
Begitu banyak pahlawan gagah berani yang lahir dari ibu pertiwi. Mereka rela berjuang dan mempertaruhkan nyawa demi meraih kemerdekaan serta mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia (RI). Ingin tahu seperti apa beratnya pergulatan para pahlawan di medan perang dan kisah lainnya? Simak potret perjuangan mereka lewat kumpulan contoh puisi tentang pahlawan ini!
Seandainya tak ada pahlawan, kemungkinan negara ini tak akan pernah merdeka dan masih dijajah bangsa asing. Rakyatnya pun akan hidup sengsara dan selalu bergantung pada negara lain. Maka, sudah selayaknya para pejuang itu mendapat penghormatan, salah satunya lewat contoh puisi tentang pahlawan yang terangkum di sini.
Untuk mengabadikan jasa mereka, sejumlah sajak telah ditulis oleh sastrawan-sastrawan terkemuka Indonesia. Sebut saja Asrul Sani, Chairil Anwar, Mustofa Bisri, W.S. Rendra, Kuntowijoyo, dan sebagainya.
Contoh puisi tentang pahlawan yang dirangkai para penyair itu pun isinya beragam. Ada yang bercerita tentang pertempuran di medan perang, gugurnya sang pahlawan, pengorbanan mereka, dan juga memaknai arti dari pahlawan itu sendiri. Lengkap, bukan?
Daripada semakin penasaran, mending langsung baca saja kumpulan contoh puisi tentang pahlawan selengkapnya di bawah ini! Setelah membacanya, semoga sajak-sajak itu semakin menambah kecintaan dan rasa hormatmu kepada para bunga bangsa itu.
Contoh Puisi tentang Pahlawan yang Membangkitkan Semangat
1. Mari Jenderal
Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiriBimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinyaO Jenderal, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditiup angin, karena
ia berdiam di pasir keringO Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.O Jenderal, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi iniAh, mengapa pada hari-hari sekarang, matahari
sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumiJenderal, mari Jenderal
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan
engkau bersama kami, engkau bersama kamiMari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari Jenderal mari
sekali ini derajat orang pencari dalam bahaya
mari Jenderal mari Jenderal mari, mari…(Asrul Sani, Lagu dari Pasukan Terakhir)
Contoh puisi tentang pahlawan satu ini ditulis oleh Asrul Sani, sastrawan sekaligus sutradara kenamaan asal Indonesia. Lewat karya-karyanya, pria kelahiran Rao, Sumatera Barat tersebut berhasil meraih sejumlah penghargaan, seperti Piala Citra (1986, 1987) dan Anugerah Seni (1969).
Lagu dari Pasukan Terakhir merupakan sajak Asrul yang dipersembahkan untuk para jenderal saat bertempur di medan perang. Mereka rela meninggalkan anak istri demi berjuang mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia (RI) dari penjajah.
2. Maju Menyerbu
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembaliDan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.Sekali berarti
Sudah itu mati.MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api.Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas.Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.(Chairil Anwar, Diponegoro)
Chairil Anwar merupakan pujangga Angkatan ’45 yang menjadi pelopor puisi modern Indonesia. Karya-karyanya berhasil mendapatkan apresiasi dari para kritikus sastra Indonesia maupun dunia, salah satunya adalah sajak berjudul Diponegoro di atas.
Sesuai judulnya, puisi kemerdekaan tersebut menggambarkan sikap Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. Berbekal pedang dan keris, beliau maju menyerang penjajah dengan gagah berani dan semangat juang tinggi.
Baca juga: Kumpulan Puisi Cinta Romantis untuk Pacar Tersayang yang Memiliki Makna Mendalam
3. Perkenankan Aku
Tuhanku,
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
dan firman-Mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkalAnak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-siaApabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurkuMalam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
biarpun bersama penyesalanApa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lengan-Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati-MuTuhanku,
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku(W.S. Rendra, Doa Serdadu sebelum Berperang)
Laki-laki yang bernama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra tersebut merupakan sastrawan dari Indonesia yang lahir pada 7 November 1935 di Solo. Semenjak duduk di bangku SMP, W.S. Rendra telah menulis puisi, cerpen, dan skenario drama.
Misalnya adalah contoh puisi tentang pahlawan berjudul Doa Serdadu sebelum Berperang di atas. Sajak tersebut menggambarkan harapan seorang prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dia memohon kepada Tuhan agar diizinkan untuk membunuh lawan-lawannya dengan senapan dan sangkur agar kemerdekaan segera tercapai.
4. Allahu Akbar!
Jangan anggap mereka kalap
jika mereka terjang senjata sekutu lengkap
jangan dikira mereka nekat
karena mereka cuma berbekal semangat
melawan seteru yang hebatJangan sepelekan senjata di tangan mereka
atau lengan yang mirip kerangka
Tengoklah baja di dada merekaJangan remehkan sesobek kain di kepala
tengoklah merah putih yang berkibar
di hati mereka
dan dengar pekik mereka
Allahu Akbar!Dengarlah pekik mereka
Allahu Akbar!
Gaungnya menggelegar
mengoyak langitSurabaya yang murka
Allahu Akbar!
menggetarkan setiap yang mendengarSemua pun jadi kecil
Semua pun tinggal seupil
Semua menggigilSurabaya,
O, kota keberanian
O, kota kebanggaanMana sorak-sorai takbirmu
yang membakar nyali kezaliman?
mana pekik merdekamu
yang menggeletarkan ketidakadilan?Mana arek-arekmu yang siap
menjadi tumbal kemerdekaan
dan harga diri?
menjaga ibu pertiwi
dan anak-anak negeriAtaukah kini semuanya ikut terbuai
lagu-lagu satu nada
demi menjaga
keselamatan dan kepuasan
diri sendiriAllahu Akbar!
Dulu Arek-arek Surabaya
tak ingin menyetrika Amerika
melinggis Inggris
menggada Belanda
murka pada Gurka
mereka hanya tak suka
kezaliman yang angkuh merejalela
mengotori persada
mereka harus melawan
meski nyawa yang menjadi taruhan
karena mereka memang pahlawan
SurabayaDimanakah kau sembunyikan
Pahlawanku?(Mustofa Bisri, Surabaya)
Mungkin kamu sudah tidak asing dengan pria bernama lengkap Ahmad Mustofa Bisri tersebut. Selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Rembang, pria yang akrab disapa Gus Mus ini juga berkiprah sebagai budayawan, penulis kolom, dan penyair yang karya-karyanya dikenal masyarakat luas.
Sajak Gus Mus berjudul Surabaya di atas mengingatkan kita pada Pertempuran Surabaya antara pejuang Indonesia dan tentara Inggris yang puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Kala itu, Bung Tomo selaku pimpinan selalu mengobarkan semangat perlawanan dengan memekikkan “Allahu Akbar!” pada setiap siarannya di berbagai radio Surabaya.
5. Sesudah Perang
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.Aku tahu sudah, di dalamnya
tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembaliBukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.Ingatlah, sesudah sebuah perang
selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.(Kuntowijoyo, Musium Perjuangan)
Tahukah kamu siapa Kuntowijoyo? Beliau adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan asal Indonesia yang telah menghasilkan banyak karya fiksi maupun nonfiksi. Beberapa di antaranya Kereta yang Berangkat Pagi Hari (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Dinamika Umat Islam Indonesia (1985), dan masih banyak lagi.
Musium Perjuangan merupakan salah satu contoh puisi tentang pahlawan dari Kuntowijoyo yang bercerita tentang gugurnya para pejuang sehingga menyisakan kesedihan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Di sisi lain, keberanian mereka dalam mempertaruhkan nyawa akan selalu dikenang oleh para generasi penerus yang juga akan menghadapi peperangan selanjutnya, yakni melawan keburukan diri sendiri.
Baca juga: Contoh Puisi tentang Guru sebagai Rasa Terima Kasih
Contoh Puisi tentang Pahlawan yang Telah Gugur
1. Menutup Mata
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanyaIa merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannyaBagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanyaSesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannyaIa merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnyaKetika anaknya memegang tangannya,
ia berkata:
”Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota AmbarawaOrang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan suburMaka ia pun berkata :
“Alangkah gemburnya tanah di sini!”Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya(W.S. Rendra, Gugur)
Contoh puisi tentang pahlawan berjudul Gugur dari W.S. Rendra tersebut melukiskan keadaan seorang pejuang yang sedang sekarat di pertempuran. Rendra menggambarkan dengan sangat detail bagaimana kondisi sang pahlawan sebelum menjemput ajal di medan perang.
Peluru terakhir sang pahlawan gunakan untuk menembak dada musuh yang tanpa malu merebut kota kesayangannya, Ambarawa. Sebelum tewas, ia sempat berpesan pada anaknya agar mempertahankan tanah nenek moyang mereka yang subur itu.
2. Tidur di Pangkuan Tuhan
Kepada pahlawan tak dikenal
kini kau berlayar sendirian
di lautan kelam tanpa karang
menuju pelabuhan seberang
untuk tidur di pangkuan tuhan(sebutir peluru telah merenggut jantungmu
ketika kau nekat melindungiku
dalam penyerbuan ke benteng itu
di pangkuanku kau tinggalkan jasadmu
sebelum sempat kau sebut namamu
asal dan induk pasukanmu
kecuali seberkas senyum keikhlasan)lukamu kini tak dapat kuraba lagi
karena dagingmu telah kembali ke asal
tinggal cahaya putih cintamu
membekas dalam di kalbu(Ahmadun Yosi Herfanda, Catatan di Pojok Taman)
Ahmadun Yosi Herfanda adalah seorang jurnalis dan sastrawan yang banyak menulis puisi, cerpen, dan esai sastra. Cerpen Ahmadun berjudul Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004) berhasil mendapatkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988. Sajak-sajak ciptaannya juga berhasil mengantarkannya meraih penghargaan tertinggi di ajang Peraduan Puisi Islam MABIMS pada tahun 1997.
Salah satu puisi Ahmadun berjudul Catatan di Pojok Taman di atas berkisah tentang gugurnya seorang pejuang setelah sebutir peluru menembus jantungnya. Meski telah tiada, nama sang pahlawan akan selalu dikenang oleh generasi setelahnya.
Baca juga: Kumpulan Puisi Singkat tentang Ibu yang Membuatmu Rindu untuk Pulang
3. Peluru Habis
Engkau melayang jauh, kekasihku
Engkau mandi cahaya matahari
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh,
resimen tank penindas terdengar menderu.Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu.Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu,
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata(W.S. Rendra, Lagu Seorang Gerilya)
Sajak W.S. Rendra di atas tak hanya bertema kepahlawanan, tetapi juga percintaan. Diceritakan seorang pemuda harus pergi meninggalkan kekasih yang dicintainya demi tugas perang melawan penjajah.
Di tengah peperangan, pemuda itu tumbang di tangan musuh lewat sebuah tembakan yang mengenai dadanya. Detik-detik menjelang ajalnya, dia teringat dengan wajah serta suara sang kekasih saat menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
4. Terbaring tapi Bukan Tidur
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perangDia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayangWajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat mudaHari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnyaSepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.(Toto Sudarto Bachtiar, Pahlawan Tak Dikenal)
Jika kamu pecinta sajak kepahlawanan, tentu tidak asing dengan sosok Toto Sudarto Bachtiar. Pria yang lahir di Cirebon pada 12 Oktober 1929 ini merupakan penyair seangkatan dengan W.S. Rendra. Puisi-puisi Toto yang cukup populer yaitu Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, dan Pahlawan Tak Dikenal yang dapat kamu baca pada kutipan di atas.
Bait-bait tersebut bercerita tentang perjuangan seorang pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pejuang muda yang tak diketahui namanya itu tewas tertembak tepat di dadanya. Dia meninggal dalam Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
5. Kenanglah Kami
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kamiKami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawaKami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkataKami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung SyahrirKami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi(Chairil Anwar, Karawang Bekasi)
Contoh puisi tentang pahlawan berjudul Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar di atas menceritakan gugurnya para pejuang di medan perang. Meski jasad mereka telah terbaring di antara Karawang-Bekasi, semangat mereka akan tetap abadi.
Setelah merdeka, kini tugas kita adalah melanjutkan perjuangan para pahlawan itu. Jangan lupa pula untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa para pejuang yang telah mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaan.
Baca juga: Yuk, Baca Kumpulan Puisi Roman Picisan yang Bikin Baper di Sini!
Contoh Puisi tentang Pahlawan sebagai Renungan
1. Gambar Pejuang
yang berjuang dulu
dan mati dalam perang
memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)yang berjuang dulu
tapi hidup senang sekarang
ingin juga disebut pahlawan
gambar pejuang dengan pamrih(Remy Sylado, Pahlawan yang Sok Pahlawan)
Sastrawan yang memiliki nama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong ini memulai kariernya sebagai jurnalis majalah Tempo pada tahun 1965. Selain itu, Remy Sylado juga menulis cerpen, novel, kritik, dan puisi. Pahlawan yang Sok Pahlawan merupakan salah satu karya Remy yang tergabung dalam buku berjudul Puisi Mbeling (2005).
Sajak yang bernada satire tersebut melukiskan pejuang zaman dulu yang gugur, lalu dikenal sebagai pahlawan tanpa pamrih. Sedangkan pejuang yang tidak gugur di medan perang dan sekarang bisa hidup senang juga ingin disebut pahlawan. Keinginan ini seolah menyiratkan jika mereka pamrih dengan perjuangan yang telah dilakukannya.
2. Mengalir Sudah
Lahir. Hilang. Gugur. Hidup. Mengalir. Sudah.
(Mustofa Bisri, Pahlawan)
Walau sangat singkat, contoh puisi tentang pahlawan dari Mustofa Bisri tersebut memiliki makna yang dalam. Dalam sajak itu, beliau melukiskan perjalanan hidup para pahlawan melalui sebuah kronologi.
Seperti manusia pada umumnya, mulanya mereka dilahirkan di bumi ini dalam keadaan sehat. Saat penjajah datang, mereka harus pergi berjuang dan mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan tanah air. Meski pada akhirnya gugur, hasil perjuangan para pahlawan itu akan terus dirasakan generasi sesudahnya dan nama mereka pun akan terus abadi.
3. Prajurit Penjaga
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!(Chairil Anwar, Prajurit Jaga Malam)
Ketika membaca puisi perjuangan berjudul Prajurit Jaga Malam dari Chairil Anwar di atas, apa yang kamu pikirkan? Mungkin kamu langsung terbayang pada sekelompok tentara yang sedang berjaga-jaga melindungi wilayah Indonesia.
Lewat sajak tersebut, sang penyair mencoba mengungkapkan rasa kagumnya pada kelincahan dan keberanian para prajurit dalam menghadapi serangan Belanda. Para pejuang itu akan terus bertahan meskipun nyawa menjadi taruhan.
Baca juga: Kumpulan Kata-Kata Pantun Cinta Romantis untuk Pacar, Gebetan, dan Mantan
4. Justru Abadi
Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan bangsa
Dan patriot-patriot negara
(Bunga-bunga kalian mengenalnya
Atau hanya mencium semerbaknya)Ada yang gugur gagah dalam gigih perlawanan
Merebut dan mempertahankan kemerdekaan
(Beberapa kuntum dipetik bidadari sambil senyum
Membawanya ke sorga tinggalkan harum)Ada yang mujur menyaksikan hasil perjuangan
Tapi malang tak tahan godaan jadi bajingan
(Beberapa kelopak bunga di tenung angin kala
Berubah jadi duri-duri mala)Bagai wanita yang tak ber-ka-be saja
Ibu pertiwi terus melahirkan putra-putranya
Pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan bangsa
(di tamansari bunga-bunga dan duri-duri
Sama-sama diasuh mentari)Anehnya yang mati tak takut mati justru abadi
Yang hidup senang hidup kehilangan jiwa
(mentari tertawa sedih memandang pedih
Duri-duri yang membuat bunga-bunga tersisih)(Mustofa Bisri, Putra-Putra Ibu Pertiwi)
Satu lagi contoh puisi tentang pahlawan dari Mustofa Bisri yang bisa kamu baca di sini. Sajak berjudul Putra-Putra Ibu Pertiwi tersebut menggambarkan kelahiran pahlawan-pahlawan pemberani yang rela berjuang untuk negeri ini.
Namun di sisi lain, negara ini juga melahirkan orang-orang berperangai buruk yang justru merugikan tanah airnya sendiri. Mereka dapat hidup senang tetapi jiwanya kosong. Sedangkan para pejuang pemberani itu jiwanya terus abadi meski telah mati.
5. Telah Pergi
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur bajaAkan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan!(Taufiq Ismail, Sebuah Jaket Berlumur Darah)
Siapa yang tak kenal dengan Taufiq Ismail? Berkat karya-karyanya, penyair kelahiran Bukittinggi ini telah berhasil menerima sederet penghargaan, seperti Anugerah Seni (1970), Cultural Visit Award (1977), dan South East Asia Write Award (1994).
Sebuah Jaket Berlumur Darah adalah salah satu puisi Taufiq Ismail yang melukiskan pengorbanan seorang pahlawan dalam meraih kebebasan dengan cara melepaskan rakyat dari belenggu penguasa tiran. Setelah tiada, perlawanan pun terus dilanjutkan oleh orang-orang yang terinspirasi dengan perjuangan sang pahlawan.
Baca juga: Kumpulan Contoh Pantun Jenaka dan Maknanya untuk Meramaikan Suasana
Mengenang Jasa Pejuang Lewat Contoh Puisi tentang Pahlawan
Demikian ulasan kumpulan contoh puisi tentang pahlawan yang dapat kamu baca di KepoGaul. Kira-kira, sajak manakah yang paling berkesan di hatimu? Semoga kamu dapat memetik banyak pelajaran dan hikmah setelah membacanya.
Lewat contoh puisi tentang pahlawan yang terangkum di atas, kita seolah sedang diingatkan agar senantiasa mengenang dan menghormati jasa-jasa mereka. Meski telah gugur, semangat sang pejuang mudah-mudahan terus hidup di dada kita.