pernah gagal berdakwah di daerah Kediri gara-gara sikapnya yang keras. Ya, peristiwa tersebut terjadi sebelum ia memutuskan untuk berdakwah melalui media seni dan budaya. Bagaimana kisahnya? Tetap simak biografi Sunan Bonang ini.
1. Mengubah Aliran Air Sungai Brantas
Suatu hari, Sunan Bonang melakukan perjalanan ke Kediri bersama para pengikutnya. Saat tiba di daerah aliran Sungai Brantas, Sunan Bonang pun mengetahui bahwa masyarakat setempat masih belum memeluk Islam.
Meski demikian, ia tetap memerintahkan pengikutnya untuk meminta air bersih pada penduduk untuk digunakan berwudu. Sebab, saat itu kondisi Sungai Brantas sedang keruh.
Salah satu pengikutnya pun bergegas ke desa dan bertemu dengan seorang gadis. Namun, saat ditanya baik-baik mengenai ketersediaan air bersih, sang gadis malah mengatakan, “Kamu baru saja lewat sungai, mengapa minta air simpanan? Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya.”
Sang pengikut pun langsung kembali pada rombongan Sunan Bonang dan melaporkan kejadian tersebut. Sunan Bonang pun langsung marah dan mengutuk aliran Sungai Brantas. Ia membuat sebagian daerah terkena banjir, dan sebagian lainnya mengalami kekeringan.
Tak hanya itu, sang sunan juga mengutuk gadis-gadis desa tersebut agar tak mendapatkan jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum perjakanya, ia mengutuk mereka tak akan menikah sebelum menjadi perjaka tua.
Beberapa lama singgah di daerah tersebut, ia juga mengetahui bahwa penduduknya masih rajin memberi sesaji dan menyembah arca-arca. Oleh sebab itu, ia mulai menghancurkan arca-arca yang ada di sana.
2. Melawan Nyai Plencing dan Ki Buto Locaya
Melihat apa yang telah diperbuat Sunan Bonang, salah satu tokoh sakti bernama Nyai Plencing melapor pada Ki Buto Locaya yang menguasai daerah tersebut. Mereka berdua sama-sama menganut Bhairawa-Tantra (ajaran Tantra yang menyimpang).
Ki Buto Locaya pun marah dan mengerahkan jin dan setan yang sangat banyak jumlahnya untuk menyerang sang sunan. Namun, para jin dan setan lari terbirit-birit karena tidak tahan rasa panas ketika berada di dekat Sunan Bonang.
Oleh sebab itu, Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing turun tangan sendiri untuk menyerang sang sunan. Namun, ternyata mereka juga kalah karena ternyata Sunan Bonang memiliki kesaktian yang luar biasa.
Namun, meski berhasil mengalahkan Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, Sunan Bonang tetap tak berhasil berdakwah di daerah tersebut. Mungkin itu disebabkan cara dakwahnya yang keras.
Baca juga: Biografi Laksamana Malahayati, Pahlawan Asal Aceh yang Menjadi Laksamana Wanita Pertama di Dunia
Hijrah ke Demak
Gagal berdakwah di Kediri tak membuat Raden Maulana putus asa dan menyerah berdakwah. Ia pun berhijrah ke Demak dan sedikit demi sedikit mulai memahami cara berdakwah yang baik. Inilah kisahnya dalam biografi Sunan Bonang.
Dari keterangan yang tertulis dalam Hikayat Hasanuddin, Raden Maulana diminta untuk menjadi imam Masjid Agung Demak oleh Raden Patah yang merupakan sepupunya dari pihak ibu. Raden Maulana pun memenuhi undangan tersebut dan bersedia menjadi imam masjid.
Namun, ia tak lama berada di Demak karena diminta datang ke Kadipaten Lasem, Jawa Tengah oleh kakak perempuannya, Nyai Gede Maloka. Sedangkan posisi imam Masjid Agung Demak yang ditinggalkannya digantikan oleh Pangeran Karang Kemuning, saudara iparnya.
Di Kadipaten Lasem, Nyai Gede Maloka memberinya tugas untuk menjaga dan merawat makam nenek mereka, Putri Bi Nang Ti yang berasal dari Champa. Ia juga diminta untuk merawat makam Pangeran Wirabraja dan Arya Wiranegara yang merupakan ayah mertua dan suami Nyai Gede Maloka.
Saat berada di Lasem, Sunan Bonang mulai makin mendalami kesenian daerah karena ia sadar bahwa seni adalah media terbaik untuk berdakwah. Orang-orang tidak akan menentang dengan keras jika ilmu sedikit demi sedikit dimasukkan dalam seni, budaya, dan sastra.
Mengembangkan Jurus Ilmu Tenaga Dalam
Sunan Bonang yang profilnya kita bahas dalam biografi ini mempelajari banyak jenis ilmu, salah satunya adalah ilmu tenaga dalam. Dengan ilmu yang dimilikinya, tak heran jika banyak orang yang berasal Tuban, Jepara, Pulau Bawean, hingga Madura datang ke padepokan Sunan Bonang untuk menimba ilmu darinya.
Bagaimana tidak, Sunan Bonang mampu mengembangkan ilmu ilmu zikir dari Nabi Muhammad untuk kemudian dikombinasikan dengan keseimbangan pernapasan. Ilmu ini lalu terkenal dengan sebutan rahasia alif lam mim atau bisa juga diartikan hanya Allah yang tahu.
Di samping rahasia alif lam mim, sang sunan juga menciptakan jurus bela diri yang terinspirasi dari huruf hijaiyah. Dari rangkaian 28 jurus ini, Sunan Bonang murid-muridnya bisa sekaligus menghafal huruf hijaiyah yang merupakan huruf penyusun Alquran.
Nah, jika sudah mencapai tingkat tertentu, para siswanya juga diwajibkan untuk mempelajari dan memahami isi kitab Alquran. Jadi ibaratnya, sekali dayung, dua tiga pulau terlampau.
Karena metodenya yang baik, jurus ciptaan Sunan Bonang ini masih tetap diajarkan dan dipraktekkan hingga saat ini, lho. Nama lembaga pendidikan yang masih mengajarkan ilmu Sunan Bonang adalah Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia yang berdiri secara resmi mulai tahun 1992.
Baca juga: Biografi HOS Cokroaminoto, Guru Tokoh Besar Nasional yang Dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota
Peninggalan Sunan Bonang
Sebagai sosok ulama hebat, tampaknya wajar saja jika Raden Maulana Makdum Ibrahim mewariskan banyak peninggalan mulai dari alat musik, kitab, karya sastra, hingga resep kuliner. Berikut sudah kami rangkum selengkapnya dalam biografi Sunan Bonang ini.
1. Gamelan dan Tembang
Gamelan adalah kumpulan alat musik tradisional Jawa yang sejak dahulu sering digunakan untuk mengiringi berbagai macam acara. Mulai dari pertunjukan seni hingga upacara keagamaan, semua menggunakan gamelan sebagai pengiringnya.
Sunan Bonang yang saat itu rajin berdakwah dengan media pertunjukan wayang pun berinisiatif untuk menambahkan satu jenis alat musik ke dalam rangkaian gamelan. Alat musik ini terbuat dari kuningan dan menonjol di bagian tengahnya.
Memiliki bentuk yang mirip gong, tapi lebih kecil, alat musik ini juga dimainkan dengan cara memukulnya menggunakan kayu. Lambat laun, perangkat musik yang satu ini lebih dikenal dengan nama bonang, sesuai nama tempat yang menjadi kediaman sang sunan, yaitu Desa Bonang di Lasem.
Tak hanya menciptakan alat musik baru, sunan yang juga dikenal sebagai dalang andal ini juga menciptakan lagu berjudul Tombo Ati. Tembang ciptaannya ini menjelaskan tentang cara mengobati jiwa dengan cara lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Selain menyertakan bonang dan tembang Tombo Ati dalam setiap pementasan wayangnya, sang sunan juga tak lupa untuk menyisipkan pesan-pesan ketauhidan dalam setiap kisah yang dibawakan.
Kisah yang sering dimainkan Sunan Bonang adalah perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Sunan Bonang menafsirkan kisah tersebut sebagai peperangan antara peniadaan (nafi) dan peneguhan (isbah).
2. Suluk
Suluk merupakan jenis karangan tasawuf yang banyak dikenal masayarakat Jawa dan Madura. Sunan Bonang pun tak ingin ketinggalan dalam menyebarkan ajaran Islam lewat suluk-suluk ciptaannya.
Beberapa karya suluk yang diciptakan oleh sang sunan, yaitu Suluk Wujil, Suluk Khaliafah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Wasiyat, Suluk Bentur, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Ing Aewuh, dan Suluk Sunan Bonang.
Suluk karya Sunan Bonang tersebut saat ini tersimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Kumpulan suluk tersebut benar-benar dijaga dengan baik karena di zaman modern ini suluk diakui sebagai karya sastra yang memiliki nilai keindahan luar biasa. Tak hanya itu, suluk juga mengandung makna yang sangat penting tentang kehidupan.
3. Kitab, Puisi, dan Prosa
Ada banyak media yang digunakan Sunan Bonang untuk mengajarkan ilmu tasawuf, salah satunya melalui buku. Dalam kitab berjudul Tabnihul Ghofilin yang ditulisnya, ia mengajarkan kepada manusia agar selalu menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaan kepada Allah.
Meski sudah ditulis ratusan tahun lalu, kitab yang tersusun atas 234 halaman ini masih saja laris hingga saat ini. Ya, santri-santri pondok pesantren masih menggemari kitab karya Raden Maulana Makdum Ibrahim ini sebagai media pembelajaran dan pengingat untuk lebih mencintai Sang Pencipta.
Selain kitab, ia juga menulis beberapa puisi dan prosa. Puisi dan prosa karangannya tertulis dalam buku berjudul Het Boet Van Bonang. Buku tersebut juga memuat terjemahan dalam bahasa Belanda.
4. Resep Kuliner
Bubur sumsum pada umumnya menjadi hidangan takjil di bulan Ramadan, khususnya bagi masyarakat Jawa. Namun, lain halnya dengan masyarakat Jawa yang bermukim di sekitar kompleks Makam Sunan Bonang di Tuban. Mereka lebih memilih bubur suro sebagai hidangan takjil.
Ya, menurut penjaga Makam Sunan Bonang dan warga sekitar, pada zaman dahulu bubur suro dimasak langsung oleh putra Sunan Ampel tersebut. Kemudian meski sang sunan telah tiada, penduduk sekitar tetap melanjutkan tradisi memasak bubur suro sebagai hidangan takjil tiap bulan Ramadan secara turun temurun.
Walau merupakan hidangan tradisional dan dimasak setiap satu tahun sekali, masyarakat sekitar tak bosan-bosannya menyantap hidangan ini. Setiap bulan Ramadan selesai salat Asar, warga sekitar pasti berbaris rapi untuk mendapat jatah bubur suro dari panitia.
Demi memenuhi kebutuhan bubur suro untuk warga sekitar, panitia takjil menghabiskan 25 kg beras, 6 kg daging sapi, 10 kg tulang sapi, dan 10 butir kelapa setiap harinya. Agar bubur tetap memiliki rasa dan aroma yang khas, bahan-bahan itu dimasak selama tiga jam dengan kayu bakar.
Perbedaan Pendapat tentang Makam Sunan Bonang
Sunan Bonang, anggota Wali Songo yang kami ulas dalam biografi ini wafat pada tahun 1525 dalam usia 60 tahun. Ketika ia meninggal, murid-murid yang begitu mencintainya sempat berseteru karena ingin sang guru dimakamkan di daerah mereka. Mungkin akibat peristiwa tersebut, posisi makam sesungguhnya Raden Maulana Makdum Ibrahim jadi simpang siur.
Ada beberapa lokasi yang yakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Raden Maulana. Tempat pertama dan yang paling populer berada di belakang Masjid Agung Tuban. Lokasi kedua ada di tepi pantai utara yang termasuk dalam wilayah Lasem, Rembang.
Meski demikian, makam Raden Maulana yang diyakini berada di kaki bukit sama sekali tak diberi batu nisan sebagai patokan. Hanya ada tanaman melati yang bisa dijadikan penanda.
Kondisi tersebut mungkin disebabkan karena petilasan sang sunan yang berada di atas bukit justru lebih populer. Ya, di puncak bukit ada batu yang katanya merupakan tempat sholat Raden Maulana.
Orang-orang meyakininya karena ada ukiran telapak kaki yang diyakini merupakan milik Raden Maulana di atas batu yang letaknya berada dalam satu kompleks dengan makam Putri Cempo ini.
Untuk lokasi makam yang ketiga diyakini berada di Pulau Bawean, Jawa Timur. Untuk lokasi yang satu ini, ada dua makam yang dipercaya sebagai makam Raden Maulana. Dua-duanya sama-sama berada di pinggir pantai.
Akan tetapi, dari dua makam itu yang tampak terurus hanyalah satu makam. Sedangkan makam lainnya terlihat tak terawat karena statusnya masih simpang siur. Sebagian orang percaya itu makam sang sunan, tapi sebagian lainnya meragukannya dan berpikir bahwa itu merupakan makam seorang pelaut dari Sulawesi yang terdampar di Pulau Bawean.
Lokasi keempat diyakini berada di sebuah daerah bernama Singkal yang berada di tepi Sungai Brantas. Pendapat ini muncul karena kisah dalam Babad Kadhiri yang menyatakan bahwa Sunan Bonang melancarkan dakwah di Kediri, tapi berakhir dengan kegagalan.
Hikmah Membaca Biografi Sunan Bonang
Itu tadi adalah profil dan biografi Sunan Bonang yang telah terangkum secara lengkap, mulai dari silsilah, perjalanan dakwah, peninggalan-peninggalan, hingga perbedaan pendapat tentang makam aslinya. Apakah Anda sudah merasa puas dengan sajian di atas?
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dengan membaca biografi Sunan Bonang. Salah satunya, Anda mungkin jadi paham bahwa cara yang keras hanya menyebabkan orang lain juga bersikap keras. Apabila kamu ingin mendapatkan hati orang lain, maka bersikaplah dengan lembut.
Jika Anda ingin mendapatkan inspirasi da motivasi dari biografi tokoh-tokoh selain Sunan Bonang, terus simak KepoGaul.com. Di sini ada informasi mengenai pahlawan nasional, seperti Laksamana Malahayati dan Sultan Ageng Tirtayasa, hingga pebisnis sukses dunia, seperti Steve Jobs dan Larry Page.